Loncatan Pasopati

 Oleh. Muhadam Labolo

Paguyuban Angkatan Kosong Empat Indonesia (Pasopati) kini melewati setahun usia peraknya. Kendati ulang tahunnya dihadang covid, Ia tetap meraih emas. Setidaknya ditandai oleh empat kader terbaiknya di eselon puncak. Ibarat piala dunia, sejauh ini, Pasopati penyumbang emas terbanyak dalam laga Manglayang dilapangan hijau birokrasi. Itu prestisius.

Dibalik jabatan prestisius tentu saja kita membutuhkan prestasi. Sekalipun begitu, amanah puncak tadi sudah menyiratkan ada prestasi. Tanpa itu tak mungkin kita sampai ke level tertinggi, terlepas bahwa semua kekuasaan mesti diupayakan. Sebab dia tak mungkin datang dengan cuma-cuma kehadapan kita. Begitulah sedikit pelajaran kekuasaan yang kita dapatkan di sekolah pemerintahan.

Supaya prestatif, Pasopati butuh gagasan bernas. Gagasan bisa lahir darimana saja, termasuk meng- copy paste lalu mendaur-ulang. Demikian taktik China bila berhadapan dengan Amerika, Jepang dan Korea. Gagasan dipromosi dengan menggunakan semua sumber daya yang tersedia. Bisa lewat kawan maupun lawan kalau perlu. Tanpa kolaborasi di dunia yang canggih ini kita hanya akan mentok di kelas yang diperintah, bukan diruang yang memerintah.

Performa Pasopati di usia kini jelas sedang siap panen. Masalahnya bagaimana buah tadi dapat dikemas rapi agar mudah dipetik, dijual, dipromosi dan dinikmati dengan nilai tinggi. Kegagalan kita terkadang hanya karena kemasan yang kurang menarik. Atau sebaliknya, buahnya biasa-biasa saja, warna dan rasanya kurang meyakinkan, tapi diuntungkan kemasan yang menarik hingga laris manis. Persoalannya, kita buah yang mana?

Dalam realitas, seleksi terjadi dengan dua cara. Alamiah dan rekayasa (buatan). Seleksi alamiah telah ditentukan olehNya. Kita tak dapat menolak takdir, 44 kawan sepetak mendahului, 5 orang terbaring tak berdaya, 5 sekolah di lembaga, sisanya 25 orang survive meski berada di luar area birokrasi. Seleksi buatan telah mengantar Pasopati menempati lebih dari 200 posisi eselon dua, lebih dari 300 posisi di eselon tiga, selebihnya mengkonversi diri di jabatan fungsional, bahkan ahlinya staf.

Terlepas kelemahan sistem yang sering kita kritik itu, inilah kenyataan yang terjadi. Hasil seleksi telah melokalisir Pasopati sebagai produk yang layak jual, kualitas ekspor atau cukup menjadi konsumsi domestik, bersertifikat atau hanya kawe tiga, di etalase atau digudangkan, di kelas ekonomi atau VVIP. Yang jelas Pasopati bukan produk gagal, hanya menerima takdir dari sistem seleksi pencari kualitas terbaik. Terbaik dalam perspektif mesin birokrasi itu sendiri. 

Akhirnya, mengutip kata Charles Darwin, mereka yang survive bukan yang paling kuat, tapi yang mampu beradaptasi. Sebagai guide, saya hanya mendorong agar Pasopati sampai ke puncak tertinggi sebagaimana Sir Edmund Hillary tiba selangkah lebih dulu dari pemandu Tenzing Norgay di puncak Everest. Edmund populer dan menjadi tokoh prestisius di Istana Ratu Elizabeth. Ketika ditanya mengapa anda tak mendahului Edmund? Tenzing menjawab, itu impian Edmund, bukan impian saya. Impian saya membantu Edmund sampai ke posisi itu. Selamat berjuang sahabat Pasopati.

 

Komentar

  1. Sebagai PASOPATI,, bangga dengan prestasi yang sudah dicapai,, semoga memberi inspirasi dan spirit bagi yang lain,, terutama dalam peningkatan nilai ke-manfaat-an bagi sesama. Semoga...

    BalasHapus
  2. Tetap semagat mencapai cita cita dg berusaha keras... belajar dari kekurangan sebelumnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian