Merawat Demokrasi Kita
Oleh. Muhadam Labolo
Imaji kelompok tertentu merekonstruksi kembalinya mumi khilafah sama dan sebangun dengan apa yang diimpikan kaum sosialis, ultra- nasionalis dan kelompok religi demi tegaknya tatanan baru yang lebih ideal. Sejenak tak ada yang keliru di tengah konsensus mayoritas kita menerima dengan lapang dada apa yang menjadi realitas hari ini, yaitu negara bangsa (nation-state) hasil konsensus founding fathers, yang berdiri di atas tonggak idiologi Pancasila dan UUD 45. Namun ada baiknya dicermati seraya merawat demokrasi kita.
Kaum sosialis dimasa lalu membayangkan perlunya suatu negara yang adil, sama rata sama rasa. Faktanya perbedaan itu sunnatulah, setiap materi tak mungkin dibagi absolut, juga proporsional. Inilah keadilan proporsi bukan semata keadilan absolut. Sosialisme berlebihan tak jarang berubah ekstrem sebagaimana komunisme diberbagai wilayah termasuk Indonesia. Mereka yang tak sejalan bisa berakhir di sumur buaya. Lihat juga Vietnam dan China yang mengubur masa depan demokrasi.
Kaum ultra-nasionalis pun membayangkan bahwa negara ideal mesti di ikat mati oleh relasi bangsa, tanah, bahasa, maupun kesatuan genealogis lainnya (Renan, Bauer, Kohn, Stoddard). Untungnya nasionalisme kita tak hanya di ikat oleh kesadaran masa lalu, juga komitmen masa depan bagi rumah tangga negara yang lebih baik (Hatta,1945). Nasionalisme berlebihan pun bisa menyerupai rezim Stalin, Mussolini & Hitler yang fasis dan totaliter. Semua kontra revolusi adalah musuh yang boleh dilenyapkan. Sejarah mencatat produk ultranasionalis hanya melahirkan genoside dimana-mana.
Kaum religi militan tak luput mengusung idiologinya sebagai konstruksi negara terbaik. Berbeda dengan kedua idiologi sebelumnya, negara idaman menjanjikan kebaikan di dunia dan akherat sebagaimana semangat teori dua pedang Aquino & Agustinus (civitas dei). Teokrasi fanatik pun tak jarang mengancam mereka yang tak seiman. Dengan dan atas nama Tuhan semua yang menentang tak jarang di stempel musuh yang nyata, kafir dan karenanya perlu digantung, disalib dan dirajam. Lihat akhir mengenaskan pasca revolusi melati di Mesir dan Suriah.
Guna menemukan jalan tengah ketiga idiologi itu, Soekarno pernah mensenyawakan ketiganya lewat Nasakom. Namun ide ini ditolak karena secara prinsipil ketiganya tak dapat disatukan. Komunisme bertolak-belakang dengan agama. Penganut agama pun menganggap ikatan kewargaan lebih karena keyakinan yang sama, bukan semata kepentingan yang sama. Nasionalisme sendiri dipandang terlalu sempit dibanding Internationalisme atas dasar keyakinan agama. Nasionalisme dan komunisme juga demikian, dihalangi oleh prinsip sakral masing-masing.
Menyadari potensi polemik semacam itu, jauh sebelumnya Pancasila dikonstruksi mewakili semua nilai yang berserakan dalam budaya Indonesia. Spirit religi menjadi pondasi sekaligus berada di peringkat pertama. Nasionalisme dalam kesadaran berbangsa berada di sila ketiga. Esensi sosialisme berada di sila terakhir. Selebihnya kemanusian dan demokrasi berada di posisi kedua dan keempat. Pada konteks bernegara, inilah nucleus yang menjadi panduan dalam biduk bernegara dan berpemerintahan.
Buah dari konsensus itu tentu tak lahir begitu saja. Semua melalui proses berpikir dialektik dimana religi sebagai salah satu sumber nilai yang menjadi saripati (weltanschauung). Indonesia jelas bukan Amerika, Belanda, Malaysia, China apalagi Arab. Sebab itu, keunikan idiologi, konstitusi, sistem politik dan pemerintahannya adalah hasil adaptasi dari perjumpaan semua nilai yang penuh warna. Kita tak mungkin menelan bulat sistem di barat maupun di timur sekalipun faktanya kita menyerap banyak nilai di keduanya. Inilah titik temu, titik kompromi, atau titik sepakat yang banyak diistilahkan orang.
Apakah kita akan berubah dimasa akan datang? Setuju itu hak rakyat dan generasi selanjutnya. Sebab konsensus atas idiologi maupun sistem politik dan pemerintahan hanya dapat diubah oleh rakyat itu sendiri. Tapi mesti diakui bahwa sejak Indonesia dibentuk 1945 hingga pemilu 2019, rakyat mayoritas (termasuk muslim) masih sepakat bahwa Pancasila dan UUD 45 adalah landasan ideal bernegara. Bahwa kemudian ada persoalan dalam praktek tentu perlu dideteksi dimana masalahnya, sebab negara dan pemerintah adalah dua konsep yang tak hanya berhubungan erat, juga berbeda baik secara teoritis maupun praksis.
Negara adalah konsep yang abstrak kata Benedict Anderson dalam imagined communities (1983). Ia disusun secara defenitif oleh unsur pemerintah, rakyat, teritorial, dan kedaulatan. Satu-satunya yang konkrit hanya pemerintah. Itulah mengapa pemerintah dianggap personifikasi paling konkrit dari negara (Rasyid, 1999). Negara bersifat permanen dan long life. Negara menyimpan idiologi, konsensus dan tujuan bernegara lewat konstitusinya.
Disisi lain pemerintah adalah aktor negara. Pemerintah bersifat short time, setiap periode cenderung berganti sesuai diktum konstitusi, bisa 4 sampai 5 tahun yang dapat dipilih kembali. Bisa jadi seumur hidup sebagaimana model monarchi absolut. Karena tugasnya sebagai pelaksana konstitusi, maka undang-undang dapat di ubah sesuai visi yang ingin dicapai tanpa keluar dari fundamental konstitusi itu sendiri.
Disini acapkali kita menyalahkan negara yang bersifat permanen tadi. Padahal pemerintah adalah aktor dinamis yang terus berotasi. Jadi yang mesti kita perbaiki adalah raport pemerintah, bukan terus menerus meneror idiologi dan konstitusinya. Bukan berarti pula tak dapat dianulir, namun mekanismenya tak semudah yang kita bayangkan. Satu-satunya yang tak dapat dianulir hanya kitab suci, sekalipun ada saja manusia jahil yang berani melakukan amandemen kitab suci di hampir setiap agama. Pendek kata, negara ibarat matahari menyinari bulan sebagai pemerintah yang berganti siang dan malam.
Lalu apa yang mesti kita perbaiki dalam demokrasi kita? Setidaknya ada empat hal pokok. Pertama, mengkonsolidasikan kembali praktek berdemokrasi kita agar lebih sehat dan berkualitas. Catatan IUE, IDEA dan Freedom House (2019-2020) dapat menjadi dasar. Tanpa perbaikan sebagai penyandang predikat negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, demokrasi kita hanya akan menjadi kambing hitam, biang keladi, sistem kufur dan rapuh oleh kelompok pengusung idiologi alternatif. Pembusukan ini kentara dilakukan secara masif, terstruktur dan terencana lewat kader militannya diberbagai kesempatan.
Kedua, dengan memperbaiki sistem demokrasi terus-menerus, bermakna bahwa alternatif sistem lain yang ditawarkan seperti khilafah dan komunisme bukanlah solusi paling ampuh dan satu-satunya, kecuali potensi tzunami bagi lahirnya perpecahan, konflik, serta kehendak utopis lagi ahistoris. Dengan konsisten pada upaya itu maka propaganda idiologi dan sistem lain tak mempan mengkhianati konsensus konstitusi dan amanah founding fathers.
Ketiga, yang perlu diantisipasi adalah infiltrasi pemikiran idiologi alternatif yang menjamur lewat berbagai media sosial. Mereka jelas diuntungkan oleh kondusivitas sistem politik demokrasi sehingga bebas mengekspresikan pendapat sekalipun secara kelembagaan telah dibumi hanguskan. Sama halnya dengan komunisme yang pernah dibubarkan pemerintah. Organisasinya mati, namun pemikirannya terpelihara dan ditumbuhkan lewat generasi yang minim sejarah serta hampa wawasan kebangsaan.
Keempat, dengan tetap
kokoh pada jalan beragama moderat (wasothiyah), sebagaimana ditunjukkan
oleh ormas NU dan Muhammadiyah, serta memegang teguh konsensus historis di
atas, kita tak gampang melakukan baiat dalam suksesi kepemimpinan
nasional sebagaimana strategi kaum idiolog transnasional. Tentu saja semua ini
sangat bergantung pada peran pemerintah sebagai aktor negara, masyarakat dan civil
society. Sejauh dialektika agama ada dalam kendali negara tentu bukan soal,
sebab dia bagian dari kemerdekaan berpikir. Namun dalam kondisi tertentu kata
Spinoza (1632-1677), pemerintah boleh melakukan tindakan untuk mempertahankan
kepentingan negara.
Komentar
Posting Komentar