Menyiapkan Kematian Secara Rasional

 Oleh. Muhadam Labolo

Hayat setiap kita telah ditentukan. Dalam optik religi ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh kita. Seluruh roadmap kehidupan sejak mula hingga akhir punya batasan. Batas awal ketika lahir, batas akhir saat pergi. Sejarah pendek itu biasanya dicantumkan pada pusara lengkap dengan lokus oleh ahli waris.

Setiap kali kita tiba di depan batu nisan, kita bisa menghitung seberapa lama seseorang bertahan hidup di dunia ini. Ada yang sebentar, sepenggal, bahkan melampaui rata-rata kenormalan hidup. Menjadi renungan adalah seberapa bermutu panjang-pendeknya hidup kita.

Bila durasi hidup itu di ukur dari kualitas hubungan manusia, ada baiknya kita mempersiapkan kematian secara rasional di dunia ini. Kualitas hubungan itu tentu saja meliputi relasi kita dengan Tuhan, sesama manusia dan alam seisinya. Dalam faktanya, ketiga hubungan itu seringkali memburuk, sedikit yang akur, kebanyakan terpisah jauh.

Dengan Tuhan, kualitas hubungan kita pasang-surut. Sebagian mungkin mencapai harmoni, tak sedikit teraleanasi, sisanya terperangkap pada arogansi dogmatik yang melahirkan fanatisme dan militansi. Dampak baiknya kebahagiaan spiritual, walau tak sedikit yang mengatasnamakan kuasa Tuhan lewat tindakan agresif.

Dengan manusia, mutu relasi kita mengalami hal yang sama. Kadang berada di titik tertinggi sebagai kolega, selebihnya berakhir diam, dipenuhi perdebatan serta konflik komunal. Sumber masalahnya rupa-rupa hingga saling meniadakan. Pada perseteruan itu, Tuhan pun tak luput dilibatkan baik sebagai kawan maupun lawan agar setiap kita memiliki legitimasi magic.

Dengan alam, kualitas hubungan kita pun tak banyak berubah. Bahkan lebih rapuh dibanding koneksi kita dengan Tuhan dan manusia. Alam memang tak banyak berucap kecuali pertanda yang mencemaskan. Jika selama ini kita sering menuduh Tuhan dan manusialah sumber musibah, boleh jadi alam pun sesekali memberi sinyal keseimbangan lewat banjir, longsor, gempa, tsunami, badai, dan letupan berapi.

Dengan kesadaran itu, ada baiknya kita memperbaiki kualitas hubungan secara rasional tanpa menunggu durasi waktu yang disediakan Tuhan akan diperpendek atau diperpanjang. Sekali lagi, itu hak Dia, kita hanya menjalaninya. Kualitas hubungan itu akan menentukan seberapa baik wajah dan timbangan kita dimata Tuhan. Sisanya menjadi sejarah baik atau buruk di mata  manusia dan alam sekitarnya.

Lalu apa isi dari kualitas hubungan itu? Dengan memeras rasionalitas kita, tiada lain adalah kualitas dari sifat _rahman dan rahim_ (kasih sayang) yang dapat kita tumbuhkan dalam hubungan dengan Tuhan, Manusia dan Alam ini (hablumminallah, hamblumminannas, & hablumminalalam). Sifat itu merupakan nukleus agama sekaligus inti dari setiap interaksi kita pada semesta (ND Walsch Coversation With God, book 2, dalam Sugiharto, 2021).

Inilah kualitas hidup kita yang kata Brian Weiss (1996) mesti dipencarkan dalam rupa empathy (peduli), compassion (belas kasih), forgiveness (memaafkan), acceptance (menerima), gratitude (syukur), humility (rendah hati), peace (damai), joy (gembira), trust (kepercayaan), feeling touched (tersentuh), pleasant (nyaman), beauty (cantik), justice (adil) etc. Melalui semua itu nilai kita kemungkinan dapat bertambah baik secara kualitatif maupun kuantitatif dihari-hari mendatang.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian