Kontribusi Agama

 Oleh. Muhadam Labolo

Sejak awal dilahirkan fungsi agama tak kenal lelah berupaya meraih segala hal yang bersifat the impossible menuju possible. Agama juga berperan menyuburkan sisi terbaik manusia hingga melampaui malaikat dibanding iblis. Pada sudut praktis, agama sering mengambil posisi oasis di tengah kerasnya pertarungan penikmat kepentingan dimana ia diyakini (Sugiharto, 2021).

Lepas dari itu agama membutuhkan nalar kritis. Tanpa itu, agama rentan dieksploitasi bagi hajat hidup individu dan kelompok. Agama menjadi eklusif hingga mengecualikan yang lain. Agama tanpa nalar cenderung membentuk basis fundamentalisme. Dalam situasi itu agama sering dikambing-hitamkan sebagai candu dibanding peran dan fungsinya yang tak hanya memuliakan Tuhan, juga menghormati manusia dan alam seisinya.

Sedemikian kompleksnya agama hingga wajah Tuhan tidaklah sesempit hasil identifikasi dalam kitab suci maupun tafsir otoritas institusi. Dia maha atas segalanya. Satu zat yang merangsang penganutnya untuk terus mencari, mendekati dan berserah diri kepadaNya.

Bagi mereka yang terdidik, penting untuk lebih memahami agama pada inti nukleus, artikulasi sistemik dan tendensi praksisnya. Pada nukleus, kita mesti paham apa nilai tertinggi dari kitab suci. Di level artikulasi sistemiknya, perlu dimengerti dengan nalar sehat apa dan bagaimana perangkat doktrin, ritual, organisasi, dan habituasi beragama itu bekerja. 

Pada ujungnya, penting mempersoalkan buah dari proses beragama itu sendiri (tendensi praksis). Tanpa perilaku nyata dalam realitas sesungguhnya, agama tak berkontribusi apa-apa kecuali dinamika pada artikulasi sistemiknya. Malangnya, jika produktivitas agama justru dikaitkan dengan kekakuan, kebodohan, kemiskinan, terorisme, radikalisme, hingga semua label yang cenderung destruktif. Hasilnya tak produktif dan menyakitkan.

Pada kenyataan itu kita pun menyadari bahwa agama bukan tanpa musuh yang nyata. Ada ateisme, fundamentalisme, keyakinan alternatif, bahkan kaum beriman itu sendiri. Jika ateisme menihilkan peran Tuhan, fundamentalisme mengatasnamakan Tuhan, keyakinan alternatif mencari Tuhan baru, maka kritik kaum beriman pun tak kurang menggoyahkan aspek tertentu dalam sistem beragama. 

Dengan peduli pada semua tantangan itu, kemungkinan agama akan semakin kuat, tumbuh di tengah dahaga manusia yang semakin terasing oleh sains. Manusia lebih sering terjebak di laboratorium kerja dibanding rumah ibadah yang ditinggalkan. Agama menjanjikan  banyak hal, sekalipun dalam waktu yang sama tak jarang memberi mimpi buruk. 

Tentu tak sepenuhnya salah agama, tapi lebih banyak karena salah para pengamal agama. Sampai disini kita merenung, memohon maaf kepada sang pencipta agama, kepada pembawa risalah agama, serta kepada sesama penganut agama.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian