Kepemimpinan Minus Kesadaran Sosiologis



Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Ketika polemik Lurah Lenteng Agung menjadi isu sensitif antara Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Mendagri, publik seakan digiring untuk menghayati kembali konstitusi ’45 sebagaimana ajakan Wagub tempo hari. Bagi saya, status Lurah Lenteng Agung bukan semata-mata persoalan hukum dan konstitusi, dimana setiap warga negara memiliki hak yang sama di muka hukum dan pemerintahan. Kalau itu yang dijadikan landasan tanpa pertimbangan lain, maka sebenarnya tidaklah fairness jika kita masih mempersoalkan posisi Ruhut Sitompul sebagai ketua komisi yang membidangi masalah hukum. Tentu saja resistensi lahir karena ada pertimbangan lain yang mesti diperhatikan oleh siapa saja yang menjadi pemimpin. Demikian halnya persoalan Lurah Lenteng Agung, sejogjanya dapat dilihat dari kacamata sosiologi pemerintahan sebagaimana pernah dilakukan oleh pemerintah dimasa lalu, bahkan oleh Pemerintah Belanda di Indonesia. Pemimpin semestinya mampu merasakan sensivitas sosiologi masyarakatnya, bukan masyarakatlah yang dipaksa memahami kehendak para pemimpinnya. Disinilah kegagalan sejumlah pemimpin yang mungkin paham hukum, namun gagal memahami sosiologi hukum itu sendiri. Dalam catatan sejarah, untuk mencapai tujuan pemerintahan yang efektif, Belanda mengangkat pamongpraja dari elit masyarakat itu sendiri. Mereka lahir dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri. Selain pamongpraja asing pada awalnya, Belanda mendidik pamongpraja pribumi sebagai perpanjangan tangan/wakil dengan harapan mampu mentranformasikan kebijakan pemerintah agar efektif diterima masyarakat. Demikianlah mengapa para guru besar semacam Van Vollen Hoven misalnya, menjadi pengajar paling bersejarah dalam mata kuliah Indologi di Universitas Leiden. Inti mata kuliah Indologi adalah tentang pengetahuan dan wawasan ke-Indonesiaan. Mata kuliah ini menjadi mata kuliah wajib bagi seorang calon pamongpraja asing sebelum bertugas dari Sabang sampai Merauke (lihat catatan Van der Walls; 2001). Hasilnya, pamongpraja Belanda mampu menginfiltrasi budaya masyarakat di wilayah Sumatera dan Jawa sekaligus menjalankan politik penguasaan secara tersembunyi. Disisi lain pola-pola penyelesaian masalah di level paling bawah relatif dapat diselesaikan lewat pengintegrasian pengetahuan sosiologi (hukum adat), aturan pemerintah (kebijakan), serta kemampuan membuat keputusan yang adil di tengah masyarakat. Hebatnya, semua keputusan yang dicapai relatif dapat disepakati dan diterima dengan baik sehingga tak menimbulkan gelombang protes dalam jangka panjang. Akseptabilitas masyarakat lahir disebabkan pemerintah mau mendengarkan apa yang menjadi problem secara jujur, selaras dengan pandangan dan kebiasaan (tradisi) masyarakat.

Jakarta tentu saja bukan Indonesia tempo doeloe, namun pasca desentralisasi dilakukan tampak gejala penguatan nilai-nilai lokal tumbuh dan berkembang bak cendawan di musim hujan. Jakarta memang heterogen dan multikultural, namun alangkah bijak jika tetap mempertimbangkan aspek sosiologis dalam penempatan Lurah dan Camat hasil lelang jabatan. Lelang jabatan memang sudah usai, namun efektivitasnya belum dapat diukur. Mereka yang terbaik hasil lelang jabatan belum tentu akan sukses melaksanakan tugas jika berada dalam ruang dan waktu yang salah, demikian kata para ahli motivasi. Lihatlah bagaimana kesuksesan Fadel di Gorontalo, tak serta merta diiringi kesuksesan saat ia duduk sebagai menteri kelautan. Demikian pula Gamawan Fauzi, penggantinya tak sehebat yang diganti, atau bahkan tak ada satupun yang dapat memprediksi apakah Jokowi akan jauh lebih sukses ketika menjadi Presiden RI dibanding menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta? Kritik Amin Rais patut digarisbawahi ketika melihat kesuksesan sekaligus keruntuhan mantan Presiden Philipina Estrada. Gejala Ahok tentu lain lagi, inilah wakil kepala daerah yang meraup untung dari popularits Jokowi. Menurut saya, dengan Sandal-Jepit pun Jokowi berpasangan, hampir pasti akan terpilih, sebab daya tarik personifikasi ada di Jokowi, bukan dipasangannya. Namun, hilangnya kesadaran itu membuat Ahok lupa diri, seakan-akan masyarakat Jakarta memilih wakil kepala daerah, padahal sebagian besar memilih kepala daerah yang kebetulan sedang berada di titik puncak popularitas pada waktu itu, termasuk jika diadakan pemilihan presiden hari ini. Bisa dimaklumi jika tak ada survei yang memperlihatkan popularitas Ahok menanjak pesat dibanding pemimpin lain dalam penanganan kasus Tanah Abang, Mobil Dinas hingga Pengelolaan Parkir. Jelaslah sudah bahwa masyarakat benar-benar memilih Jokowi, dan bukan Ahok, kecuali sebagian kecil diantaranya.

          Kepemimpinan membutuhkan pengetahuan sosiologi yang cukup, dimana pengetahuan ini memberikan pelajaran tentang apa yang menjadi pandangan, kebiasaan dan kehendak masyarakat dalam interaksi sosialnya. Kaitannya dengan pemerintahan (sosiologi pemerintahan) adalah bagaimana masyarakat dan pemerintah menyadari hak dan kewajibannya dalam interaksi antara yang memerintah dan yang diperintah. Semua itu menjadi modal bagi setiap setiap pemimpin untuk menciptakan pemerintahan yang efektif. Resistensi kemungkinan menunjukkan kegagalan pemimpin dalam memahami pentingnya aspek sosiologis masyarakat. Jika kita hanya memahami hukum normatif semata-mata, maka pemerintahan tak lebih baik dari robot yang bahkan dapat memangsa masyarakatnya sendiri. Inilah inti dari kepemimpinan, yaitu human relation. Kunci human relation adalah kemampuan membangun hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan vertikal adalah kemampuan mengejewantahkan kehendak Tuhan dalam bentuk kebijakan publik sebagai kebaikan bersama (common good). Sebaliknya, hubungan horisontal hanya mungkin di topang jika semakin luas masyarakat menerima pemimpinnya lewat penerapan kebijakan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat. Inilah rangkaian dari titik administrasi yang meletakkan manajemen sebagai titik sentral, sekaligus merefleksikan konsepsi makro-kosmos dan mikro-kosmos bertemu di tubuh seorang pemimpin. Manajemen mendudukkan kepemimpinan sebagai fokus kajian utama. Sementara kepemimpinan meletakkan human relation sebagai inti yang meliputi hubungan vertikal dan horisontal. Jika penempatan seorang Lurah dan Camat hanya semata-mata mempertimbangkan aspek hukum, maka dapat dimaklumi mengapa persoalan Aceh, Papua, dan Jogja tak mudah diselesaikan bangsa ini. Semua tentu paham, bahwa penyelesaian Aceh, Papua dan Aceh sejauh ini lebih karena pendekatan sosiologis, bukan dengan hukum an sich yang gagal memperlihatkan efektivitasnya sejak jaman orde baru. Sekiranya Ahok mengambil kursus singkat dari seniornya, tentu saja kesuksesan Jokowi di Solo dalam kasus relokasi pedagang kaki lima adalah buah dari kesadaran dan pengetahuan Jokowi tentang sosiologi masyarakat di Solo, bukan karena alasan hukum semata sebagaimana selalu menjadi pijakan argumentasi Ahok diberbagai kesempatan. Pelajaran berharga semacam itulah yang sebenarnya dapat dipetik Ahok dalam relokasi yang sama di Tanah Abang, sehingga tak menimbulkan aksi anarkhis dari para pedagang kaki lima. Kalau Jokowi bisa, mengapa Ahok justru mendapatkan resistensi yang kuat? Saya pikir dugaan kita mungkin ada benarnya, kita kekurangan kepemimpinan dengan pengetahuan sosiologi yang memadai. Itulah mengapa banyak kepala daerah di wilayah Indonesia Timur yang memiliki masyarakat dengan perbedaan idiologi yang dalam memperoleh tempat di hati masyarakatnya lantaran kesadaran sosiologis semacam itu. Dengan demikian ada baiknya jika para pemimpin kedepan dibekali dengan pengetahuan sosiologi perkotaan, sosiologi politik, sosiologi pemerintahan maupun sosiologi hukum dalam bingkai ke-Indonesiaan sehingga benar-benar efektif menjalankan pemerintahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian