Pokok-Pokok Laporan Evaluasi IPDN
oleh.
TIM EVALUASI (2007)
I. PENDAHULUAN
Terjadinya tindakan
kekerasan yang berulang dilakukan oleh praja senior terhadap praja junior telah
memunculkan reaksi negatif publik yang sangat luas, terutama opini yang
menuntut pembubaran IPDN. Evaluasi secara
menyeluruh menuju perubahan yang fundamental terhadap penyelenggaraan
pendidikan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri telah dilakukan dengan tujuan
memperoleh pemahaman kelayakan IPDN sebagai perguruan tinggi kedinasan dalam
mencetak kader pamong praja, dan untuk memperoleh alternatif solusi lembaga
pembinaan kader pemimpin pemerintahan ini yang seharusnya berwawasan keilmuan,
demokratis, beretika dan memiliki moralitas yang tinggi sebagai pelayan
masyarakat. Tim memfokuskan
evaluasi pada aspek kepemimpinan dan manajemen, aspek akademik yang meliputi
pengajaran dan pelatihan beserta faktor-faktor pendukungnya, dan aspek kemahasiswaan yang mencakup kegiatan
intra dan ekstrakurikuler yang dilakukan mahasiswa, yang secara fungsional
ditempatkan di bawah supervisi sistem pengasuhan.
II. SEJARAH SINGKAT PENDIDIKAN PAMONG PRAJA
Penyelenggaraan pendidikan kader di lingkungan
Departemen Dalam Negeri terbentuk melalui suatu proses sejarah yang panjang,
sejak tahun 1920, diawali dengan terbentuknya sekolah pendidikan Pamong Praja
dengan nama Opleidings School Voor
Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) dan Middlebare
Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (MOSVIA), untuk memperkuat
penyelenggaraan pemerintahan Hindia Belanda yang diselenggarankan oleh kaum
pribumi (Binnenlands Bestuur Corps).
Pada awal kemerdekaan, kebutuhan akan tenaga Pamong
Praja pada tahun 1948 dibentuklah lembaga pendidikan dalam lingkungan
Kementerian Dalam Negeri yaitu Sekolah Menengah Tinggi (SMT) Pangreh Praja di
Jakarta dan Makassar. Kemudian tahun 1952, diselenggarakan Kursus Dinas C (KDC)
di kota Malang, yang kemudian dibentuk pula di beberapa provinsi yaitu Jakarta,
Medan, Aceh, Bandung, Bukittinggi, Pontianak, Makassar, Ambon, Palangkaraya,
dan Mataram. Kemudian pada tahun 1956 ditingkatkan menjadi Akademi Pemerintahan
Dalam Negeri (APDN) di Malang Jawa Timur yang diresmikan oleh Presiden Soekarno,
selanjutnya diikuti dengan pembentukan APDN di 20 Provinsi.
Tahap selanjutnya pada tahun 1967, APDN ditingkatkan
menjadi Institut Ilmu Pemerintahan (IIP)
di Malang Jawa Timur. Pada tahun 1972 dipindahkan ke Jakarta dan diresmikan
oleh Presiden Soeharto. Pada tahun 1989 pemerintah menutup APDN di 20
Provinsi dan disatukan menjadi APDN Nasional di Jatinangor Jawa Barat. Pada
tahun 1992 APDN Nasional ditingkatkan statusnya menjadi Sekolah Tinggi
Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Sejak saat itu telah terjadi dualisme antara
STPDN dan IIP yang sama-sama menghasilkan lulusan sarjana dengan pangkat
(III/a). Pada tahun 1999 kebijakan pendidikan nasional mengatur bahwa suatu
departemen tidak boleh memiliki dua atau lebih perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan dalam ilmu yang sama. Kebijakan tersebut mendorong
Departemen Dalam Negeri mengintegrasikan STPDN ke dalam IIP. Pengintegrasian
kemudian terwujud dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2004
tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP dan sekaligus mengubah nama IIP menjadi
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Akan tetapi pola pendidikan IPDN
menggunakan pola warisan STPDN yang cenderung mempratekkan cara-cara kekerasan
ketimbang budaya pendidikan IIP yang berorientasi pada pengembangan keilmuan
yang demokratis.
III. ANALISA DAN
EVALUASI
Praktek kekerasan yang berlangsung
adalah sebuah tradisi yang tertanam sejak awal. Bibit itu disemaikan melalui
kebiasaan di APDN Bandung yang menerapkan sanksi fisik terhadap praja yang
bersalah dan perlu segera dikoreksi. Pada tahun 1989 APDN-APDN daerah diintegrasikan
menjadi APDN Nasional di kampus Jatinangor dan pembinaan praja dilakukan oleh
pengasuh yang berasal dari APDN Bandung yang disupervisi oleh pengasuh dari
Akademi Militer, dan melegitimasi penerapan sanksi fisik sebagai instrumen
pembinaan praja. Pola pembinaan praja yang menerapkan sanksi fisik mengalami
proses internalisasi sebagai bagian dari kehidupan kampus. Sejak itu, kekerasan
telah menjadi produk dari berbagai faktor yang secara kasat mata melekat pada
sistem pendidikan itu sendiri. Ini dimulai dari:
(1) Rekruitmen
yang tidak secara transparan bisa dipertanggungjawabkan obyektivitasnya.
(2)
Penerapan
kurikulum yang sangat padat sehingga tidak membuka ruang yang cukup untuk
kreativitas dan pembentukan identitas individual
(3)
Lemahnya
kemampuan para dosen dalam mengkomunikasikan ilmu yang secara sistematik
merangkum seluruh aspek-aspek logika, estetika, dan etika dari mahasiswa.
(4)
Kehidupan
kampus yang menekan, seperti asrama yang kelewat padat.
(5)
Tidak
tersedianya unit-unit pengaduan bagi praja.
(6)
Tidak
tersedianya mekanisme kontrol dan koreksi internal dalam sistem kehidupan
lembaga.
(7)
Ketiadaan
supervisi kepemimpinan dari Departemen Dalam Negeri dan Rektor beserta
jajarannya terhadap seluruh kehidupan di kampus.
Semua faktor tersebut berhubungan satu
sama lain, dan secara kumulatif menghasilkan suasana ketegangan yang terus
menerus. Kekerasan yang terjadi secara sistemik adalah akumulasi dari berbagai
ketegangan dan penyimpangan yang terjadi pada hampir semua sisi kepemimpinan,
kelembagaan, dan sistem belajar-mengajar. Kekerasan hanyalah puncak dari sebuah
gunung es permasalahan yang terpendam jauh di bawah permukaan. Penyelewengan
dari cita-cita itu terjadi akibat berbagai kegagalan sebagai berikut :
a. Kepemimpinan
1.
Kegagalan
dalam membangun mekanisme interaksi.
2.
Tidak
terbangunnya team work yang
melibatkan kalangan yang lebih luas.
3.
Pengambilan
keputusan yang tidak efektif dan terpusat pada Rektor, termasuk pada kegiatan
yang bersifat teknis.
b. Manajemen
1.
Disfungsi
organisasi sebagai akibat dominasi Badan Diklat di bidang administrasi membawa
pengaruh pada lemahnya kemandirian kampus sebagai dunia akademik.
2. Syarat dan
kompetensi dalam pengangkatan pada jabatan kurang dipertimbangkan, dan
ketidakjelasan jalur karier telah menumbuhkan iklim kerja yang tidak kondusif.
3.
Prasarana
dan sarana lebih dititikberatkan pada ketersediaan sarana seremonial dan
rektorat, yang membentuk tampilan semu karena tidak relevan dalam menunjang
kegiatan akademik.
4.
Pengawasan
tidak efektif terjadi pada semua jenjang sebagai akibat tidak terbentuknya team work, dan kegagalan dalam membangun
interaksi yang intens.
c. Pendidikan
1. Kurikulum tidak dirancang untuk
menghasilkan kader pemerintahan yang berkarakter intelektual, profesional, dan
sekaligus rendah hati.
2. Kompetensi dosen yang rendah menjadi
penyebab utama rendahnya kualitas proses belajar mengajar.
3. Pedoman pengasuhan tidak operasional, mengakibatkan
terjadinya penyimpangan pola pengasuhan.
4.
Standar rekruitmen pengasuh tidak jelas, sehingga membuka
peluang diterimanya pengasuh yang tidak kompeten.
5.
Proses rekruitmen praja belum sesuai dengan standar rekruitmen
sehingga memunculkan persoalan dalam proses pembelajaran lanjutan.
6.
Lemahnya pembinaan lembaga terhadap kegiatan Organisasi
Wahana Bina Praja.
Kesimpulan dari
evaluasi yang dikemukakan di atas adalah bahwa sistem IPDN yang berlaku saat
ini tidak mungkin lagi untuk diteruskan. Kegagalan dalam kepemimpinan,
manajemen kelembagaan dan sistem pendidikan terbukti telah memberi beban yang
berat kepada citra pendidikan kedinasan Depdagri pada khususnya, dan citra
pemerintahan kita secara keseluruhan.
IV . REKOMENDASI : TIGA OPSI KEBIJAKAN
Bertolak dari semua hasil evaluasi
itu, Tim mengajukan tiga opsi kebijakan, sekaligus garis besar desain pada
masing-masing opsi itu, serta pra-kiraan waktu yang dibutuhkan untuk
implementasinya:
OPSI PERTAMA: MELANJUTKAN DENGAN
PERUBAHAN SISTEM.
1. Kampus Jatinangor dipertahankan
sebagai pusat pendidikan kader pamongpraja di bawah kendali Departemen Dalam
Negeri dengan supervisi Departemen Pendidikan Nasional dan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara. Nama dikembalikan menjadi Institut Ilmu
Pemerintahan (IIP). Perubahan nama ini diperlukan karena nama STPDN-IPDN sudah
tercemar dan telah menjadi obyek sikap sinis masyarakat.
2. Sistem
pendidikan sepenuhnya berorientasi akademik dengan kurikulum yang
menyeimbangkan aspek fungsional, kontekstual, dan filosofis dari keilmuan
pemerintahan dan ilmu-ilmu lain.
3. Kegiatan pelatihan diarahkan pada
peningkatan berbagai jenis keterampilan, baik yang sifatnya memperkaya
pengetahuan, meningkatkan daya kreativitas dan sensitivitas spiritual,
socio-kultural.
4. Kegiatan pengasuhan dihentikan sama
sekali.
5. Hubungan antar praja sebagai hubungan
sosial yang biasa saja.
Langkah-langkah kebijakan yang perlu dilakukan:
1.
Restrukturisasi kepemimpinan dimulai dengan penempatan
Rektor yang baru, dengan kualifikasi akademik yang memenuhi syarat kompetensi. Untuk
kepentingan itu, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan Nasional,
Kementerian PAN perlu memberi supervisi bagi kelancaran dukungan pemerintah
dimaksud.
2.
Dalam sistem yang baru ini, kepemimpinan IIP harus tampil
dengan karakter intelektual yang tinggi, tegas, transparan, akomodatif dan
mampu membangun tim kerja yang efektif. Acuan tentang kebutuhan obyektif itu
ditetapkan oleh Depdagri dan Kementerian PAN.
3.
Penataan manajemen IIP yang baru harus mencakup
perencanaan ulang atas kebutuhan personil, sarana dan prasarana pendidikan. Penataan
manajemen ini memerlukan supervisi dari Depdagri dan Depdiknas.
4.
Khusus untuk asrama mahasiswa, diperlukan penataan ulang
berdasarkan prinsip perubahan komposisi berjenjang, dengan maksimum penerimaan
setiap tahun adalah 500 (lima
ratus) mahasiswa.
5.
Penyusunan kurikulum baru IIP harus 90% berorientasi
keilmuan dan 10% berorientasi keterampilan. Supervisi untuk penyusunan
kurikulum baru ini dilakukan oleh Depdiknas dan Depdagri.
6.
Untuk mengelola kurikulum yang baru, dan untuk menghapus
kenyataan adanya sejumlah dosen/pelatih yang tidak menguasai subyek yang
diajarkan, dan mengembangkan metodologi belajar-mengajar yang efektif. Untuk
maksud itu perlu dibentuk Tim Evaluasi Dosen/pelatih yang terdiri dari
unsur-unsur Depdiknas dan Depdagri.
7.
Khusus untuk proses penarikan personil baik dari kalangan
pengasuh maupun dosen/pelatih menjadi tanggungjawab Depdagri, Kementerian PAN
dan Depdiknas.
8.
Untuk menjamin konsistensi dari pelaksanaan sistem yang
baru disarankan agar Pemerintah membentuk Tim Implementasi Sistem IIP
berdasarkan rekomendasi ini, yang terdiri dari unsur-unsur Depdagri, Depdiknas
dan Kementerian PAN, dengan meingikutsertakan anggota Tim Evaluasi berdasarkan
Keppres Nomor 8 Tahun 2007.
9.
Apabila opsi pertama ini dilaksanakan maka waktu yang
diperlukan untuk persiapan adalah 2 (dua) tahun.
KEKUATAN dari Opsi Pertama terletak pada terjaminnya kontinuitas
pendidikan kader pemerintahan yang berakar kuat dalam sejarah pendidikan
kepamongan di Indonesia ,
mulai dari KDC, APDN, dan IIP selama lebih dari setengah abad.
KENDALANYA terletak pada pembiayaan besar yang dibutuhkan untuk
melakukan pembangunan dan perbaikan berbagai sarana dan prasarana pendidikan.
KELEMAHANNYA, sistem IIP yang baru ini belum sesuai dengan semangat UU
Diknas yang berlaku saat ini.
OPSI KEDUA:
PEMBANGUNAN APDN REGIONAL
1. Kampus Jatinangor
ditutup dan dikonversi menjadi kampus pusat seluruh pelaksanaan Diklat di
lingkungan Depdagri.
2. Pembangunan APDN
regional minimal di 5 (lima )
lokasi berdasarkan kesepakatan
pemerintah daerah provinsi.
3. Kurikulum APDN
disusun oleh Depdiknas dan Depdagri dan berlaku secara seragam di 5 kampus baru
tersebut. Supervisi penyelengaraan pendidikan di APDN dilakukan oleh dua
departemen tersebut.
4. APDN
menyelengarakan program studi Diploma III melalui penerimaan mahasiswa dari
lulusan SLTA yang memenuhi syarat (test akademik, psikotest, dan test
kesehatan). Setelah berkerja selama dua tahun di pemerintah daerah, lulusan
APDN dapat melanjutkan pendidikan ke Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di kampus
Cilandak.
5. Penerimaan
mahasiswa IIP dibatasi maksimum 250 (duaratus lima puluh orang) per tahun, dengan masa
pendidikan 2 (dua) tahun
Untuk mendukung
konsep dasar pembangunan APDN regional ini, diperlukan langkah-langkah
persiapan sebagai berikut:
1. Konsultasi dengan
seluruh Gubernur Provinsi tentang kebijakan baru pendidikan kedinasan
Departemen Dalam Negeri.
2. Pembentukan Tim
Implementasi sistem APDN dan IIP yang baru, yang bertanggungjawab menyusun
kurikulum pada kedua lembaga pendidikan.
3. Hal-hal yang
menyangkut syarat dan tata cara penerimaan mahasiswa APDN dan IIP lebih lanjut
juga dapat dirumuskan oleh Tim Implementasi.
4. Kalau opsi kedua ini
dilaksanakan maka waktu yang diperlukan untuk persiapan adalah 5 (lima ) tahun.
KEKUATAN dari Opsi Kedua terletak pada kecocokannya dengan
aspirasi otonomi daerah yang semakin membutuhkan banyak kader pemerintahan
untuk mengisi pos-pos terdepan seperti kelurahan dan kecamatan.
KENDALANYA adalah pada biaya besar yang dibutuhkan untuk membangun
kampus baru di lima
lokasi, rekrutmen dosen/pelatih dengan kualifikasi tinggi yang tidak serta
merta tersedia
KELEMAHANNYA sama dengan yang dihadapi pada Opsi yang pertama, yaitu
bahwa sistem ini tidak terakomodasi pada UU Diknas yang berlaku.
OPSI KETIGA:
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESIONAL DI IIP
1. Kampus Jatinangor
ditutup dan difungsikan sebagaimana yang telah dirumuskan pada butir 1 konsep
Opsi Kedua tersebut diatas.
2. Kampus IIP di
Cilandak menyelengarakan pendidikan kader pemerintahan secara professional yang
lulusannya berkualifikasi sebagai ahli pemerintahan.
3. Para
dosen dan pelatih diambil dari dosen dan pelatih IPDN yang memenuhi syarat,
ditambah rekrutmen baru yang professional dan kompeten.
4. Pendaftaran untuk
mengikuti test masuk IIP dilakukan melalui pemerintah daerah.
5. Maksimum
mahasiswa yang diterima adalah 250 (dua ratus lima puluh) orang setiap tahun. Semua
mahasiswa wajib tinggal di asrama Cilandak.
6. Lulusan strata 1
yang diterima di IIP akan mengikuti program pendidikan profesional selama 1
tahun 6 bulan.
7. Kurikulum
pendidikan kader ini disusun oleh Depdagri dengan supervisi Depdiknas dan
Kementerian PAN
Untuk mendukung
konsep dasar pendidikan kader professional di IIP ini diperlukan
langkah-langkah persiapan sebagai berikut:
1. Pembentukan Tim
Implementasi Pendidikan Profesional Kader Pemerintahan yang melibatkan Depdagri
dan Depdiknas untuk menyusun kurikulum, persyaratan dosen dan mahasiswa IIP
yang baru.
2. Perencanaan
menyeluruh peruntukan kampus IIP Cilandak, mulai dari renovasi dan pembangunan sarana
dan prasarana pendidikan.
3. Apabila opsi
ketiga ini akan dilaksanakan maka waktu yang diperlukan untuk persiapan adalah
2 (dua) tahun.
KEKUATAN dari Opsi Ketiga ini terletak pada kesesuaiannya dengan
UU Diknas yang berlaku.
KENDALANYA adalah resistensi besar dan merata di seluruh Indonesia
dari para lulusan APDN, STPDN, dan IIP yang tidak rela kehilangan almamater
mereka.
KELEMAHANYA adalah pemerintah daerah tidak akan memperoleh kader
pemerintahan yang terbentuk kepribadian dan komitmen NKRI-nya dari masa usia
remaja, yang dari segi pembentukan karakter sering disebut sebagai "formative years." Selain itu dengan
rekrutmen dari lulusan S1 akan menutup jalan bagi anak-anak dari keluarga tidak
mampu untuk masuk ke pendidikan kader pemerintahan.
V. PENUTUP
Dalam konteks tiga opsi yang diajukan, Tim tidak memiliki preferensi yang
bersifat khusus. Opsi-opsi itu baik dalam dirinya masing-masing sebagai solusi
terhadap masalah STPDN/IPDN yang terbentang di hadapan kita.
Dalam pada itu, opsi mana pun yang kemudian akan dipilih oleh pemerintah,
masa transisi yang berlaku hingga tibanya waktu untuk mulai mengimplementasikan
kebijakan baru, perlu dikelola dengan hati-hati, cermat dan tegas. Pilihan atas
opsi kebijakan seyogianya diikuti dengan penetapan tahapan transisional baik di
sektor kepemimpinan, manajemen kelembagaan, maupun sistem pendidikan yang saat
ini mencakup pengajaran, pelatihan dan pengasuhan. Karena itu penanggungjawab
kebijakan harus memprakarsai pembentukan Tim Implementasi segera setelah
Presiden memutuskan pilihan kebijakannya. Pedoman kerja dan strategi pencapaian
target secara bertahap sampai terwujudnya sistem yang baru perlu disusun,
ditetapkan, dan dilaksanakan secara konsisten oleh Tim Implementasi.
Berdasarkan pedoman dan strategi itulah manajemen IPDN yang ada saat ini
mengarahkan pelaksanaan tugasnya. Ini terutama berkenaan dengan pergeseran
personil dan penyesuaian kurikulum pengajaran dan pelatihan, serta penerapan sistem pengawasan kehidupan kampus yang
dapat secara bertahap menggeser pola pengasuhan yang selama ini berlaku.
Artinya, terlepas dari pilihan kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah,
pendidikan yang sedang berlangsung di Jatinangor harus diselamatkan.
Masa transisi minimal dua tahun yang ditawarkan
melalui dua dari tiga opsi kebijakan itu, seyogianya dipakai untuk membenahi
sistem yang saat ini berlaku demi menjamin terpeliharanya suasana pendidikan
yang kondusif, bebas dari kekerasan dan penyalahgunaan wewenang, baik oleh para
pemimpin lembaga perguruan tinggi dan dosen/pelatih, maupun oleh staf
administrasi.
Komentar
Posting Komentar