Reformasi Birokrasi, Problem dan Dilema Kebijakan di Indonesia

Oleh. Dr. Muhadam Labolo

Abstrak
Sebagai konsekuensi dari upaya demokratisasi dan desentralisasi diperlukan kebijakan reformasi birokrasi dalam dua aspek penting yaitu perubahan struktur dan kultur. Struktur berkaitan dengan segenap sistem dan prosedur yang dibutuhkan, sedangkan kultur berkaitan dengan perilaku dan sikap aparatur pemerintah. Reformasi birokrasi di Indonesia tampak berjalan di tempat sebagai akibat meningkatnya problem dan dilema kebijakan. Dilema kebijakan berkelindan dalam problem restrukturisasi organisasi, remunerasi, sistem karir, disorientasi ketaatan, improvisasi efesiensi dan efektivitas, keseriusan program dan kegiatan, serta konsistensi alokasi pembiayaan daerah sebagai ujung tombak pelayanan.  Problem tersebut berimplikasi terhadap makna dan tujuan reformasi birokrasi yang sedang dijalankan. Tanpa evaluasi yang ketat terhadap semua agenda maka arah kebijakan reformasi birokrasi hanya menjadi slogan semata tanpa pencapaian tujuan yang dikehendaki. Tujuan luas reformasi birokrasi adalah membangun profil dan perilaku aparatur negara yang memiliki integritas tinggi, produktivitas dan bertanggungjawab, serta memiliki kemampuan dalam memberikan pelayanan prima. Secara khusus reformasi birokrasi bertujuan membangun dan membentuk birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, melayani masyarakat serta akuntabel. Hanya dengan kedua tujuan tadi birokrasi sebagai personifikasi paling konkrit dari pemerintah mampu memulai pekerjaannya. 

Key word :  Demokrasi, Desentralisasi, Reformasi Birokrasi

Pendahuluan

        Di tengah arus demokratisasi dan desentralisasi berbagai instrumen dipersiapkan untuk mencapai tujuan bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Demokratisasi dan desentralisasi hanyalah pilihan sistem dan cara yang memungkinkan tercapainya tujuan ideal. Untuk maksud tersebut demokratisasi maupun desentralisasi membutuhkan penguatan dari aspek sistem dan sumber daya aparatur yang mampu mengawal semua proses menuju tujuan utama.  Tanpa itu demokratisasi dan desentralisasi hanyalah slogan prosedural baik secara fungsional maupun struktural sebagaimana terlihat di berbagai negara berkembang. Dalam konteks Indonesia, panorama demokratisasi dan desentralisasi baru tampak dalam kerajinan membangun institusi dan melimpahkan kewenangan luas tanpa penguatan sistem, organisasi, tata laksana dan sumber daya aparatur. Pembangunan berbagai institusi di bidang politik, ekonomi, sosial dan hukum pasca reformasi menunjukkan itikad baik bagi kuatnya negara demokrasi.  Disisi lain pelimpahan wewenang yang luas dari pusat ke daerah sebagai manifestasi desentralisasi memperlihatkan upaya pemerintah merangsang partisipasi masyarakat daerah dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dengan demikian kedua konsep tersebut pada akhirnya diharapkan bertemu di muara terciptanya kesejahteraan rakyat.
         Sejauh ini pembangunan aneka institusi demokrasi dan desentralisasi terkesan berjalan di tempat. Di pusat pemerintahan, terbentuknya beragam institusi seperti komisi, badan, departemen dan lembaga belum memperlihatkan ouput positif bagi tujuan yang ditetapkan. Banyaknya organ departemen pemerintah dan lebih dari 100 lembaga non departemen hingga akhir tahun 2012 tak berbanding lurus dengan kinerja yang diharapkan. Sementara fenomena di daerah memperlihatkan potret telanjang dimana birokrasi mengalami semacam kegelisahan akibat politisasi birokrasi. Luasnya kewenangan memungkinkan siapapun pemimpin terpilih dapat menukar prinsip-prinsip utama merit sistem dengan seperangkat perasaan balas budi.  Fakta lain birokrasi diarahkan menurut intuisi pemenang pemilukada dalam bingkai like and dislike. Jika organisasi pemerintah pusat mengalami semacam gejala obesitas, maka organisasi pemerintah daerah terjangkiti diabetes kering yang tampak kurus sesuai instruksi pusat namun kekurangan gizi akibat rendahnya kualitas birokrasi. Kondisi tersebut menjadikan institusi demokrasi maupun desentralisasi di pusat dan daerah tampak memenuhi semua persyaratan prosedural namun minus sumber daya aparatur yang profesional. Dampak dari semua itu menjadikan birokrasi berjalan limbung serta kehilangan visi akibat beban yang tak seimbang. Kini, patologi birokrasi bermunculan dimana-mana dalam rangkaian akronim yang tak asing bagi publik Indonesia, korupsi, kolusi dan nepotisme. Apa yang menjadi harapan bagi terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) terlihat jauh panggang dari api. Dengan semua masalah internal tersebut maka pemerintah beralasan perlunya reformasi birokrasi guna menata dan mengarahkan kembali birokrasi kedalam visi dan misinya melayani rakyat, bukan dirinya sendiri apalagi penguasa. Upaya tersebut berkenaan dengan recovery pada aspek struktur dan kultur birokrasi. Namun bagaimanakah performa reformasi birokrasi Indonesia yang telah berjalan lebih kurang empat belas tahun hingga kini? Hasil survei eksternal Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2012 menempatkan birokrasi Indonesia terburuk ke-2 di Asia. Hasil ini menempatkan birokrasi Indonesia lebih buruk dari birokrasi Filipina, Thailand bahkan Vietnam. Reformasi birokrasi di Indonesia dinilai belum memiliki grand strategy yang jelas, tepat dan terukur. Indikasi dari semua itu terlihat dalam hal inkonsistensi restrukturisasi organisasi pemerintahan, kebijakan remunerasi yang bersifat tak adil dan parsial, sistem karier jauh dari kaidah-kaidah manajemen yang normal,  budaya birokrasi telah menjadikan ketaatan pada prosedur dan hukum sebagai tujuan bukan alat atau cara, efektifitas dan efisiensi pelayanan publik mengalami disorientasi, program dan kegiatan reformasi birokrasi terkesan bernuansa pencitraan, serta ketimpangan pembiayaan pemerintah pada pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelayanan publik dalam kerangka desentralisasi.
        Berdasarkan gambaran diatas maka yang perlu dikaji lebih jauh adalah bagaimanakah indikasi tersebut terjadi, serta kebijakan seperti apakah yang perlu dilakukan oleh pemerintah sehingga agenda reformasi birokrasi tetap berjalan pada rel yang telah ditentukan.  Kajian ini akan mendeskripsikan semua indikasi diatas yang mengakibatkan reformasi birokrasi selama ini berjalan lunglai untuk tidak dikatakan layu sebelum berkembang. Pada bagian akhir kajian ini akan merekomendasikan sejumlah alternatif kebijakan yang memungkinkan dalam upaya mengawal reformasi birokrasi guna mencapai tujuan normatif maupun idealnya.

Makna dan Tujuan
            Sebelum kita memaknai lebih jauh tujuan reformasi birokrasi, ada baiknya kita perlu memahami konsep reformasi dan birokrasi guna meletakkan pemahaman yang utuh dalam pengembangan kajian lebih lanjut. Kata reformasi mengandung makna yang sepadan dengan istilah restorasi, perombakan, perbaikan dan pembaharuan. Reformasi sendiri bermakna perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Menurut arti kata dalam bahasa Indonesia, pengertian reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.  Dalam reformasi perubahan bersifat evolutif dibanding gelombang politik ekstrem seperti kudeta yang bersifat revolutif. Di Indonesia, secara historis kata reformasi umumnya merujuk pada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah Orde Baru. Pasca kejatuhan rezim orde baru, reformasi diarahkan khusus pada perubahan masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan diarahkan pada development sebagaimana pikiran Susanto (dalam Siswoyo 2012).[1] Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Quah (1976) yang mendefinisikan reformasi sebagai proses untuk mengubah prosedur birokrasi publik, sikap serta tingkah laku birokrat guna mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain menurutnya adalah change, improvement, atau modernization. Pengertian ini memiliki ruang lingkup yang lebih luas tidak hanya proses dan prosedur, juga perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. Reformasi juga dipandang sebagai perubahan yang terbatas kedalamannya, sedangkan keluasan perubahan melibatkan masyarakat (Sinambela, 2007:25). Pengertian ini menggambarkan bahwa perubahan yang dilakukan bukanlah perubahan yang bersifat radikal namun terbatas pada bagian tertentu seperti menambal sulam.  Bagian tertentu yang dianggap menjadi kendala dan hambatan diperbaiki dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas (stakeholders). Secara sederhana reformasi berarti mengembalikan tatanan yang telah bergeser dari tujuan semula dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas. Pengertian ini setidaknya menempatkan reformasi tidak saja pada aspek cita-cita dalam bentuk visi dan misi, demikian pula aspek kelembagaan dan perilaku manusia yang melaksanakannya. Reformasi pada kerangka visi dan misi dapat terbentuk dalam bidang politik, ekonomi dan hukum.  Perubahan visi politik ke arah demokratisasi misalnya telah mendorong lahirnya perangkat demokrasi dan sistem di pusat dan daerah.  Terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah, adalah contoh tumbuhnya perangkat struktur politics yang memungkinkan pola artikulasi masyarakat berubah. Di ranah sistem terbentuk pula mekanisme pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung (direct system) yang merupakan rangkaian dari produk reformasi politik.[2] Dalam bidang hukum terbentuknya Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Yudisial menunjukkan berkembangnya mezo structur politics yang menjamin artikulasi kepentingan tersalurkan secara adil. Di bidang sosial munculnya kebebasan berpendapat dan berkumpul sesuai garansi konstitusi telah melahirkan lembaga-lembaga sosial yang kritis dalam mengawasi gerak-gerik pemerintah di pusat dan daerah.  Pada level manajemen pemerintahan dilakukan reformasi birokrasi yang menghendaki perubahan pola pikir dan pola tindak aparatur pemerintah dalam kerangka efisiensi dan efektivitas pelayanan masyarakat.
Dalam hubungan itu reformasi dititikberatkan pada birokrasi sebagai mesin kinetik pemerintah yang memiliki karakteristik khas sebagaimana pikiran Weber (1864-1920). Selain itu Albrow misalnya banyak mengembangkan konsep birokrasi dari berbagai sudut pandang. [3] Secara etimologis birokrasi berasal dari kata bureaucracy (Inggris), atau burocratie (Jerman), burocrazia (Italia) dan bureaucatie (Perancis), yang berarti meja atau kantor. Istilah ini dimunculkan kembali oleh filosof Perancis, Baron de Grimm atas catatan Vincent de Gournay[4]. Cracy (kratos) sendiri menunjukkan arti kekuasaan atau aturan. Dalam padanan lain seringkali dihubungkan dengan istilah pemerintahan (proses), sebab pemerintahlah yang paling mungkin memiliki kekuasaan membuat aturan, atau bahkan proses dan sumber dari semua aturan dalam hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.  Statement ini setidaknya sejalan dengan pikiran Gornay dan Laski (1930) yang mendefenisikan birokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana kontrol sepenuhnya berada di tangan para pejabat yang sampai pada batas tertentu dapat menunda atau mengurangi kemerdekaan warga negara biasa[5]. Makna bureau (baca:biro) identik dengan kenyataan dalam birokrasi, dimana struktur di bentuk lebih banyak menyelesaikan pekerjaan di atas meja. Pejabat biasanya duduk di belakang meja.  Semua masalah relatif diselesaikan di atas meja. Logikanya, jika urusan diselesaikan di bawah meja mungkin saja bertentangan dengan makna etimologisnya. Ini bisa dimaklumi, sebab secara historis birokrasi traditional Perancis (abad 18) menampilkan wajah boros, eksploitatif, represif, oportunis, kolutif, koruptif dan nepotism. Sinisme atas gejala tersebut melahirkan istilah bureaumania. Secara fungsional, realitas pelayanan justru menjadi lebih efisien dan efektif jika tanpa melalui meja birokrasi yang terkadang berbelit-belit dan menguras energi.  Dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menemukan istilah biro pada struktur organisasi. Di Indonesia, organisasi provinsi dan pusat terdapat jabatan biro yang dipimpin oleh seorang kepala biro setingkat eselon dua. Sebagai contoh, biro hukum, biro organisasi, biro pemerintahan, biro umum dan sebagainya. Ia membawahi sejumlah bagian dan subbagian pada level paling rendah. Bahkan untuk membedakan secara teknis, seorang pejabat memiliki meja dengan ukuran biro atau setengah biro. 
Dalam pengertian praktis birokrasi adalah pegawai pemerintah yang menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik dan penerapan kebijakan pemerintah. Mereka disebut juga pegawai sipil. Dalam konteks Indonesia dikenal dengan istilah aparatur pemerintah. Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya  dan diberi mandat oleh negara  dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Ukuran tersebut antara lain seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan, pendidikan dan lainnya (Gaspersz dalam Siswoyo:2012). Birokrasi  jamak diartikan sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat (Tjokrowinoto:2001). Segala upaya pemerintah dalam bentuk produk kebijakan dimaknai sebagai wujud dari fungsi melayani orang banyak. Sekalipun mengandung kelemahan, namun sejauh ini pemerintah yang direpresentasikan birokrasi tetap diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Dalam hal ini terdapat kesenjangan antara idealisme birokrasi dan orientasi birokrasi itu sendiri.
Harus diakui bahwa pola patron-client yang kental menjadikan karakteristik birokrasi sebagaiman pendapat Weber berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu hirearkis menimbulkan penumpukan keputusan di tingkat atas. Pada sisi lain kreativitas, inisiatif dan kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan jauh dari harapan sehingga yang tampak adalah perilaku kelambanan dan sikap berbelit-belit. Akibatnya terjadilah pelayanan high cost yang mempertemukan client pada persyaratan tertentu sehingga menyulitkan pelanggan.
Birokrasi di Indonesia tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang relatif jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan sehingga rakyat  berada dalam situasi yang tak berdaya  (powerless) dan tak memiliki pilihan (Tjokrowinoto:2001). Kondisi demikian mengakibatkan penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi  pada kemanusiaan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar pada etos feodalisme. Persoalannya adalah bagaimana upaya yang dilakukan agar birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan efisien kepada masyarakat. Tentu saja jawaban idealnya adalah reformasi birokrasi yang tidak saja terbatas pada proses dan prosedur, juga perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku/etika (the ethics being).
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business proses) dan sumber daya aparatur. Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan dapat direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Untuk maksud itu maka reformasi birokrasi membutuhkan kebijakan yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor privat. Kedua konsep tersebut dalam perkembangannya diterapkan pada sektor pemerintah. Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Suatu pelayanan publik yang tidak efisien masih dapat dimaklumi sepanjang pelayanan itu efektif bagi masyarakat (Putra dalam Siswoyo:2012). Menurutnya efektivitas dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu; pertama, sasaran (goal approach), mengukur efektivitas dari segi output. Kedua, sumber (system resource approach), melihat dari inputnya. Ketiga, pendekatan proses (process approach), yakni menekankan pada faktor internal organisasi publik seperti efisiensi dan iklim organisasi. Sekalipun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, namun dalam kenyataannya unsur efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan  dapat dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Secara normatif kebijakan reformasi birokrasi di Indonesia lahir disebabkan mewabahnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.  Gejala lain adalah rendahnya kualitas pelayanan publik ditinjau dari sisi efisiensi, efektivitas dan produktivitas, disamping itu rendahnya transparansi, akuntabilitas, disiplin dan etos kerja birokrasi. Berpijak pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi dikatakan bahwa visi reformasi birokrasi adalah terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik tahun 2025. Sedangkan misi reformasi birokrasi dilakukan dengan membentuk dan atau menyempurnakan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum tata kelola pemerintahan yang baik, memodernisasi birokrasi pemerintahan dengan optimalisasi pemakaian teknologi informasi dan komunikasi, mengembangkan budaya, nilai-nilai kerja dan perilaku yang positif, mengadakan restrukturisasi organisasi (kelembagaan) pemerintahan, mengadakan relokasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia termasuk perbaikan sistem remunerasi, menyederhakan sistem kerja, prosedur dan mekanisme kerja, serta mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif. Tujuan umum reformasi birokrasi adalah membangun/membentuk profil dan perilaku aparatur negara yang memiliki integritas tinggi, produktivitas tinggi dan bertanggungjawab, serta memiliki kemampuan dalam memberikan pelayanan prima. Secara khusus reformasi birokrasi bertujuan membangun dan membentuk birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, melayani masyarakat serta akuntabel.
Problem dan Dilema Kebijakan
Jika dilihat dari kebijakan nasional reformasi birokrasi di Indonesia sebenarnya tidak ada yang salah.  Namun harus diakui bahwa reformasi birokrasi mengalami stagnasi disebabkan minimnya grand strategy yang jelas, tepat dan terukur. Sejauh ini pemerintah membiarkan grand strategy pada masing-masing institusi dengan acuan kebijakan umum.  Persepsi di level aparatur, reformasi birokrasi dimaknai sebagai kenaikan insentif tanpa imbalan kinerja yang lebih baik.  Sementara dari sisi lain terbangunnya berbagai institusi formal dinilai sebagai akhir sebuah reformasi birokrasi. Pada saat yang sama kebijakan pemerintah dalam hal ini tak memperlihatkan konsistensi terhadap reformasi kebijakan. Kondisi ini mengakibatkan reformasi birokrasi tampak berjalan diatas komitmen setengah hati sebagaimana terlihat dalam berbagai indikator PERC.
Pertama, pemerintah terlihat tak merestrukturisasi organisasi pemerintahan, bahkan sebaliknya menggemukkan birokrasi. Di level supra, jumlah lembaga mezo structur bertambah dalam bentuk komisi, badan dan lembaga non departemen.  Menurut catatan Kementrian Dalam Negeri sampai dengan tahun 2012 terdapat lebih 100 lembaga semacam itu yang belum jelas kinerja dan outputnya. Sejak reformasi birokrasi yang dominan terlihat baru kinerja Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada tahun 2011 pemerintah menambah sejumlah unit kerja termasuk jabatan wakil menteri pada sejumlah departemen. Terlepas dari meningkatnya jumlah unit kerja yang menimbulkan gesekan antara menteri dan wakil menteri, pada akhirnya jabatan tersebut dicabut sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012. Implikasi lain adalah obesitas organisasi pemerintah menjadi alasan mengapa pembiayaan organisasi bukannya berkurang sejak otonomi melainkan membengkak akibat pertambahan unit dan jabatan tertentu. Hal ini berbeda dengan kebijakan pemerintah terhadap organisasi pemerintah daerah yang dipaksa diet melalui Peraturan Pemerintah Nomor. 41 Tahun 2007. Besarnya size dan tingginya biaya organisasi pemerintah membentuk struktur organisasi seperti penderita osteophalus (pembesaran bagian otak/kepala), sementara struktur organisasi pemerintah daerah dipaksa slim sebisa mungkin kalau tidak dikatakan menderita busung lapar.
Pada level daerah jumlah organisasi pemerintah daerah terus bertambah dengan alasan pemekaran. Hingga akhir Juni 2012, terdapat 19 calon daerah otonom baru yang telah memperoleh rekomendasi untuk ditetapkan menjadi kabupaten, kota dan provinsi.  Dengan demikian jumlah daerah otonom kemungkinan akan bertambah dalam dua tahun kedepan dari 530 menjadi 649 daerah otonom.  Data pertambahan daerah otonom hingga tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut;
Perkembangan Pemekaran Daerah Otonom di Indonesia (1945-2007)
Periode
Jumlah Kabupaten/Kota
Jumlah Provinsi
17 Agustus 1945
-
8   Provinsi
1967-1975 (8 tahun)
-
26 Provinsi
1975-1999 (24 tahun)
-
27 Provinsi
1999-2012 (13 tahun)
198 Kabupaten/Kota
34 Provinsi
Sumber: diolah dari berbagai sumber, 2012

Data diatas menunjukkan bahwa pertambahan daerah otonom kabupaten dan kota bertambah signifikan selama 67 tahun. Rata-rata setiap 3 bulan lahir 1-2 kabupaten/kota.  Sedangkan daerah otonom provinsi bertambah dalam 13 tahun terakhir sebanyak 7 provinsi.  Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerintah tak mampu melakukan restrukturisasi baik di tingkat pusat maupun daerah. 
Kedua, kebijakan remunerasi yang diterapkan sebagai elemen reformasi birokrasi selama ini dinilai kurang adil dan parsial karena hanya menguntungkan aparat dan pejabat pada lembaga-lembaga tertentu.  Sebagai contoh pilot project penerapan remunerasi di kementrian keuangan sejauh ini belum menunjukkan kinerja birokrasi yang diharapkan.  Sepanjang tahun 2010-2012 indikasi korupsi di unit pelayanan pajak menjadi tontonan publik sehari-hari.[6]  Departemen-departemen yang menjadi sampel remunerasi secara umum sulit dinilai memiliki peningkatan kinerja dibanding departemen yang belum menerima remunerasi.[7]  Kondisi ini semakin menambah pesimisme publik, apakah penambahan insentif bagi aparatur pemerintah mampu mengurangi tingkat penyelewengan serta mendorong kinerja pelayanan? Jika tidak, maka pendekatan stick and carrot harus dijalankan seimbang khususnya bagi aparat pemerintah yang tak menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik.[8] 
Standar penilaian terhadap departemen yang patut menerima remunerasi tampaknya tidak bisa disandarkan pada penilaian administrasi belaka.  Pola demikian memungkinkan setiap unit pemerintah cenderung memperbaiki raport kinerjanya dengan cara-cara ilegal seperti menyuap BPK agar memperoleh opini penilaian tertinggi dari hasil pemeriksaan.  Disini seringkali terjadi manipulasi yang menghubungkan unit pemerintah dengan badan pemeriksa sebagaimana terjadi pada sejumlah daerah yang tertangkap tangan KPK. Selain itu jika pemerintah wajar memberikan remunerasi pada sejumlah departemen yang memiliki kinerja positif, maka apakah pemerintah juga memberikan remunerasi pada daerah otonom yang dinilai mampu melaksanakan otonomi daerah secara efektif? Sejauh ini daerah otonom terbaik hingga tahun 2012 yaitu Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan ditambah 10 kabupaten dan 10 kota belum memperoleh alokasi signifikan yang memungkinkan terpeliharanya kinerja pemerintahan dari tahun ke tahun. Perlakuan ini jelas berbeda terhadap departemen yang langsung dinilai pemerintah dan diajukan oleh DPR.
Ketiga, sejak mekanisme pemilu di level daerah dilaksanakan secara langsung, sistem karier birokrasi jauh dari kaidah-kaidah manajemen yang sehat. Penempatan seseorang dalam jabatan karier tidak berdasarkan merit system melainkan didasarkan oleh Badan Pertimbangan Jauh Dekat (Baperjakat) dan Daftar Urutan Kedekatan (DUK). Di tingkat pusat penempatan seseorang dalam jabatan karir lebih banyak bergantung pada kepentingan dan pertimbangan politis, sementara di daerah bergantung pada kedekatan dan hubungan kekeluargaan.  Sekalipun secara normatif promosi, demosi dan mutasi didasarkan pada merit system, namun bukan rahasia umum lagi jika penempatan jabatan eselon satu dan dua di tingkat departemen penuh dengan kompromi politik. Mereka yang memiliki segudang prestasi sulit menduduki jabatan prestisius jika tanpa koneksi politik dan modal yang cukup. Di daerah, rotasi aparatur birokrasi berlangsung menurut penilaian like and dislike. Semua penempatan berdasarkan hasil kocokan kartu tim sukses pemilukada.  Mereka yang jauh dari lingkaran tim sukses harus bersabar menunggu promosi berikutnya kalau tidak non job.  Implikasi pemilukada menjadikan birokrasi rentan dipolitisasi bahkan cenderung di intervensi pada tahap perencanaan hingga implementasi kebijakan. Kasus-kasus korban pemilukada sangat mudah ditemukan diberbagai daerah semisal Sekretaris Daerah Kabupaten Sampang yang harus menerima dengan lapang dada dilantik menjadi sekretaris kelurahan pada bulan Juni 2012. Akibat penempatan seseorang dengan pola demikian maka kualitas dan kinerja birokrasi jauh dari harapan publik kecuali meningkatnya pelayanan pada penguasa sebagai apa yang kita sebut politik balas budi. Dampak lebih jauh birokrasi cenderung melayani penguasa melalui relasi transaksional yang menguras anggaran dan belanja daerah.[9] Penelitian LIPI tahun 2005 terhadap pemilukada di Malang, Gowa, dan Kutai Kartanegara menyebutkan terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi birokrasi berpolitik, yaitu: kuatnya ketokohan (personality) menamamkan pengaruh terhadap PNS, vested interest PNS untuk mobilitas karir secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy. Mobilitas politik terhadap individu dan institusi birokrasi digerakkan melalui jalur primordialisme (kekerabatan dan asal usul kandidat). Selain itu terdapat dilema rezim pelaksana (incumbent) pemilukada dan tafsir regulasi sepihak yang terjadi saat pemilukada. Dalam satu kasus ada tim sukses yang dapat bersekongkol lewat desk pemilukada untuk kemenangan kandidat. Faktor vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi berpolitik di era pemilukada.
Keempat, dengan realitas politik dewasa ini birokrasi cenderung kehilangan nilai kemanusiaannya dimana semua pelayanan terpaku pada ketaatan prosedur dan hukum. Malangnya, ketaatan prosedur dan hukum tersebut dijadikan tujuan, bukan alat atau cara. Ketaatan pada prosedur dan hukum tidaklah salah secara normatif, namun menyandarkan semua persoalan pada aspek tersebut mengubah karakter birokrasi menjadi robot. Tanpa nilai kemanusiaan birokrasi bergerak tanpa nalar dan akal budi kecuali aparat yang tak bisa berpikir lain jika berhadapan dengan masalah yang tak memiliki aturan.  Hilangnya nilai kemanusiaan menjadikan birokrasi bersikap diskriminatif dan cenderung tidak adil. Birokrasi hanya akan melayani mereka yang mampu memenuhi unsur administrasi tertinggi. Mereka yang tak mampu harus rela membayar berdasarkan kompromi yang disepakati. Keatas birokrasi cenderung bersikap asal bapak senang (ABS), dan sebaliknya kebawah bersikap idealis ketika bertatap muka dengan masyarakat.  Kekakuan semacam ini membuat birokrasi miskin kreativitas dan inovasi. Birokrasi pada akhirnya tak dapat menyelesaikan aneka masalah kecuali merawatnya sebagai modal projek setiap tahun.  Akibatnya, penumpukan masalah disertai tuntutan masyarakat membuat birokrasi kelelahan dan stres. Dalam realitas dimana semua masalah bermuara pada birokrasi menunjukkan birokrasi tak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Kasus hilangnya sandal jepit hingga pencurian satu dua buah kakao pada tahun 2011 selayaknya cukup diselesaikan pada sistem sosial masyarakat tanpa bersandar pada hukum yang menghabiskan energi.  Penyandaran semua persoalan pada standar operation prosedur dan hukum yang tak banyak membantu terhadap dinamika persoalan masyarakat seringkali mengorbankan banyak waktu, modal dan perasaan publik akibat tindakan berlebihan (over acting) dan diskriminasi aparat pemerintah. Dalam konteks inilah birokrasi seringkali disindir sebagai aktor yang bersikap unfair dan despotic.
Persoalan pengukuran kinerja melalui integritas layanan publik sebenarnya bukan tanpa masalah.  Tingginya orientasi birokrasi dalam mengejar target agar tercapai kuantitas layanan publik seringkali berdampak pada pengabaian nilai kemanusiaan. Jika penilai integritas termasuk badan pemeriksa meletakkan penilaian semata-mata terhadap ketaatan SOP dan Hukum, maka pelayanan birokrasi secara tak langsung diarahkan pada pelayanan yang bersifat kaku tanpa melihat situasi dan kondisi serta objek yang dilayani. Dalam praktek dapat dipahami mengapa Departemen Hukum dan HAM memperoleh penilaian cukup baik oleh KPK pada tahun 2008 berkaitan dengan skor integritas layanan publik. Disini SOP dan Hukum menjadi dasar yang bersifat kaku jika dibandingkan dengan integritas layanan di kementrian agama maupun di  kelurahan dan kecamatan yang mungkin saja membutuhkan fleksibilitas.
Kelima, prinsip efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan publik mengalami stagnasi disebabkan orientasi pelayanan aparat berjalan berdasarkan pertimbangan profit. Dalam banyak kasus, idiom kalau bisa dipersulit mengapa mesti dipermudah menjadi semacam semboyan yang dapat ditemukan pada sejumlah urusan yang bernilai. Urusan perijinan yang semestinya mudah dapat dipersulit bergantung siapa dan untuk kepentingan apa. Kebanyakan urusan diklasifikasikan berdasarkan tingkat kemudahan dan kesulitan.  Urusan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga dan Izin Mendirikan Bangunan mungkin sedikit lebih mudah dan murah dibanding menyelesaikan izin usaha pertambangan yang dianggap sulit dan mahal. Disini birokrasi bermain se-efektif mungkin dengan pihak pengusaha agar memperoleh tambahan jatah diluar ketentuan yang berlaku.[10] Luasnya kewenangan tanpa kontrol pemerintah dalam bentuk aturan baku membuka peluang bagi birokrasi melakukan berbagai tindakan yang cenderung menguntungkan kelompoknya. Rendahnya komitmen pelayanan yang efektif dan efisien menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pelayanan publik dibawah negara tetangga. Data IFC (International Finance Corporation) hingga Juni 2012 menjelaskan Indonesia menduduki peringkat ke-129 di dunia dalam hal kemudahan perizinan untuk pengusaha. Peringkat tersebut berada jauh di bawah Singapura dan Cina yang berada di urutan teratas. Peringkat tersebut diwakili oleh Kota Jakarta karena kota tersebut memiliki tingkat perekonomian yang paling tinggi di seluruh Indonesia.  Di Jakarta, pengusaha bisa mengantongi izin jika ia bisa membayar biaya mendirikan usaha sebanyak 22 persen dari pendapatan per kapita di Indonesia. Angka tersebut berjumlah 4 kali lebih besar jika dibandingkan dengan Thailand yang berada di peringkat ke 17 di dunia. Sedangkan biaya untuk mendaftarkan properti, tanah, dan bangunan di Indonesia mencapai 11 persen dibandingkan nilai properti itu sendiri. Dengan estimasi jika nilai properti merupakan 50 kali dari pendapatan per kapita, pengusaha harus membayar sebanyak 11 persen dari Rp 1,3 miliar. Dibanding negara-negara yang tergabung dalam kelompok kerja sama ekonomi Asia Pasifik (APEC), biaya pendaftarannya hanya berkisar 3 persen dari nilai properti.  Temuan lain dari IFC, Indonesia sebagai negara yang tergabung dalam kawasan ASEAN masih menerapkan ketentuan modal minimum. Sekalipun demikian hingga Februari 2012 kota-kota di Indonesia menunjukkan perubahan signifikan dalam pelayanan publik. Survei IFC-Bank Dunia yang bertajuk Doing Business Indonesia 2012 secara tak terduga membuktikan adanya kemajuan pesat di 20 kota besar Indonesia dalam upaya mempermudah pengusaha untuk merintis bisnisnya di negeri ini. Lembaga keuangan internasional itu menyebut ada 22 reformasi usaha di tingkat daerah sejak 2010. Sama seperti dua tahun lalu, Balikpapan, Bandung dan Yogyakarta tetap menunjukkan kinerja terbaik dalam hal mendirikan usaha dan mengurus izin untuk mendirikan bangunan.[11]
Keenam, reformasi birokrasi yang dijalankan melalui program dan kegiatan cenderung menggugurkan kewajiban daripada memenuhi kehendak serius kebijakan pemerintah (political will).  Gambaran ini terlihat pada sejumlah instansi yang berkehendak melakukan reformasi birokrasi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya tanpa pola dan mekanisme yang jelas.  Penentuan program dan kegiatan dalam kerangka reformasi birokrasi seharusnya dilakukan melalui tahapan identifikasi masalah yang kemudian dipetakan pada masing-masing variabel normatif seperti program manajemen perubahan, penataan peraturan perundang-undangan, penataan dan penguatan organisasi, penataan tata laksana, penataan sistem sumber daya manusia aparatur, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja, peningkatan kualitas pelayanan publik, serta monitoring, evaluasi dan pelaporan.  Hasil pemetaan masalah dengan semua variabel diatas pada tahap selanjutnya dicari pemecahan masalahnya berupa program dan kegiatan.  Dengan demikian maka semua program dan kegiatan yang muncul benar-benar hasil identifikasi terhadap kebutuhan organisasi, bukan kemauan aparat yang berkepentingan menyisipkan program dan kegiatan dalam agenda reformasi birokrasi.  Fakta ini terlihat jelas pada sejumlah institusi yang menyusun program dan kegiatan reformasi birokrasi tanpa identifikasi masalah pada objek yang akan direformasi.  Dalam konteks ini aparat merasa bahwa semua perencanaan yang telah dirumuskan lewat program dan kegiatan sudah sesuai dengan kenyataan sekalipun tanpa mekanisme penyerapan aspirasi maupun penelitian lapangan.  Birokrasi merasa lebih paham dengan semua masalah sekalipun tanpa metodologi yang jelas dalam penentuan program dan kegiatan.  Dampaknya, sebagian besar program dan kegiatan tak menjawab masalah yang dihadapi birokrasi kecuali memenuhi ambisi aparat dalam kompetisi paket projek.  Dalam keadaan semacam ini reformasi birokrasi sebenarnya telah gagal pada tahap perencanaan sebelum diimplementasikan dilapangan.  Selain itu, kegagalan reformasi birokrasi dalam penyusunan program dan kegiatan disebabkan oleh rendahnya kemampuan para pelaksana dalam mengadaptasikan kebijakan umum reformasi birokrasi dengan karakteristik organisasi yang akan melakukan reformasi.  Pemaksaan reformasi birokrasi pada unit yang tak seharusnya dilakukan, atau mungkin membutuhkan pendekatan yang khas seringkali mempercepat reformasi birokrasi salah sasaran. Factor perubahan kepemimpinan yang sedemikian cepat telah mengubah indeks tata kelola pemerintahan sebagai proses reformasi birokrasi. Hasil penelitian Indonesian Governance Indeks Agustus 2013 menunjukkan bahwa daerah-daerah yang awalnya dipimpin oleh kepala daerah yang memiliki popularitas mampu mendongkrak indeks tata kelola pemerintahan di atas rata-rata. Namun setelah pergantian kepemimpinan, daerah-daerah tersebut mengalami penurunan indeks seperti Provinsi Sumatera Barat dan Gorontalo.
Ketujuh, komitmen pemerintah yang mengandalkan ujung tombak pelayanan publik berada di tangan pemerintah daerah sebagaimana maksud diserahkannya sebagian kewenangan dalam bingkai kebijakan desentralisasi pada kenyataannya berbanding terbalik. Jika komitmen diatas menjadi dasar pijakan reformasi birokrasi, maka logikanya sebagian besar personil, perlengkapan dan pembiayaan berada di daerah guna mewujudkan semua cita-cita pelayanan publik yang efesien dan efektif. Faktanya, 70% dana APBN masih berada di pusat, sementara pemerintah daerah dipaksa melakukan reformasi birokrasi sebisa mungkin di tengah keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Jika reformasi birokrasi dipaksakan dengan ongkos demokrasi yang terus menanjak, maka hanya ada dua kemungkinan pilihan kebijakan pemerintah, yaitu mendorong reformasi birokrasi dilakukan dengan pengorbanan kualitas demokrasi. Atau sebaliknya, kualitas demokrasi tetap dipertahankan dengan mengendurkan sejumlah agenda reformasi birokrasi. Inilah dilema demokrasi ketika berhadapan dengan kebijakan reformasi birokrasi.  Reformasi birokrasi membutuhkan efisiensi, sedangkan kualitas demokrasi justru membutuhkan fleksibilitas yang berarti membutuhkan biaya tak sedikit. Harus disadari bahwa biaya demokrasi di Indonesia menyerap sebagian besar anggaran pendapatan dan belanja daerah.  Sisanya dihabiskan untuk belanja aparatur dan belanja pembangunan.[12]  Tanpa reformasi politik dalam hal mekanisme pemilu presiden, gubernur dan bupati/walikota, maka reformasi birokrasi secara keseluruhan hanya akan berjalan di tempat kalau tidak ingin dikatakan gagal.
Penutup
     Baik demokratisasi maupun desentralisasi hanya mungkin dicapai jika semua instrumen yang mencerminkan kedua konsep tersebut dijalankan berbarengan dengan penyediaan sumber daya aparatur yang memadai. Dalam konteks itu diperlukan reformasi birokrasi sebagai upaya mengembalikan tatanan melalui perubahan yang bersifat parsial dan evolutif tanpa mengganggu tatanan yang telah ada.  Reformasi birokrasi diperlukan guna mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui perubahan tidak saja pada aspek sistem dan prosedur (struktur), demikian pula aspek sikap dan perilaku aparatur pemerintahan (kultur). Keseluruhan perubahan tadi diarahkan untuk mencapai tujuan kebijakan reformasi birokrasi secara umum dan khusus.
Menyadari peta masalah reformasi birokrasi di Indonesia kiranya perlu dilakukan berbagai upaya guna mencegah kegagalan reformasi birokrasi antara lain; pertama, perlunya konsistensi pemerintah dalam upaya restrukturisasi organisasi baik di pusat maupun daerah.  Hasil evaluasi kinerja pada semua lembaga mezo struktur baik politik, hukum dan ekonomi menjadi rujukan dalam memangkas obesitas organisasi pemerintah.  Demikian pula diperlukan konsitensi pemerintah dalam membatasi pemekaran lewat kebijakan moratorium. Langkah konkrit yang perlu dilakukan adalah melakukan penggabungan bagi unit pemerintah non departemen yang tak memperlihatkan kinerja positif sesuai evaluasi pemerintah.  Bagi daerah otonom yang tak memperlihatkan perkembangan selama waktu yang ditentukan perlu diupayakan penggabungan sesuai amanah undang-undang, selain strategi pemekaran dilakukan melalui tahapan tertentu. Kedua, standar kebijakan remunerasi bagi instansi pemerintah haruslah disandarkan pada penilaian publik, bukan sekedar penilaian administrasi atau hasil evaluasi badan pemeriksa dan tim pemerintah. Tanpa evaluasi yang jelas terhadap kinerja dan output yang dicapai maka kebijakan remunerasi hanyalah sekedar membagi-bagikan pesangon bagi pegawai negeri sipil.  Hal ini dapat mengecewakan rakyat sebagai pemetik manfaat yang sesungguhnya.  Disisi lain perlunya penerapan sanksi yang tegas bagi semua bentuk penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan aparat guna mencegah gagalnya reformasi birokrasi. Ketiga, perlunya political will pemerintah dalam menerapkan merit system dilingkungan birokrasi guna memutuskan intervensi dan politisasi birokrasi.  Pada level teknis diperlukan rekrutmen  dan promosi berdasarkan meryt system dengan pertimbangan etika, membuat regulasi, kontrol, dan rotasi jabatan yang ketat, serta membuat kebijakan yang transparan guna meminimalisir konflik. Keempat, perlunya keseimbangan dengan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam birokrasi. Mengembangkan ethics audit,  yaitu metode untuk menilai standar moral yang  dijadikan pedoman perilaku dalam organisasi, termasuk penilaian untuk mereview aktivitas aparat dalam organisasi. Kelima, perlunya efisiensi dan efektivitas dijabarkan dalam standar operation prosedur yang jelas guna menghindari disorientasi aparat dalam pelayanan. Standar yang jelas dapat membatasi keinginan aparat dalam menafsirkan dan mengimprovisasi berbagai konsep pelayanan. Keenam, perlunya langkah dan mekanisme yang bersifat bottom up dalam mendesain reformasi birokrasi sehingga program dan kegiatan yang akan disusun merepresentasikan tujuan yang akan dicapai, bukan keinginan para perencana semata (top down). Ketujuh, perlunya konsistensi pemerintah terhadap komitmen meletakkan entitas pemerintah daerah sebagai ujung tombak pelayanan publik.  Konsekuensi dari komitmen tersebut membutuhkan alokasi dana yang memadai sehingga daerah sebagai ujung tombak mampu melaksanakan kewajibannya. Tanpa alokasi pembiayaan yang mencukupi, pemerintah daerah sebagai ujung tombak hanya akan berubah menjadi ujung tombok dikemudian hari.      
Referensi:
Duverger, Maurice, 1998. The Study of Politics (Terjemahan), Rajawali Pers, Jakarta
Effendy, Khasan, 2010. Sosiologi Pemerintahan, CV. Indra Prahasta, Bandung
Gerth, H dan Mills, C.W (1946) From Max Weber:Essays in Sociology, New York.
Istianto, Bambang, 2010. Demokratisasi Birokrasi, STIAMI, Jakarta
Jones, Pip, 2010.  Introducing Social Theory, (terjemahan), Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Kuper, Adam dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo, Jakarta
Laski, H, Bureaucracy dalam Encyclopaedia of the Social Sciences, volume 3, New York dan London.
Martin, Roderick, 1993. Sosiologi Kekuasaan, Rajawali Press, Jakarta
Max Weber dalam Martin Albrow (Terj), 1996. Birokrasi, Yogyakarta, Tiara Wacana
N.Haass, Richard, 2005. The Bureaucratic Entrepreneur (terjemahan), Ina Publikatama, Jakarta
Sanderson, Stephen K, 2000. Macrosociology, (terjemahan), Raja Grafindo Persada, Jakarta
Setiono, Budi, 2002. Jaring Birokrasi, Tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi, Gugus Press, Bekasi
Siswoyo, 2012.  Reformasi Birokrasi Menuju Pelayanan Efektif dan Efesien Kepada Masyarakat, blog. akses 15 Agustus 2012
Sinambela, Lijan Poltak dkk, 2007. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan dan Implementasi, Bumi Aksara, Jakarta
Surbakti, 2002. Menuju Demokrasi Konstitusional, Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, Jakarta, LP3ES
Dino Patti Djalal, Harus Bisa, Seni Memimpin SBY, Red and White Publishing, 2008, Jakarta
Sudirman, 2009. Praktek Birokrasi Weberian di Indonesia, Jurnal Ilmu Pemerintahan Widya Praja, Vol.XXXV No.1 Tahun, Jakarta
Tjokrowinoto, dkk, 2001. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar, Unismuh, Malang
Toha, Miftah, 1999. Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah, Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fisipol UGM.
LIPI Press, 2006. Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005 (Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara).



[1] Untuk pendapat Susanto, Mannheim, Khan hingga Quah lihat blog Siswoyo, 2012, tentang Reformasi Birokrasi Menuju Pelayanan Efektif dan Efesien Kepada Masyarakat, hal 1-2, akses 15 agustus 2012.
[2] Untuk kupasan ini lihat Surbakti, 2002. Menuju Demokrasi Konstitusional, Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi (Jakarta, LP3ES, hlm.41)
[3] Martin Albrow dalam Donald P.Warwick, Theory of Public Bureucracy, Cambridge Massachussets, Harvard Universty Press.
[4] Adam Kuper dan Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja Grafindo, Jakarta, 2000, hal.74-75.
[5] Laski, H, Bureaucracy, dalam Encyclopaedia of the Social Sciences, volume 3, New York dan London.
[6] Kasus Gayus, Danang dan Petugas Pajak di Sidoardjo sepanjang tahun 2010-2012 menunjukan meningkatnya gejala korupsi dilingkungan departemen yang justru lebih awal menerima remunerasi.  Kondisi ini semestinya menjadi bahan evaluasi sebelum pemerintah menerapkan remunerasi bagi departemen/unit lain.
[7] Sejak tahun 2010 terdapat 11 departemen yang diajukan menerima remunerasi, namun baru 6 departemen yang disetujui DPR. Sejauh ini ke 6 departemen tersebut belum dapat dijadikan bahan perbandingan kinerja bagi sejumlah departemen yang akan menerima remunerasi.
[8] Bandingkan 5 (lima) besar Kementerian/Lembaga Negara terkorup berdasarkan survei yang diselenggarakan oleh Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) di 163 kabupaten/kota di 33 provinsi pada tanggal 14 – 24 Mei 2012 dengan metode survei stratified random sampling. Hasilnya dapat diurutkan sebagai berikut; 1. DPR (47 %), 2. Kantor Pajak (21,4%), 3. Kepolisian (11,3%), 4. Parpol (3,9%) 5. Kejagung (3,6%).
[9] Forum International Transparansi Anggaran melaporkan dari 124 daerah otonom rata-rata habis untuk belanja aparatur sebesar 60-70%. Terbesar Kabupaten Lumajang sebesar 83%. Sisanya dapat dilihat contoh Kabupaten Sragen dan Tasikmalaya atau Kota Bitung, Palu dan Ambon dimana rata-rata menghabiska belanja aparatur sebesar 60-70%.
[10] Lihat kasus suap pengusaha langsung pada Bupati Buol Sulawesi Tengah dalam pengurusan Hak Guna Usaha (Indopos, 19 Juli 2012).
[11] Lihat Tempo.Co. Jakarta, 11 Juni 2012.
[12] Pemilu legislatif dan Presiden 2009 menghabiskan biaya kurang lebih 45-50 triliun dengan asumsi maksimal dua putaran. Pemilihan Bupati/Walikota di wilayah yang berskala luas dan padat seperti Jawa menghabiskan anggaran antara 5 sd 500 milyar. Demikian pula untuk pemilihan gubernur di area yang sama menyedot biaya rata-rata antara 500 sd 1 triliun. Kasus pemilihan Gubernur Jawa Timur (2010) dengan asumsi 3 putaran menghabiskan biaya lebih kurang 830 milyar. Pemilihan Gubernur Jawa Tengah  (2010) menghabiskan anggaran kurang lebih 650 milyar. Perkiraan Jawa Barat 666 M (2013) , DKI Jakarta (2012) diatas 1 triliun dengan asumsi 2 putaran. Menurut Suwandi (2005), alokasi APBD untuk biaya tukang saja rata-rata menyedot 50,3%. Kalau satu putaran pemilukada menghabiskan 15%, biaya perawatan pemda sebesar 10%, maka APBD praktis tersedot kurang lebih sebesar 75,3% untuk ongkos tukang "mensejahterakan rakyat" (eksekutif dan legislative), yang tersisa untuk publik 25%.

Komentar

  1. revolusi menyeluruh , untk kebaikan indonesia ^_^

    BalasHapus
  2. buku parpol dan sistem pemilu di Indonesia-nya sudah banyak membantu saya, dan artikel inipun memberi pencerahan. tks pak. sukses slalu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian