Menemukan Kembali Jati Diri Kita



Oleh. Dr. Muhadam Labolo


          Ditengah kesesatan kita menemukan peradaban pemerintahan yang semakin terpuruk oleh keserakahan korupsi serta tak bekerjanya sistem sepenuh hati, kita masih disisakan sedikit kebanggaan atas prestasi anak bangsa, mulai dari kemenangan U-19 hingga kecemerlangan Praja IPDN Cilandak meraih prestasi bergengsi dalam ajang debat Mahasiswa se-Jabodetabek. Tak tanggung-tanggung, juara pertama, menyisihkan group paling bergengsi, UI, UNJ dan UIN Syarif Hidayatullah. Kalau pelatih Indonesia berani berkata tak ada lagi yang perlu ditakuti dalam jagad persepakbolahan Asia setelah menumbangkan Korea 3-2, maka kini kita berani berkata, tak ada lagi yang diperlu ditakuti Praja IPDN di Indonesia, sebab 5 group UI harus mengakui kecerdasan, kepiawaian, dan kenegarawanan calon Praja IPDN. Sadar atau tidak, semua keberhasilan tadi tidaklah datang sekonyong-konyong, Praja telah mempersiapkan diri selama satu tahun lewat wadah Plato’s Club dan Wahana Wiyata Praja. Plato’s Club merupakan kelompok diskusi praja yang diisi oleh sejumlah dosen, mahasiswa pasca sarjana, alumni IPDN lulusan luar negeri yang bekerja di berbagai lembaga pemerintahan menyatu setiap sabtu selama dua jam di IPDN Cilandak. Pada angkatan 19, beberapa diantara kelompok diskusi ini pernah menjadi penulis populer di koran maya Kompasiana. Di angkatan 20, dua diantaranya pernah menjadi narasumber dalam seminar international di Bali. Kini, angkatan 21 sebagian besar lolos pada putaran pertama debat TV One, hingga akhirnya menyisakan yang terbaik mewakili Mahasiswa se-Jabodetabek. Pada tahap ini kita mesti berbangga, sekalipun tak ada apel luar biasa sebagai reward sebagaimana kita sering lakukan untuk praja bermasalah (punishment). Selama lebih kurang 20 tahun kita memang terlalu terbiasa melakukan penghukuman, bukan penghargaan, sebab kitapun sangat percaya bahwa penghukuman akan menciptakan pribadi yang baik di kemudian hari. Kita tampaknya masih ragu bahwa reward akan meningkatkan kepercayaan diri praja, menimbulkan efek positif bagi praja lain dan publik, sekaligus memacu prestasi tertinggi dalam berbagai bidang. Demikianlah mengapa gudang IPDN dipenuhi ratusan piala yang mengandalkan otot sejak angkatan pertama hingga hingga kini dengan semua jenis lomba dari lari karung hingga lari marathon. Tim akreditasi Diknas seringkali kagum sekaligus bingung, dimana hasil eksploitasi otot telah melahirkan berbagai penghargaan dari panjat pinang hingga panjat tebing, namun nihil dalam hal reproduksi otak seperti cerdas cermat dan debat mahasiswa berskala nasional lewat isu pemerintahan kontemporer.

Kini kita seakan menemukan diri kita yang sebenarnya. Bagaimana mungkin seorang Praja yang direkrut lewat standar sedemikian tinggi mulai psikotest, integritas, kesehatan, akademik hingga pantukhir secara selektif tiba-tiba saja kehilangan keunggulan selama 4 tahun di IPDN? Jelas sudah ada yang salah. Saya pikir hanya ada dua jawaban yang paling mungkin dapat diterima, yaitu kegagalan sistem menciptakan situasi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya potensi praja, atau kemungkinan terburuk adalah hilangnya potensi manusia sebagai pelaksana sistem itu sendiri. Kegagalan sistem yang saya maksud bisa berarti kekosongan aturan, mandulnya aturan, dimana sistem hanya dipandang sebagai asesoris, formalisme maupun administratif belaka sebagaimana dapat dilalui dengan baik oleh Dinasti Banten dalam proses demokrasi prosedural. Sistem seharusnya melapangkan jalan bagi tumbuh dan berkembangnya keunggulan terbaik bagi setiap praja yang dibawa dari rahim ibunya sebelum masuk ke Lembah Manglayang. Semua itu tampak hilang dan menyusut dengan sia-sia. Mereka yang pernah berprestasi dibidang akademik kini menjadi praja mbalelo tanpa kepercayaan diri. Sistem semestinya memberi ruang bagi lepasnya pikiran-pikiran bernas untuk kemudian diarahkan guna memperkuat pemerintahan kita mencegah kegagalan negara lewat pencapaian tujuan konstitusionalnya. Debat mahasiswa kemaren adalah bukti bahwa praja mampu memperlihatkan keunggulan dirinya yang tersembunyi oleh pekatnya sistem selama ini. Bahkan disengaja atau tidak, ketiga Praja tersebut telah menyumbang anggaran milyaran rupiah bagi almamaternya, dimana persetujuan DPR terhadap rencana pembangunan perpustakaan bertaraf international di IPDN merupakan sentiment konkrit sebagaimana argumentasi Rektor saat meyakinkan dewan yang terhormat. Sayangnya birokrasi tak memahami itu, di waktu yang lain kita sepakat ingin mengubah wajah IPDN dari kantor menjadi kampus yang semestinya, namun yang terlihat adalah fenomena dominasi struktur. Fasilitas sosial dan fasilitas umum yang sejogjanya menjadi lahan mengasah tumbuhnya achievement praja kini berubah menjadi gedung-gedung perkantoran, sebagian dirampas instansi perbatasan wilayah sehingga batas antara kampus dan kantor hampir tak dapat dibedakan. Parahnya, lahan parkir untuk semua civitas yang memiliki kenderaan roda empat kini dikapling oleh pejabat struktural eselon tiga dan dua. Seakan-akan SK Jabatan Struktural turut memuat pasal agar menyertakan lahan parkir ukuran 2x3 meter perorang selain tunjangan jabatan, kenderaan dinas dan rumah dinas. Mudah-mudahan Kajur, Sekjur dan semua pejabat fungsional akademik tak menuntut lahan parkir yang sama dengan pejabat struktural yang dapat membuat pinggiran jalan IPDN penuh sesak dengan kenderaan pejabat. Sungguh, kita sementara kehilangan sifat egalitarian, tepo seliro, kemanusiaan, dan nuansa fungsionalisme.

Bagian terakhir selain sistem menurut saya adalah rendahnya kualitas sumber daya pengajar sebagaimana diingatkan Mendagri dalam beberapa hari lalu saat diskusi bersama Rektor. Dengan mengambil sampel UI, Mendagri menyatakan bahwa kelebihan UI setidaknya didukung oleh kapasitas pengajar yang mumpuni, selain anak didik yang masuk berstandar tinggi. Kita tentu saja memenuhi prasyarat kedua, namun meragukan untuk prasyarat pertama.  Terlepas dari ketidaksetujuan saya membandingkan lembaga kedinasan IPDN dengan UI yang tentu saja tak sebanding (kecuali sesama lembaga pendidikan kedinasan), saya setuju bahwa tenaga pengajar kita mesti di up-grade semaksimal mungkin, lantaran kita tak konsisten sekaligus gagal dalam lima tahun terakhir merekrut tenaga pengajar. Harus diakui bahwa sejumlah dosen bagus kini hampir purna tugas, tersisa sedikit untuk yang benar-benar serius menjadi tenaga pengajar, sebagian besar merupakan hasil rekrutmen kompromi, perpanjangan usia pensiun, naturalisasi, migrasi struktural, hingga pengajar siluman yang tiba-tiba hadir disekeliling kita. Kegagalan ini mengakibatkan praja kehilangan tutor untuk membimbing dengan baik. Ini sejalan dengan kecemasan Prof. Johanes Surya, tak ada Mahasiswa dan Murid yang bodoh, kecuali belum menemukan guru yang baik. Secara kuantitatif boleh jadi tak ada dosen yang tak masuk kelas, sekalipun di IPDN regional menurut praja masih lebih banyak absen-nya daripada present-nya, namun secara kualitatif tenaga pengajar IPDN tak banyak yang dapat diharapkan untuk melaksanakan fungsi perguruan tinggi, meneliti, mengajar dan mengabdikan ilmunya di tengah masyarakat luas. Menyimak sinisme Syahril Tanjung (2013), penelitian kita baru layak di konsumsi di level warung kopi, dimana jarak pandangnya masih jauh dari kaca mata ilmu pemerintahan. Dengan lokus dan fokus yang sedemikian teknis, kita tak mungkin bersejajar dengan peneliti lain yang berkutat pada isu pemerintahan dengan lokus dan fokus yang lebih luas serta berkoneksi kuat dalam penelitian dan pengembangan ilmu pemerintahan. Disinilah fungsi Litbang untuk men-drive, bukan membiarkan tenaga pengajar terjun bebas dengan topik penelitian yang jauh dari basis ilmu pemerintahan serta tuna kontribusi bagi pemerintahan. Pengajaran kita, suka atau tidak baru sebatas memenuhi aspek administrasi agar jumlah pertemuan terpenuhi dengan baik, sekaligus memastikan honorarium tak tertahan di BPD Jabar. Sementara pengabdian masyarakat dalam bentuk ceramah, diskusi publik, seminar, bedah buku dan talk-show bisa dihitung dengan jari. Bahkan kalaupun semua itu diadakan lebih karena stimulasi politik anggaran di penghujung bulan Desember, bukan kesungguhan menemukan jati diri kita sebagai lembaga pendidikan pamong praja yang khas, berbasis ilmu dan praktek pemerintahan, serta menjalankan politik pemerintahan, melayani masyarakat.

Komentar

  1. semoga hasil diskusi antara IPDN dan Kemendagri untuk Reformasi IPDN dapat diimplementasikan dengan baik, kami berharap hal ini menjadi permulaan yang baik bagi IPDN untuk menunjukan JATI DIRI sebenarnya :)

    BalasHapus
  2. Kita berdoa dan berharap demikian Nurhakim,...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian