Mendesain Kembali Pola Pengasuhan,
Latar Belakang
Performa pendidikan kedinasan Institut Pemerintahan Dalam Negeri dapat kita
analogikan seperti sebuah kereta api panjang dengan tiga gerbong utama, pengajaran,
pelatihan dan pengasuhan. Dalam kenyataannya ketiga gerbong utama awalnya kita sebut sebagai pola pendidikan tritunggal terpusat (konsentrik), kini bergeser
heterarkhis, sekalipun porsi yang satu dengan yang lain disesuaikan dengan
kebutuhan. Berhasil tidaknya kereta mencapai tujuan akan bergantung pada seberapa efektif
kepemimpinan Masinis (Rektor) mengarahkan (steering) ketiga gerbong agar berjalan baik.
Ini hanyalah analogi sederhana
yang dapat
merefleksikan seberapa besar peran
kepemimpinan Rektor membawa IPDN mencapai
tujuan yang diinginkan oleh pemerintah (Presiden dan Menteri Dalam Negeri) serta segenap stakeholder yang membutuhkannya (Pemerintah
Daerah).
Institut Pemerintahan Dalam
Negeri merupakan lembaga
pendidikan tinggi kepamongprajaan yang memiliki keunikan tersendiri dibanding pendidikan lain
pada umumnya. Itulah mengapa tak begitu tepat jika IPDN sebagai pendidikan
tinggi kedinasan dibandingkan dengan pendidikan tinggi lain seperti UI, UGM,
IPB dan ITB misalnya. Dari segi tujuan/orientasi, organisasi, implementasi dan
independensinya jelas berbeda sehingga tak mungkin dibandingkan. Satu-satunya
cara menilai IPDN adalah membandingkannya dengan pendidikan tinggi kedinasan
lain di Indonesia seperti AKPOL, AKMIL, PTIK, STPN, STAN, LAN atau Sekolah
Sandi Negara. Tentu saja untuk hal itu
kita boleh berbangga, sebab IPDN selalu menjadi rujukan dalam aspek pengajaran,
pelatihan dan pengasuhan. Keunikan IPDN berkaitan dengan pengintegrasian
kemampuan intelektual, pemahaman legal-formal dan pengetahuan aspek empirikal
dalam pribadi setiap lulusan sehingga mampu menjawab persoalan dibidang
pemerintahan.
Aspek pengajaran menuntut praja memiliki kemampuan dalam penguasaan teori dan konsep di bidang
pemerintahan. Kemampuan intelektual
tersebut perlu didukung oleh aspek pelatihan yang
menuntut praja memiliki
keterampilan (skill) dalam melakukan setiap pekerjaan
yang bersifat teknis. Berbeda dengan pengasuhan, untuk
mengukur penguasaan praja terhadap aspek pengajaran dan pelatihan, maka penilaian dilakukan lewat Indeks Prestasi (IP) setiap semester.
Indikator penentuan IP akan dilihat dari nilai yang diperoleh dari setiap mata
kuliah dan pelatihan yang diikuti praja.
Diluar dua aspek tersebut pengasuhan merupakan aspek yang cukup sulit
untuk dinilai. Sejauh ini pengasuhan belum
mempunyai standar penentuan nilai yang jelas dalam menentukan IP dari
masing-masing praja, padahal aspek pengasuhan bertujuan membentuk sikap (attitude) praja
dalam mendukung dua kemampuan sebelumnya (knowledge
and skill). Kesulitan dalam penilaian aspek pengasuhan misalnya, apakah praja yang selalu mengikuti apel pagi dapat berarti memiliki sikap yang baik? Atau apakah praja yang selalu mengikuti
aktivitas kurvei di wisma dapat dipastikan bahwa ia
adalah praja yang paling
baik dalam aspek pengasuhan? Boleh jadi mereka melakukan itu karena tertekan dan terpaksa,
bukan karena
kesadaran yang lahir secara ikhlas dari hati untuk mengikuti aturan
pengasuhan. Demikian
kaburnya penilaian terhadap aspek ini maka penentuan nilai selama ini sangat bersifat subjektif, spekulatif dan
tentu saja diskriminatif. Disinilah alasan kita membutuhkan
suatu penilaian objektif sebagai standar yang jelas agar IPDN dapat memastikan lulusannya memiliki intelektual, skill dan
sikap yang terpuji dilapangan pemerintahan. Apabila knowledge
and skill merupakan dua
kompetensi yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan melalui kegiatan belajar
mengajar di kelas, akan tetapi attitude merupakan
kompetensi lain yang tidak mudah diperoleh begitu saja, perlu metode dan
indikator lain yang dapat mengukur keberhasilan program pengasuhan dalam rangka
mencetak praja berkepribadian positif. Dengan latar
belakang inilah kita
tergerak untuk mengkaji
bagaimana pola pengasuhan IPDN yang semestinya
dilakukan. Dalam artian bukan hanya untuk “mengancam” prajanya agar selalu
takut dengan aturan akan tetapi untuk “membangun kedewasaan” masing-masing
praja sehingga
menyikapi aturan sebagai seperangkat norma yang wajib dan sepatutnya dilaksanakan.
Masalah
Bergerak dari latar belakang itu, kita berusaha menjawab sejumlah masalah pokok yaitu;
1.
Bagaimanakah
sebenarnya filosofi empat tahun masa pendidikan di Kampus IPDN jika ditinjau
dari pola pengasuhan praja?
2.
Bagaimanakah
hubungan aspek pengajaran dan pelatihan jika dikaitkan
dengan aspek pengasuhan?
3. Bagaimanakah
seharusnya pola pengasuhan ideal untuk mencetak kader kepamongprajaan yang mempunyai
keunggulan dalam bersikap?
Batasan masalah
tentu saja terkait dengan pola pengasuhan di Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Terhadap pola
pengajaran dan pelatihan, tak akan diuraikan disini, kecuali kita memfokuskan
diri pada hal ikhwal pengasuhan.
Tujuan
1.
Menganalisa filosofi empat
tahun masa pendidikan di Kampus IPDN jika ditinjau dari pola pengasuhan praja;
2.
Menganalisa hubungan aspek
pengajaran dan pelatihan jika dikaitkan dengan aspek pengasuhan; dan
3.
Menganalisa pola pengasuhan
ideal dalam rangka mencetak kader kepamongprajaan yang mempunyai keunggulan
dalam bersikap.
Filosofi Kehidupan Tumbuhan dan
Pola Pengasuhan Praja
Dari aspek yuridis, Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
157 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengasuhan
Praja Lembaga Pendidikan Kedinasan Departemen Dalam Negeri, yang
dimaksud dengan
filosofi
pengasuhan adalah upaya sadar untuk menanamkan, menumbuhkan dan mengembangkan
kreativitas dan pencerahan pemikiran untuk mewujudkan kedewasaan praja yang
mempunyai keseimbangan intelektual, kesamaptaan, kecerdasan emosional dan
spiritual sebagai kader pemerintahan profesional yang memiliki tanggung jawab
pelayanan kepada masyarakat. Dari pengertian itu dapat kita simpulkan bahwa pola pengasuhan
IPDN pada dasarnya menggunakan filosofi tahapan hidup pada tumbuhan yang
mempunyai fase bertahap mulai dari masa penanaman hingga tahap pendewasaan.
Tahapan hidup tumbuhan dapat dianalogikan untuk
menentukan pola pengasuhan di lingkungan IPDN. Ini menandakan bahwa seluruh
tahapan yang harus dilalui oleh seorang praja dalam menjalani pendidikan selama
4 (empat) tahun tercermin dalam fase-fase yang dialami tumbuhan saat menjalani siklus
kehidupan menjadi dewasa. Analogi fase-fase tersebut dapat kita
lihat pada tabel di bawah :
Tabel.01.
Analogi Siklus
Kehidupan Praja
Pangkat
(Tingkat) Praja
|
Analogi Pada
Tumbuhan
|
Muda Praja (Tingkat I)
|
Masa
Penanaman
|
Madya Praja (Tingkat II)
|
Masa Pertumbuhan
|
Nindya Praja (Tingkat III)
|
Masa Perkembangan
|
Wasana Praja (Tingkat IV)
|
Masa Pendewasaan
|
Dari tabel di atas tampak jelas bahwa setiap tingkatan kehidupan praja analog
dengan filosofi masa kehidupan tumbuhan. Hal ini dapat dimaknai bahwa perlakuan yang diberikan pada tumbuhan pada
dasarnya mempunyai filosofi yang sama jika diterapkan dalam siklus kehidupan
praja selama menjalani masa 4 (empat) tahun pendidikan. Adapun penjelasan
secara lebih detail sebagai
berikut;
Wasana
Praja
|
Muda
Praja
|
Madya
Praja
|
Nindya
Praja
|
Gambar Analogi Fase Pertumbuhan Tanaman dengan Pola
Pengasuhan Praja
Masa
Penanaman (Muda Praja)
Sebelum memulai
masa penanaman (implantation), hal
pertama yang dilakukan adalah dengan memilih dan memilah bibit
tanaman yang unggul dan bibit tanaman yang kurang bagus untuk disemai. Kegiatan pemilihan ini penting karena berkaitan
langsung dengan baik tidaknya perkembangan tumbuhan selanjutnya. Semakin cermat dan teliti kita dalam memilih, semakin besar pula kemungkinan tanaman ini dapat tumbuh subur dan produktif. Dalam konteks praja, tahapan pemilihan dan pemilahan ini biasa kita
sebut tahapan seleksi (selection) untuk
mengikuti tes sebagai praja IPDN. Ketika kita berbicara tentang seleksi, maka
dapat dipastikan bahwa jumlah penawaran (supply)
lebih besar dari pada jumlah permintaan (demand), yang
berarti jumlah peserta seleksi praja IPDN lebih banyak daripada kuota yang
dibutuhkan oleh lembaga itu sendiri. Hal ini berimplikasi pada keharusan untuk melakukan seleksi yang
pada tahapan lebih lanjut dapat menimbulkan kompetisi (competition)
untuk menjadi peserta terbaik dari daerah asal masing-masing.
Setelah diawali pemilihan
bibit unggul yang tepat, maka tahapan selanjutnya adalah menanam bibit pada
bidang tanah yang tepat. Seluruh bibit harus mendapatkan perlakuan yang sama
dan adil. Agar bibit tumbuh subur dan produktif ketika dewasa, maka prinsipnya satu bibit diberikan pupuk, demikian pula bibit lain harus diberikan pupuk dengan
takaran dan perlakuan yang sama. Sama halnya ketika ada bibit yang sedikit
rusak karena diserang hama penyakit maka kepadanya perlu diberikan perlakuan khusus dengan memberikan pestisida sebagai bentuk perhatian dan
terapi. Hal ini untuk menghindari
meluasnya pengaruh pengrusakan penyakit tersebut terhadap bibit lain. Inilah
yang disebut dengan perlakuan sama (equal
treatment) saat tumbuhan baru menjalani masa penanaman ditahap awal.
Jika kita kaitkan
dengan praja, analoginya masa equal
treatment ini sama
dengan masa pembinaan satuan muda praja. Pada tingkatan
ini praja dianggap menjalani masa penanaman karena seluruh kegiatan diperlakukan
sama.
Pada masa penanaman ini kita juga memperlakukan praja
dengan kegiatan yang bersifat tegas-mendidik. Hal ini
dimaksudkan agar mentalitas dan
disiplin praja dapat tertanam dengan baik. Dengan modal sikap disiplin yang tertanam dengan baik,
proses pendidikan yang dijalani selama 4
(empat) tahun ke depan dapat berjalan lancar dan kondusif karena disiplin (discipline) telah menjadi karakter
dasar (basic character) yang tertanam
pada pribadi praja.
Dengan demikian
dapat kita rumuskan karakteristik pola pengasuhan yang sesuai diterapkan pada
tingkat Muda Praja, sebagai berikut :
1.
Muda Praja adalah masa penanaman yang sesuai untuk internalisasi bersifat doktrinal tentang idealisme
yang kuat agar terbentuk mindset yang
baik;
2.
Pola pembinaan (baik pemberian reward maupun punishment)
harus dilakukan secara korsa untuk menumbuhkan semangat esprit de corps yang kuat;
3.
Sedapat mungkin
tidak membiarkan celah kesalahan agar mereka senantiasa menaati aturan kapan
pun dan di mana pun;
4.
Porsi pembinaan fisik (lari,push up,sit up,dll.) harus diberikan dengan jumlah yang
besar agar terbentuk praja
yang mempunyai kekuatan fisik dan postur tubuh yang baik;
5.
Proporsi aktualisasi diri cukup diberikan dengan
perbandingan 20 : 80, di mana 20% diberikan pada mereka untuk
mengaktualisasikan diri dan selebihnya (80%) ditentukan oleh pihak pengasuhan.
Masa Pertumbuhan (Madya Praja)
Setelah bibit
tanaman terseleksi dengan baik dan dilanjutkan dengan pola penanaman yang
tepat, selanjutnya yang akan dialami tanaman adalah masa pertumbuhan (growth process). Pada masa ini tanaman
mengalami fase lanjutan dimana sel-sel bertambah banyak dan besar hingga membentuk sel-sel baru yang lebih matang. Dalam
pengertian secara biologis yang dimaksud dengan pertumbuhan adalah proses
pertambahan jumlah dan ukuran sel yang bersifat permanen (tetap), tidak bisa
balik (irreversible), dan dapat dinyatakan secara kuantitatif. Hal ini menandakan bahwa
setelah mengalami proses ini, tumbuhan tidak dapat kembali pada sifat selnya yang dimiliki
sebelumnya.
Mengacu pada pengertian pertumbuhan di atas, pada tahap ini praja akan
mengalami proses penambahan pengetahuan dan kemandirian dalam bertindak. Praja
tidak perlu lagi diperlakukan sekeras perlakuan pada masa penanaman. Sikap (attitude) praja yang disiplin telah diperoleh pada masa sebelumnya, sehingga pada tahap ini pola pembinaan (equal treatment) dapat dikurangi. Hal yang harus dilakukan pada tahap
ini adalah menambahkan berbagai pengetahuan baru dan mulai mematangkan praja
dalam hal bersikap. Lebih kongkritnya bagaimana caranya agar mindset yang terbentuk pada diri
masing-masing praja bahwa disiplin bukan karena takut aturan, tetapi disiplin sebagai
sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.
Berkaitan
dengan sifat irreversible, ketika
praja mengalami masa pertumbuhan seharusnya apapun yang telah ia dapatkan (baik
knowledge maupun skill) tidak boleh berkurang (diminished)
maupun kembali (returned) pada
kemampuan awalnya. Artinya proses pertumbuhan praja harus tumbuh (growing) ke arah yang positif, bukan
sebaliknya menjadi berkurang ataupun kembali ke proses awal dimana ia mulai.
Inilah hal yang harusnya diwaspadai pada proses pengasuhan di IPDN bahwa
seringkali terjadi degradasi atau penurunan tingkat pengetahuan praja disebabkan
adanya pola pengasuhan yang belum tepat.
Dengan demikian
dapat kita rumuskan beberapa karakteristik pola pengasuhan yang sesuai
diterapkan pada tingkat Madya Praja, yaitu sebagai berikut :
1.
Madya Praja adalah masa pertumbuhan yang cocok untuk
mulai diberikan ruang berpikir mengenai penerapan idealisme yang telah ia
dapatkan di masa penanaman;
2.
Pola pembinaan (baik pemberian reward maupun punishment)
tetap harus dilakukan secara korsa karena pada masa ini semangat untuk
menghargai teman seangkatan belum tertanam kokoh sepenuhnya;
3.
Pada masa ini seharusnya pengasuhan mulai memberikan
kebebasan mereka untuk menentukan ke mana arah minat dan bakatnya harus
disalurkan, baik di bidang akademik, olahraga, seni, maupun unit keorganisasian
Wahana Wyata Praja lainnya;
4.
Porsi pembinaan fisik (lari,push-up,sit-up,dll.) diberikan dengan tingkatan di bawah
Muda Praja namun tetap tidak mengurangi tujuan untuk membentuk badan yang sehat
dan postur tubuh yang ideal;
5.
Proporsi aktualisasi diri diberikan dengan perbandingan 40
: 60, di mana 40% diberikan pada mereka untuk mulai lebih banyak mengaktualisasikan
diri dan selebihnya (60%) tetap ditentukan oleh pihak pengasuhan.
Masa
Perkembangan (Nindya Praja)
Secara biologis
pengertian perkembangan adalah proses perubahan dalam bentuk menuju ke tingkat lebih
sempurna yang bersifat kualitatif dan irreversible. Berbeda
dengan tahap pertumbuhan, pada tahap ini proses yang dialami oleh tanaman bukan
dititikberatkan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif akan tetapi lebih kepada
hal yang bersifat kualitatif (mengukur secara kualitas, bukan jumlah). Hal ini
menandakan bahwa sel-sel yang telah terbentuk dan bertambah pada tahap
pertumbuhan mulai dikembangkan menuju tingkat yang lebih sempurna secara
kualitas. Banyak sedikitnya sel bukan menjadi prioritas pada tahap ini, akan
tetapi kematangan secara kualitas sel-sel yang mengalami pengembangan merupakan
produk akhir yang diharapkan dalam tahap ini.
Sama halnya dengan kehidupan praja, pada tingkat
ini satuan praja akan mengalami masa pengembangan dimana seluruh pengetahuan,
keahlian dan sikap praja mulai dimatangkan untuk menuju pribadi yang lebih
dewasa. Dewasa di sini bukan dalam segi usia akan tetapi dewasa dalam hal
kompetensi yang dimiliki oleh praja. Tentunya tahapan ini juga sama dengan
tahap pertumbuhan sebelumnya di mana praja yang telah mengalami pengembangan
kompetensi ke arah yang lebih matang, tidak boleh kembali lagi pada titik awal
di mana ia mulai (irreversible). Pada tahap ini jugalah produktivitas
masing-masing praja mulai dapat dinilai.
Dengan demikian
dapat kita rumuskan beberapa karakteristik pola pengasuhan yang sesuai
diterapkan pada tingkat Nindya Praja, yaitu sebagai berikut :
1.
Nindya Praja adalah masa pengembangan yang cocok untuk mulai
diberikan kebebasan berekspresi, bertindak, dan mengambil keputusan sesuai
dengan apa yang telah mereka dapatkan pada dua tingkat sebelumnya;
2.
Pola pembinaan (baik pemberian reward maupun punishment)
tidak boleh dilakukan secara korsa lagi, hal ini dikarenakan masing-masing
praja dianggap telah paham dengan aturan dan pelanggaran dianggap suatu bentuk
penyimpangan individual yang harus diberikan hukuman secara khusus, bukan
kelompok;
3.
Pengasuhan sebisa mungkin harus lebih peka terhadap
kondisi psikis seorang Nindya Praja karena pada masa inilah ide-ide brilian,
bakat terpendam dan kelebihan-kelebihan praja lainnya harus diekspresikan
secara maksimal. Jika salah dalam memahami kondisi psikis praja maka kelebihan
mereka tidak akan tersalurkan dengan baik dan sangat merugikan fase
pengembangan diri yang tidak dapat dicapai secara optimal;
4.
Porsi pembinaan fisik (lari,push-up,sit-up,dll.) diberikan dengan intensitas secukupnya
karena pada prinsipnya mereka telah paham sejauh mana kemampuan fisik mereka
harus dikembangkan;
5.
Proporsi aktualisasi diri harus diberikan dengan
perbandingan 60 : 40, di mana 60% merupakan kebebasan mereka untuk
mengembangkan bakat dan selebihnya (40%) tetap dikontrol oleh pihak pengasuhan.
Masa
Pendewasaan (Wasana Praja)
Tiba kita pada tingkat akhir siklus kehidupan praja
yang berarti tahun ke-4 praja dalam menjalani pendidikan kepamongprajaan di
lembaga IPDN. Pada tahap ini dapat dianalogikan
dengan filosofi pertumbuhan tanaman tingkat akhir. Karena kita berbicara
masalah pendewasaan berarti tanaman pada tahap ini sudah mempunyai struktur sel
yang benar-benar lengkap dan tinggal menjalani proses sentuhan akhir (finishing
touch) agar menjadi tanaman yang siap dipanen. Ibarat pohon mangga, tanaman
ini sudah dapat dipetik hasil buahnya dan dapat
dinilai sejauh mana kualitas ukuran dan rasa mangganya. Besar atau kecil, manis atau masam, ataupun indikator lain yang dapat
digunakan untuk menentukan apakah tanaman ini berkualitas atau tidak.
Demikian pula
pada kehidupan praja, pada masa pendewasaan praja sudah mempunyai struktur
kompetensi (knowledge, skill and attitude) yang benar-benar lengkap, sehingga maksud dari tahap
pendewasaan ini adalah untuk mendewasakan dan mematangkan pola pikir praja agar
mengalami proses “pencerahan” (enlightenment) pemikiran. Tujuannya agar
ketika diturunkan ke lapangan nanti praja telah siap dan matang untuk menjadi
abdi negara maupun abdi masyarakat. Peran tahap pendewasaan ini sangat penting
karena sukses tidaknya pamong praja muda mengabdi di lapangan sedikit banyaknya
ditentukan pada tahap ini. Disinilah jiwa pengabdian (spirit of devotion) praja
dimatangkan dan disini pulalah kedewasaan dalam bertindak (maturity of act) praja
akan dikukuhkan.
Dengan demikian
dapat kita rumuskan beberapa karakteristik pola pengasuhan yang sesuai
diterapkan pada tingkat Wasana Praja, yaitu sebagai berikut :
1.
Wasana Praja adalah masa pendewasaan yang merupakan
siklus akhir dari pola pembinaan praja sebelum akhirnya ditugaskan untuk terjun
ke lapangan, untuk itu pembinaan yang dilakukan pada tingkat ini harus lebih
diarahkan pada proses pencerahan pikiran dan pematangan sikap dalam bertindak;
2.
Wasana Praja adalah tingkat paling senior yang membawahi
tiga angkatan di bawahnya sehingga pengasuhan harus membentuk pola pikir mereka
untuk menjadi atasan yang baik dan mengayomi terhadap bawahan serta mempunyai
tanggung jawab tinggi terhadap sebuah jabatan;
3.
Kematangan berpikir, bertindak dan bersikap harus
dipastikan untuk diperoleh oleh masing-masing praja pada tingkat ini;
4.
Pemberian hukuman dan pola pembinaan fisik sebisa
mungkin harus direduksi, hal ini lebih cocok untuk digantikan dengan sistem
negosiasi yang lebih mengarah pada win-win
solution antara Wasana Praja dan pihak pengasuhan dalam mengambil sebuah
keputusan;
5.
Proporsi aktualisasi diri harus diberikan dengan
perbandingan 80 : 20, di mana 80% merupakan kebebasan bagi Wasana Praja untuk
mendewasakan diri dalam rangka menentukan siap tidaknya terjun sebagai pamong pemerintahan
dan selebihnya (20%) tetap dikontrol oleh pihak pengasuhan.
Hubungan
Aspek Pengajaran, Pelatihan dan Pengasuhan
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa
sistem pendidikan di IPDN menggunakan sistem tritunggal terpusat dimana aspek
akademis (cognitive) selama ini tidak menjadi
satu-satunya aspek yang dikedepankan dalam rangka mencetak kader aparatur
pemerintahan untuk masa depan. Aspek itu juga perlu ditunjang oleh dua aspek
lain yang tak kalah penting dan wajib dimiliki oleh setiap praja sebelum terjun
ke lapangan, yaitu aspek keterampilan (affective) dan
sikap (psychomotoric). Ketiga aspek inilah yang terintegrasi menjadi
satu kesatuan sistem pendidikan yang disebut dengan
pengajaran-pelatihan-pengasuhan (jar-lat-suh)
Dua aspek yang disebutkan di awal, “jar” dan “lat”
merupakan aspek konkret yang didapatkan praja melalui kegiatan belajar mengajar
di kelas maupun terjun langsung ke lapangan. Aspek pengajaran akan membentuk
pola pikir (mindset) praja yang berpengetahuan luas dan memiliki
dasar-dasar hukum serta teori mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
pemerintahan. Dosen dan mata kuliah yang berkualitas menjadi dua instrumen
penting yang menentukan berhasil tidaknya aspek pengajaran yang berlangsung
dalam kelas. Sedangkan aspek pelatihan akan melatih praja agar terampil dan
cekatan dalam melakukan hal-hal yang bersifat teknis di lapangan. Kegiatan
pelatihan lebih didominasi dengan praktek-praktek langsung dilapangan yang
secara otomatis menjadi “laboratorium kerja” bagi praja agar segera
menyesuaikan dengan dunia pemerintahan.
Tak ada sistem yang sengaja dibentuk tanpa maksud
tertentu, aspek pengajaran dan pelatihan akan membimbing praja untuk
mendapatkan dua kompetensi sekaligus, yaitu pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill). Dua kompetensi ini berperan penting ketika praja
telah siap menjadi kader aparatur pemerintahan di lapangan, selain dituntut
mempunyai pengetahuan yang mapan, seorang aparat juga dituntut untuk menguasai
berbagai kegiatan teknis yang tentunya berhubungan dengan kegiatan
pemerintahan. Lalu di manakah posisi aspek “suh”
jika harus disandingkan dengan aspek “jar” dan “lat”? Bukankah cukup dua aspek
itu saja sudah dapat membentuk praja berkualitas yang mempunyai kemampuan
teoritis, legalistis dan empiris?
Aspek pengasuhan memang aspek yang cukup berbeda
dengan dua aspek lainnya. Jika aspek pengajaran dan pelatihan mampu diukur
melalui ujian di kelas yang menghasilkan huruf-huruf A untuk sangat baik, B
untuk baik, C untuk kurang dan D untuk buruk, tidak demikian dengan aspek
pengasuhan. Aspek ini mempunyai indikator yang secara khusus digunakan untuk
mengukur sejauh mana seorang praja berhasil mengikuti program pengasuhan, bukan melalui ujian teoritis di
kelas atau praktek kerja dilapangan. Praja memperoleh nilai
pengasuhannya masing-masing, akan tetapi indikator yang digunakan memerlukan
berbagai pertimbangan dalam membentuk aspek sikap (attitude) yang
menjadi produk akhir dari program pengasuhan selama ini.
Indikator yang digunakan dalam menentukan nilai pengasuhan
sejauh ini tercantum jelas dalam
azas-azas pengasuhan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 157 Tahun 2004
Tentang Pedoman Pengasuhan Praja
Lembaga Pendidikan Kedinasan Departemen Dalam Negeri (pasal 4 dan
5). Azas-azas tersebut terdiri dari;
a. Azas Pembentukan Kepribadian
b. Azas Pendewasaan
c. Azas Psikologis Paedagogis
d. Azas Alih Ajar
e. Azas Orientasi Masa Depan
f. Azas Kemantapan
g. Azas Motivasi
h. Azas Perkembangan Individu
i. Azas Profesionalisme
Kesembilan azas di atas
seharusnya
menjadi dasar bagi pola pengasuhan praja dalam menjalankan berbagai programnya.
Berikut diuraikan secara jelas hal apa saja yang harus dilandasi oleh
kesembilan azas di atas.
Azas
pembentukan kepribadian sebagaimana dimaksud merupakan dasar bagi pengasuhan
praja untuk memperhatikan kepribadian sebagai totalitas aspek psiko dan fisik
yang tidak terpisahkan. Pengisian dan pembinaan moral juga harus dilakukan sebagai
landasan pembentukan watak dan mental. Selain itu pengembangan watak
intelektual dan kesamaptaan juga menjadi pelengkap dalam pemebentukan
kepribadian ini. Dan yang terakhir adalah pola pengembangan kepribadian untuk mencapai
pamong praja yang profesional merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai
melalui azas ini.
Azas
pendewasaan
mendasari pengasuhan praja yang dilaksanakan dengan memperhatikan kedewasaan
dalam menyerap nilai‑nilai kepamongprajaan. Selanjutnya azas psikologis
paedagogis akan mendasari pengasuhan Praja yang dilaksanakan dengan
memperhatikan bahwa Praja masih memerlukan bimbingan dalam penanaman,
penumbuhan, pemantapan dan pendewasaan. Azas aIih ajar juga menjadi
pelengkap untuk mendasari pengasuhan praja yang dilaksanakan dengan
memperhatikan faktor yang mempengaruhi alih ajar yang meliputi kapasitas dasar
individu (daya pikir), sifat mata ajaran serta sikap usaha individu.
Selain
keempat azas di atas, azas orientasi masa depan juga akan
mendasari pengasuhan yang dilaksanakan dengan mengarahkan praja agar dapat
mengatasi masalah‑masalah yang timbul sebagai dampak kemajuan teknologi
informasi, dinamika masyarakat, lingkungan strategis dan perubahan yang terjadi
dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dalam negeri dan pemerintahan daerah. Azas
kemantapan
mendasari pengasuhan praja yang dilaksanakan dengan mengandalkan kemantapan rasionalitas
dan nurani praja untuk mewujudkan kepercayaan diri sendiri.
Azas
motivasi
mendasari pengasuhan yang dilaksanakan untuk menumbuhkan motivasi yang dapat
rnembangkitkan kebutuhan untuk mencapai hasil pendidikan yang maksimal. Azas perkembangan
individu mendasari pengasuhan yang diarahkan untuk memajukan
kepribadian, intelektualitas, jasmani dan rohani secara selaras sesuai
perkembangan kemampuan praja. Azas profesionalisme mendasari pengasuhan
yang diarahkan untuk membangun praja memiliki kemampuan, keahlian dan nilai‑nilai
sebagai kader pemerintahan yang handal.
Kesembilan
azas di atas semakin memperjelas bahwa pada dasarnya aspek pengasuhan menjadi
pelengkap dua aspek sebelumnya. Tanpa pola pengasuhan yang baik, ilmu dan
keterampilan yang didapat dari pengajaran dan pelatihan tidak akan berarti
apapun karena output kompetensi yang
dimiliki praja belum berlandaskan sikap dan kepribadian ideal sosok seorang
pamong. Oleh karena itu, konsep jar-lat-suh saling melengkapi satu dengan
lainnya sehingga ketiganya akan saling memberikan kontribusi positif untuk
membentuk praja yang berpengetahuan luas, terampil dan mempunyai kepribadian
teladan sebagai seorang pamong pemerintahan.
Penerapan
Nilai Asta Brata dalam Pola Pengasuhan di IPDN
Memahami bahwa aspek pengasuhan merupakan aspek yang berbeda dibanding dua aspek sebelumnya, maka cara penentuan
polanya pun sangat berbeda. Keberhasilan program pengasuhan tidak dapat diukur
dengan menggunakan simbol-simbol abjad yang mengintepretasikan rentang nilai
yang dicapai praja. Pengasuhan harus mempunyai pola khusus yang unique dan berbeda dengan aspek “jar”
dan “lat”. Pola inilah yang nantinya akan menjadi masterpiece dari desain pola pengasuhan IPDN ke depannya.
Mari kita awali penentuan pola ini dengan beberapa
pertanyaan sebagai berikut : Dapatkah kita memastikan bahwa praja yang selalu mengikuti apel
adalah praja yang baik sikapnya? Atau praja yang sering datang ke menza
mempunyai perilaku yang santun? Atau bahkan praja yang tidak pernah absen
aerobik pagi layak diberikan nilai pengasuhan yang tinggi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya memberikan
gambaran awal pada kita bahwa baik tidaknya nilai pengasuhan seorang praja
tidak dapat hanya ditentukan dengan formalitas absensi (kehadiran) belaka (aspek procedural administrative). Selama ini pola pengasuhan yang kita jalani hanya
menerapkan sistem absensi yang mengedepankan aspek kuantitas kehadiran semacam itu,
walaupun ada pengembangan ke arah kualitas (substantive), mungkin hanya sedikit
intensitasnya. Nilai pengasuhan kita hanya diukur dengan seberapa sering praja
mengikuti apel, seberapa sering praja tidak mengikuti upacara makan, atau
seberapa sering praja mengaku “sakit” agar dibebaskan dari rutinitas kegiatan.
Belum ada pola pengasuhan khusus yang dapat menumbuhkan sikap kedewasaan serta
kematangan berpikir dan bertindak bagi praja.
Untuk itu kita akan membahas bagaimana sebenarnya pola
pengasuhan ideal yang harus diterapkan pada praja agar aspek ini tidak berjalan
sebagai formalitas belaka, akan tetapi benar-benar dapat membentuk sikap dan
kepribadian praja yang baik. Pola ini sebenarnya sudah diterapkan sejak IPDN
masih bernama STPDN dulu, namun lambat laun pola ini semakin dilupakan dan
ditinggalkan hingga akhirnya tim penulis berusaha menghidupkannya kembali
melalui makalah singkat ini.
Asta Brata merupakan delapan konsep ajaran kepemimpinan atau leadership dalam sejarah Jawa kuno. Dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia,
Asta Brata secara
etimologis terdiri dari dua suku kata yaitu : asta berarti 8 (delapan), sedangkan brata (atau ejaan yang
dipersamakan beratha, bratha dan berata) adalah sikap atau laku. Jadi
"Asta Brata" merupakan 8 (delapan) ajaran, filsafat atau ilmu
kepemimpinan yang mulia dari warisan tanah Nusantara dan dapat dipergunakan
untuk meningkatkan kualitas diri sebagai seorang pemimpin. Kedelapan nilai
kepemimpinan tersebut terdiri dari :
1. Surya
atau mentari
Dia memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan
yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Analogi ini mengharapkan seorang pamong praja untuk
mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyat yang dipimpinnya untuk membangun
bangsa dan negara, dengan memberikan bekal lahir dan bathin untuk dapat
berkarya secara maksimal menurut swadharma
atau bidang tugasnya masing-masing.
2. Candra
atau rembulan
Memancarkan sinar di kegelapan malam. Cahaya rembulan
yang lembut akan mampu menumbuhkan semangat dan harapan di tengah kegelapan.
Seorang pamong praja hendaknya mampu memberikan dorongan atau
motivasi untuk
membangkitkan semangat rakyatnya, walau dalam kelamnya duka karena bencana.
3. Kartika
atau bintang
Memberikan sinar indah kemilau, jauh di langit,
sehingga dapat menjadi petunjuk arah bagi yang memerlukan. Seorang pamong praja
harus mampu menjadi teladan untuk berbuat kebaikan. Tak pernah ragu menjalankan
keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan
menyesatkan.
4. Angkasa
atau langit
Luas tak terbatas, sehingga mampu
menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya memiliki
keluasan bathin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar
mampu menampung aspirasi atau
pendapat rakyatnya yang beraneka ragam.
5. Bayu atau
angin
Selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta
selalu mengisi semua ruang kosong. Seorang pamong praja hendaknya dekat dengan rakyat, tanpa membedakan
derajat dan martabatnya, bisa mengetahui keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu
memahami dan menyerap aspirasi rakyat.
6. Samodra
atau lautan
Betapapun luasnya samudra, senantiasa mempunyai
permukaan yang rata, bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pamong praja hendaknya
mampu menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga
dapat berlaku adil, bijaksana dan penuh kasih sayang terhadap
rakyatnya.
7. Agni atau
api
Api mempunyai kemampuan untuk membakar habis dan
menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pamong
praja hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas, tuntas
dan tanpa pandang bulu.
8. Pertiwi
atau bumi/tanah
Bumi mempunyai sifat kuat sekaligus murah hati. Selalu memberi hasil kepada
siapapun yang mau berusaha mengelola dan memeliharanya dengan tekun. Seorang pamong
praja hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan
senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dari kedelapan ajaran yang diambil dari elemen-elemen
alam itulah hendaknya pola pengasuhan dapat diarahkan. Kepemimpinan Asta Brata
tersebut hendaknya sudah mulai diperkenalkan sejak masa Muda Praja, ditumbuhkan
saat Madya Praja, dan dimatangkan saat masa Nindya dan Wasana Praja.
Indoktrinasi tentang gaya kepemimpinan ini harus disampaikan pada setiap kali
kesempatan apel secara berkesinambungan. Bila perlu harus diadakan
seminar-seminar khusus yang membahas tentang gaya kepemimpinan Asta Brata, hal
ini dimaksudkan agar praja sangat memahami akan gaya kepemimpinan dan mulai membiasakan
diri untuk mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika pihak pengasuhan dapat secara baik memberikan
pemahaman ajaran Asta Brata bagi setiap praja, maka diyakini pola
pengasuhan IPDN ke depan akan lebih baik dari sekarang. Pola pengasuhan ke
depan harus mengurangi hal-hal yang bersifat formalitas belaka, sudah saatnya
pola pengasuhan berubah ke arah yang lebih mengedepankan aspek pendewasaan
praja di mana fungsi kata “asuh” benar-benar dapat dijalankan. Tapi diakui bahwa
Asta Brata hanyalah nilai kepemimpinan ideal yang tak lebih dari sarana
indoktrinasi untuk mendewasakan sikap dan perilaku praja, butuh komitmen dan
kerja keras untuk mewujudkan agar ajaran ini dapat diterapkan secara optimal
pada pola pengasuhan praja IPDN.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan untuk menjawab masalah awal.
1. Pola pengasuhan praja sebenarnya dapat
dianalogikan sebagai fase pertumbuhan bagi tanaman untuk berkembang menjadi
dewasa. Fase-fase tersebut terdiri dari masa penanaman, masa pertumbuhan, masa
pengembangan, dan masa pendewasaan. Keempat fase tersebut mempunyai
karakteristik dan ciri khas masing-masing yang tidak boleh diperlakukan sama antara
fase satu dengan lainnya;
2.
Aspek
pengajaran dan pelatihan lebih mengarah pada eksistensi praja untuk menguasai
kemampuan dalam hal pengetahuan dan keterampilan. Ada aspek lain yang juga
menjadi kunci keberhasilan praja untuk menjadi pamong pemerintahan yang berkepribadian
baik. Kunci itulah yang disebut sebagai aspek pengasuhan di mana kedudukannya
harus berjalan sinergi dengan aspek pengajaran maupun pelatihan.
3.
Ajaran
mengenai kepemimpinan Asta Brata yang merupakan
jawaban dari penerapan pola pengasuhan ideal bagi IPDN di masa depan. Hal ini
disebabkan karena pada gaya kepemimpinan ini manusia dituntut untuk memahami
sifat dan belajar dari elemen-eleman alam yang ada di sekitar kita untuk
membentuk karakter kepribadian yang santun, berani, bijak dan adil.
Saran
Perlunya IPDN untuk
lebih peka dan serius dalam menangani permasalahan pengasuhan yang belum
memberikan kontribusi maksimal bagi pembentukan kepribadian praja yang baik. Semakin tinggi tingkatan semakin rendah
pendekatan pola pengasuhan, pada saat yang sama semakin tinggi pendekatan
intelektualitas dan pelatihan. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari pimpinan lembaga yang kuat untuk mengubah semua
varibel kepemimpinan diatas menjadi indikator yang lebih membumi bagi penilaian
kehidupan praja sehari-hari. Dengan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan Asta Brata, kita percaya
bahwa IPDN masa depan akan mampu mencetak praja-praja yang mempunyai brilliant
knowledge, nice skill, and good attitude.
[1] Makalah pendek ini
disampaikan kepada Rektor sebagai pokok-pokok pikiran dalam memformat ulang
pola pengasuhan IPDN tahun 2013.
[2] Direktur Pusat Kajian
Strategik Pemerintahan Jakarta, Ketua Pusat Kajian Desentralisasi Fordok, Ketua
Departemen Kajian Strategis IKPTK, Ketua Departemen Litbang MIPI, Ketua Plato’s
Club Jakarta.
Komentar
Posting Komentar