Mendesain Kembali Pola Pengasuhan,


Oleh. Muhadam Labolo[2]
Ahmad Oktabri
Zulfikri
 


Latar Belakang

Performa pendidikan kedinasan Institut Pemerintahan Dalam Negeri dapat kita analogikan seperti sebuah kereta api panjang dengan tiga gerbong utama, pengajaran, pelatihan dan pengasuhan. Dalam kenyataannya ketiga gerbong utama awalnya kita sebut sebagai pola pendidikan tritunggal terpusat (konsentrik), kini bergeser heterarkhis, sekalipun porsi yang satu dengan yang lain disesuaikan dengan kebutuhan.  Berhasil tidaknya kereta mencapai tujuan akan bergantung pada seberapa efektif kepemimpinan Masinis (Rektor) mengarahkan (steering) ketiga gerbong agar berjalan baik. Ini hanyalah analogi sederhana yang dapat merefleksikan seberapa besar peran kepemimpinan Rektor membawa IPDN mencapai tujuan yang diinginkan oleh pemerintah (Presiden dan Menteri Dalam Negeri) serta segenap stakeholder yang membutuhkannya (Pemerintah Daerah).

Institut Pemerintahan Dalam Negeri merupakan lembaga pendidikan tinggi kepamongprajaan yang memiliki keunikan tersendiri dibanding pendidikan lain pada umumnya. Itulah mengapa tak begitu tepat jika IPDN sebagai pendidikan tinggi kedinasan dibandingkan dengan pendidikan tinggi lain seperti UI, UGM, IPB dan ITB misalnya. Dari segi tujuan/orientasi, organisasi, implementasi dan independensinya jelas berbeda sehingga tak mungkin dibandingkan. Satu-satunya cara menilai IPDN adalah membandingkannya dengan pendidikan tinggi kedinasan lain di Indonesia seperti AKPOL, AKMIL, PTIK, STPN, STAN, LAN atau Sekolah Sandi Negara.  Tentu saja untuk hal itu kita boleh berbangga, sebab IPDN selalu menjadi rujukan dalam aspek pengajaran, pelatihan dan pengasuhan. Keunikan IPDN berkaitan dengan pengintegrasian kemampuan intelektual, pemahaman legal-formal dan pengetahuan aspek empirikal dalam pribadi setiap lulusan sehingga mampu menjawab persoalan dibidang pemerintahan.

Aspek pengajaran menuntut praja memiliki kemampuan dalam penguasaan teori dan konsep di bidang pemerintahan. Kemampuan intelektual tersebut perlu didukung oleh aspek pelatihan yang menuntut praja memiliki keterampilan (skill) dalam melakukan setiap pekerjaan yang bersifat teknis. Berbeda dengan pengasuhan, untuk mengukur penguasaan praja terhadap aspek pengajaran dan pelatihan, maka penilaian dilakukan lewat Indeks Prestasi (IP) setiap semester. Indikator penentuan IP akan dilihat dari nilai yang diperoleh dari setiap mata kuliah dan pelatihan yang diikuti praja.

Diluar dua aspek tersebut pengasuhan merupakan aspek yang cukup sulit untuk dinilai. Sejauh ini pengasuhan belum mempunyai standar penentuan nilai yang jelas dalam menentukan IP dari masing-masing praja, padahal aspek pengasuhan bertujuan membentuk sikap (attitude) praja dalam mendukung dua kemampuan sebelumnya (knowledge and skill). Kesulitan dalam penilaian aspek pengasuhan misalnya, apakah praja yang selalu mengikuti apel pagi dapat berarti memiliki sikap yang baik? Atau apakah praja yang selalu mengikuti aktivitas kurvei di wisma dapat dipastikan bahwa ia adalah praja yang paling baik dalam aspek pengasuhan? Boleh jadi mereka melakukan itu karena tertekan dan terpaksa, bukan karena kesadaran yang lahir secara ikhlas dari hati untuk mengikuti aturan pengasuhan. Demikian kaburnya penilaian terhadap aspek ini maka penentuan nilai selama ini sangat bersifat subjektif, spekulatif dan tentu saja diskriminatif. Disinilah alasan kita membutuhkan suatu penilaian objektif sebagai standar yang jelas agar IPDN dapat memastikan lulusannya memiliki intelektual, skill dan sikap yang terpuji dilapangan pemerintahan.  Apabila knowledge and skill merupakan dua kompetensi yang dapat ditingkatkan dan dikembangkan melalui kegiatan belajar mengajar di kelas, akan tetapi attitude merupakan kompetensi lain yang tidak mudah diperoleh begitu saja, perlu metode dan indikator lain yang dapat mengukur keberhasilan program pengasuhan dalam rangka mencetak praja berkepribadian positif. Dengan latar belakang inilah kita tergerak untuk mengkaji bagaimana pola pengasuhan IPDN yang semestinya dilakukan. Dalam artian bukan hanya untuk “mengancam” prajanya agar selalu takut dengan aturan akan tetapi untuk “membangun kedewasaan” masing-masing praja sehingga menyikapi aturan sebagai seperangkat norma yang wajib dan sepatutnya dilaksanakan.

Masalah

Bergerak dari latar belakang itu, kita berusaha menjawab sejumlah masalah pokok yaitu;
1.     Bagaimanakah sebenarnya filosofi empat tahun masa pendidikan di Kampus IPDN jika ditinjau dari pola pengasuhan praja?
2.     Bagaimanakah hubungan aspek pengajaran dan pelatihan jika dikaitkan dengan aspek pengasuhan?
3.    Bagaimanakah seharusnya pola pengasuhan ideal untuk mencetak kader kepamongprajaan yang mempunyai keunggulan dalam bersikap?

Batasan masalah tentu saja terkait dengan pola pengasuhan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Terhadap pola pengajaran dan pelatihan, tak akan diuraikan disini, kecuali kita memfokuskan diri pada hal ikhwal pengasuhan.

Tujuan

1.     Menganalisa filosofi empat tahun masa pendidikan di Kampus IPDN jika ditinjau dari pola pengasuhan praja;
2.     Menganalisa hubungan aspek pengajaran dan pelatihan jika dikaitkan dengan aspek pengasuhan; dan
3.     Menganalisa pola pengasuhan ideal dalam rangka mencetak kader kepamongprajaan yang mempunyai keunggulan dalam bersikap.
 
Filosofi Kehidupan Tumbuhan dan Pola Pengasuhan Praja
Dari aspek yuridis, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 157 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengasuhan Praja Lembaga Pendidikan Kedinasan Departemen Dalam Negeri,  yang dimaksud dengan filosofi pengasuhan adalah upaya sadar untuk menanamkan, menumbuhkan dan mengembangkan kreativitas dan pencerahan pemikiran untuk mewujudkan kedewasaan praja yang mempunyai keseimbangan intelektual, kesamaptaan, kecerdasan emosional dan spiritual sebagai kader pemerintahan profesional yang memiliki tanggung jawab pelayanan kepada masyarakat. Dari pengertian itu dapat kita simpulkan bahwa pola pengasuhan IPDN pada dasarnya menggunakan filosofi tahapan hidup pada tumbuhan yang mempunyai fase bertahap mulai dari masa penanaman hingga tahap pendewasaan.

Tahapan hidup tumbuhan dapat dianalogikan untuk menentukan pola pengasuhan di lingkungan IPDN. Ini menandakan bahwa seluruh tahapan yang harus dilalui oleh seorang praja dalam menjalani pendidikan selama 4 (empat) tahun tercermin dalam fase-fase yang dialami tumbuhan saat menjalani siklus kehidupan menjadi dewasa. Analogi fase-fase tersebut dapat kita lihat pada tabel di bawah :

Tabel.01.
 Analogi Siklus Kehidupan Praja

Pangkat (Tingkat) Praja
Analogi Pada Tumbuhan
Muda Praja (Tingkat I)
Masa Penanaman
Madya Praja (Tingkat II)
Masa Pertumbuhan
Nindya Praja (Tingkat III)
Masa Perkembangan
Wasana Praja (Tingkat IV)
Masa Pendewasaan

 
Dari tabel di atas tampak jelas bahwa setiap tingkatan kehidupan praja analog dengan filosofi masa kehidupan tumbuhan. Hal ini dapat dimaknai bahwa perlakuan yang diberikan pada tumbuhan pada dasarnya mempunyai filosofi yang sama jika diterapkan dalam siklus kehidupan praja selama menjalani masa 4 (empat) tahun pendidikan. Adapun penjelasan secara lebih detail sebagai berikut;


Wasana Praja
 





 






Muda Praja



Madya Praja



Nindya Praja











Gambar Analogi Fase Pertumbuhan Tanaman dengan Pola Pengasuhan Praja






























Masa Penanaman (Muda Praja)

Sebelum memulai masa penanaman (implantation), hal pertama yang dilakukan adalah dengan memilih dan memilah bibit tanaman yang unggul dan bibit tanaman yang kurang bagus untuk disemai. Kegiatan pemilihan ini penting karena berkaitan langsung dengan baik tidaknya perkembangan tumbuhan selanjutnya. Semakin cermat dan teliti kita dalam memilih, semakin besar pula kemungkinan tanaman ini dapat tumbuh subur dan produktif. Dalam konteks praja, tahapan pemilihan dan pemilahan ini biasa kita sebut tahapan seleksi (selection) untuk mengikuti tes sebagai praja IPDN. Ketika kita berbicara tentang seleksi, maka dapat dipastikan bahwa jumlah penawaran (supply) lebih besar dari pada jumlah permintaan (demand), yang berarti jumlah peserta seleksi praja IPDN lebih banyak daripada kuota yang dibutuhkan oleh lembaga itu sendiri. Hal ini berimplikasi pada keharusan untuk melakukan seleksi yang pada tahapan lebih lanjut dapat menimbulkan kompetisi (competition) untuk menjadi peserta terbaik dari daerah asal masing-masing.

Setelah diawali pemilihan bibit unggul yang tepat, maka tahapan selanjutnya adalah menanam bibit pada bidang tanah yang tepat. Seluruh bibit harus mendapatkan perlakuan yang sama dan adil. Agar bibit tumbuh subur dan produktif ketika dewasa, maka prinsipnya satu bibit diberikan pupuk, demikian pula bibit lain harus diberikan pupuk dengan takaran dan perlakuan yang sama. Sama halnya ketika ada bibit yang sedikit rusak karena diserang hama penyakit maka kepadanya perlu diberikan perlakuan khusus dengan memberikan pestisida sebagai bentuk perhatian dan terapi. Hal ini untuk menghindari meluasnya pengaruh pengrusakan penyakit tersebut terhadap bibit lain. Inilah yang disebut dengan perlakuan sama (equal treatment) saat tumbuhan baru menjalani masa penanaman ditahap awal.

Jika kita kaitkan dengan praja, analoginya masa equal treatment ini sama dengan masa pembinaan satuan muda praja. Pada tingkatan ini praja dianggap menjalani masa penanaman karena seluruh kegiatan diperlakukan sama. Pada masa penanaman ini kita juga memperlakukan praja dengan kegiatan yang bersifat tegas-mendidik. Hal ini dimaksudkan agar mentalitas dan disiplin praja dapat tertanam dengan baik. Dengan modal sikap disiplin yang tertanam dengan baik, proses pendidikan yang dijalani selama 4 (empat) tahun ke depan dapat berjalan lancar dan kondusif karena disiplin (discipline) telah menjadi karakter dasar (basic character) yang tertanam pada pribadi praja.

Dengan demikian dapat kita rumuskan karakteristik pola pengasuhan yang sesuai diterapkan pada tingkat Muda Praja, sebagai berikut :

1.     Muda Praja adalah masa penanaman yang sesuai untuk internalisasi bersifat doktrinal tentang idealisme yang kuat agar terbentuk mindset yang baik;

2.     Pola pembinaan (baik pemberian reward maupun punishment) harus dilakukan secara korsa untuk menumbuhkan semangat esprit de corps yang kuat;

3.     Sedapat mungkin tidak membiarkan celah kesalahan agar mereka senantiasa menaati aturan kapan pun dan di mana pun;

4.     Porsi pembinaan fisik (lari,push up,sit up,dll.) harus diberikan dengan jumlah yang besar agar terbentuk praja yang mempunyai kekuatan fisik dan postur tubuh yang baik;

5.     Proporsi aktualisasi diri cukup diberikan dengan perbandingan 20 : 80, di mana 20% diberikan pada mereka untuk mengaktualisasikan diri dan selebihnya (80%) ditentukan oleh pihak pengasuhan.

 Masa Pertumbuhan (Madya Praja)

Setelah bibit tanaman terseleksi dengan baik dan dilanjutkan dengan pola penanaman yang tepat, selanjutnya yang akan dialami tanaman adalah masa pertumbuhan (growth process). Pada masa ini tanaman mengalami fase lanjutan dimana sel-sel bertambah banyak dan besar hingga membentuk sel-sel baru yang lebih matang. Dalam pengertian secara biologis yang dimaksud dengan pertumbuhan adalah proses pertambahan jumlah dan ukuran sel yang bersifat permanen (tetap), tidak bisa balik (irreversible), dan dapat dinyatakan secara kuantitatif. Hal ini menandakan bahwa setelah mengalami proses ini, tumbuhan tidak dapat kembali pada sifat selnya yang dimiliki sebelumnya.

Mengacu pada pengertian pertumbuhan di atas, pada tahap ini praja akan mengalami proses penambahan pengetahuan dan kemandirian dalam bertindak. Praja tidak perlu lagi diperlakukan sekeras perlakuan pada masa penanaman. Sikap (attitude) praja yang disiplin telah diperoleh pada  masa sebelumnya, sehingga pada tahap ini pola pembinaan (equal treatment) dapat dikurangi. Hal yang harus dilakukan pada tahap ini adalah menambahkan berbagai pengetahuan baru dan mulai mematangkan praja dalam hal bersikap. Lebih kongkritnya bagaimana caranya agar mindset yang terbentuk pada diri masing-masing praja bahwa disiplin bukan karena takut aturan, tetapi disiplin sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.

Berkaitan dengan sifat irreversible, ketika praja mengalami masa pertumbuhan seharusnya apapun yang telah ia dapatkan (baik knowledge maupun skill) tidak boleh berkurang (diminished) maupun kembali (returned) pada kemampuan awalnya. Artinya proses pertumbuhan praja harus tumbuh (growing) ke arah yang positif, bukan sebaliknya menjadi berkurang ataupun kembali ke proses awal dimana ia mulai. Inilah hal yang harusnya diwaspadai pada proses pengasuhan di IPDN bahwa seringkali terjadi degradasi atau penurunan tingkat pengetahuan praja disebabkan adanya pola pengasuhan yang belum tepat.

Dengan demikian dapat kita rumuskan beberapa karakteristik pola pengasuhan yang sesuai diterapkan pada tingkat Madya Praja, yaitu sebagai berikut :

1.     Madya Praja adalah masa pertumbuhan yang cocok untuk mulai diberikan ruang berpikir mengenai penerapan idealisme yang telah ia dapatkan di masa penanaman;

2.     Pola pembinaan (baik pemberian reward maupun punishment) tetap harus dilakukan secara korsa karena pada masa ini semangat untuk menghargai teman seangkatan belum tertanam kokoh sepenuhnya;

3.     Pada masa ini seharusnya pengasuhan mulai memberikan kebebasan mereka untuk menentukan ke mana arah minat dan bakatnya harus disalurkan, baik di bidang akademik, olahraga, seni, maupun unit keorganisasian Wahana Wyata Praja lainnya;

4.     Porsi pembinaan fisik (lari,push-up,sit-up,dll.) diberikan dengan tingkatan di bawah Muda Praja namun tetap tidak mengurangi tujuan untuk membentuk badan yang sehat dan postur tubuh yang ideal;

5.     Proporsi aktualisasi diri diberikan dengan perbandingan 40 : 60, di mana 40% diberikan pada mereka untuk mulai lebih banyak mengaktualisasikan diri dan selebihnya (60%) tetap ditentukan oleh pihak pengasuhan.

Masa Perkembangan (Nindya Praja)

Secara biologis pengertian perkembangan adalah proses perubahan dalam bentuk menuju ke tingkat lebih sempurna yang bersifat kualitatif dan irreversible. Berbeda dengan tahap pertumbuhan, pada tahap ini proses yang dialami oleh tanaman bukan dititikberatkan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif akan tetapi lebih kepada hal yang bersifat kualitatif (mengukur secara kualitas, bukan jumlah). Hal ini menandakan bahwa sel-sel yang telah terbentuk dan bertambah pada tahap pertumbuhan mulai dikembangkan menuju tingkat yang lebih sempurna secara kualitas. Banyak sedikitnya sel bukan menjadi prioritas pada tahap ini, akan tetapi kematangan secara kualitas sel-sel yang mengalami pengembangan merupakan produk akhir yang diharapkan dalam tahap ini.

Sama halnya dengan kehidupan praja, pada tingkat ini satuan praja akan mengalami masa pengembangan dimana seluruh pengetahuan, keahlian dan sikap praja mulai dimatangkan untuk menuju pribadi yang lebih dewasa. Dewasa di sini bukan dalam segi usia akan tetapi dewasa dalam hal kompetensi yang dimiliki oleh praja. Tentunya tahapan ini juga sama dengan tahap pertumbuhan sebelumnya di mana praja yang telah mengalami pengembangan kompetensi ke arah yang lebih matang, tidak boleh kembali lagi pada titik awal di mana ia mulai (irreversible). Pada tahap ini jugalah produktivitas masing-masing praja mulai dapat dinilai.

Dengan demikian dapat kita rumuskan beberapa karakteristik pola pengasuhan yang sesuai diterapkan pada tingkat Nindya Praja, yaitu sebagai berikut :

1.     Nindya Praja adalah masa pengembangan yang cocok untuk mulai diberikan kebebasan berekspresi, bertindak, dan mengambil keputusan sesuai dengan apa yang telah mereka dapatkan pada dua tingkat sebelumnya;

2.     Pola pembinaan (baik pemberian reward maupun punishment) tidak boleh dilakukan secara korsa lagi, hal ini dikarenakan masing-masing praja dianggap telah paham dengan aturan dan pelanggaran dianggap suatu bentuk penyimpangan individual yang harus diberikan hukuman secara khusus, bukan kelompok;

3.     Pengasuhan sebisa mungkin harus lebih peka terhadap kondisi psikis seorang Nindya Praja karena pada masa inilah ide-ide brilian, bakat terpendam dan kelebihan-kelebihan praja lainnya harus diekspresikan secara maksimal. Jika salah dalam memahami kondisi psikis praja maka kelebihan mereka tidak akan tersalurkan dengan baik dan sangat merugikan fase pengembangan diri yang tidak dapat dicapai secara optimal;

4.     Porsi pembinaan fisik (lari,push-up,sit-up,dll.) diberikan dengan intensitas secukupnya karena pada prinsipnya mereka telah paham sejauh mana kemampuan fisik mereka harus dikembangkan;

5.     Proporsi aktualisasi diri harus diberikan dengan perbandingan 60 : 40, di mana 60% merupakan kebebasan mereka untuk mengembangkan bakat dan selebihnya (40%) tetap dikontrol oleh pihak pengasuhan. 

Masa Pendewasaan (Wasana Praja)

Tiba kita pada tingkat akhir siklus kehidupan praja yang berarti tahun ke-4 praja dalam menjalani pendidikan kepamongprajaan di lembaga IPDN. Pada tahap ini dapat dianalogikan dengan filosofi pertumbuhan tanaman tingkat akhir. Karena kita berbicara masalah pendewasaan berarti tanaman pada tahap ini sudah mempunyai struktur sel yang benar-benar lengkap dan tinggal menjalani proses sentuhan akhir (finishing touch) agar menjadi tanaman yang siap dipanen. Ibarat pohon mangga, tanaman ini sudah dapat dipetik hasil buahnya dan dapat dinilai sejauh mana kualitas ukuran dan rasa mangganya. Besar atau kecil, manis atau masam, ataupun indikator lain yang dapat digunakan untuk menentukan apakah tanaman ini berkualitas atau tidak.

Demikian pula pada kehidupan praja, pada masa pendewasaan praja sudah mempunyai struktur kompetensi (knowledge, skill and attitude) yang benar-benar lengkap, sehingga maksud dari tahap pendewasaan ini adalah untuk mendewasakan dan mematangkan pola pikir praja agar mengalami proses “pencerahan” (enlightenment) pemikiran. Tujuannya agar ketika diturunkan ke lapangan nanti praja telah siap dan matang untuk menjadi abdi negara maupun abdi masyarakat. Peran tahap pendewasaan ini sangat penting karena sukses tidaknya pamong praja muda mengabdi di lapangan sedikit banyaknya ditentukan pada tahap ini. Disinilah jiwa pengabdian (spirit of devotion) praja dimatangkan dan disini pulalah kedewasaan dalam bertindak (maturity of act) praja akan dikukuhkan.

Dengan demikian dapat kita rumuskan beberapa karakteristik pola pengasuhan yang sesuai diterapkan pada tingkat Wasana Praja, yaitu sebagai berikut :

1.     Wasana Praja adalah masa pendewasaan yang merupakan siklus akhir dari pola pembinaan praja sebelum akhirnya ditugaskan untuk terjun ke lapangan, untuk itu pembinaan yang dilakukan pada tingkat ini harus lebih diarahkan pada proses pencerahan pikiran dan pematangan sikap dalam bertindak;

2.     Wasana Praja adalah tingkat paling senior yang membawahi tiga angkatan di bawahnya sehingga pengasuhan harus membentuk pola pikir mereka untuk menjadi atasan yang baik dan mengayomi terhadap bawahan serta mempunyai tanggung jawab tinggi terhadap sebuah jabatan;

3.     Kematangan berpikir, bertindak dan bersikap harus dipastikan untuk diperoleh oleh masing-masing praja pada tingkat ini;

4.     Pemberian hukuman dan pola pembinaan fisik sebisa mungkin harus direduksi, hal ini lebih cocok untuk digantikan dengan sistem negosiasi yang lebih mengarah pada win-win solution antara Wasana Praja dan pihak pengasuhan dalam mengambil sebuah keputusan;

5.     Proporsi aktualisasi diri harus diberikan dengan perbandingan 80 : 20, di mana 80% merupakan kebebasan bagi Wasana Praja untuk mendewasakan diri dalam rangka menentukan siap tidaknya terjun sebagai pamong pemerintahan dan selebihnya (20%) tetap dikontrol oleh pihak pengasuhan.

 
Hubungan Aspek Pengajaran, Pelatihan dan Pengasuhan

Seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa sistem pendidikan di IPDN menggunakan sistem tritunggal terpusat dimana aspek akademis (cognitive) selama ini tidak menjadi satu-satunya aspek yang dikedepankan dalam rangka mencetak kader aparatur pemerintahan untuk masa depan. Aspek itu juga perlu ditunjang oleh dua aspek lain yang tak kalah penting dan wajib dimiliki oleh setiap praja sebelum terjun ke lapangan, yaitu aspek keterampilan (affective) dan sikap (psychomotoric). Ketiga aspek inilah yang terintegrasi menjadi satu kesatuan sistem pendidikan yang disebut dengan pengajaran-pelatihan-pengasuhan (jar-lat-suh)

Dua aspek yang disebutkan di awal, “jar” dan “lat” merupakan aspek konkret yang didapatkan praja melalui kegiatan belajar mengajar di kelas maupun terjun langsung ke lapangan. Aspek pengajaran akan membentuk pola pikir (mindset) praja yang berpengetahuan luas dan memiliki dasar-dasar hukum serta teori mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Dosen dan mata kuliah yang berkualitas menjadi dua instrumen penting yang menentukan berhasil tidaknya aspek pengajaran yang berlangsung dalam kelas. Sedangkan aspek pelatihan akan melatih praja agar terampil dan cekatan dalam melakukan hal-hal yang bersifat teknis di lapangan. Kegiatan pelatihan lebih didominasi dengan praktek-praktek langsung dilapangan yang secara otomatis menjadi “laboratorium kerja” bagi praja agar segera menyesuaikan dengan dunia pemerintahan.

Tak ada sistem yang sengaja dibentuk tanpa maksud tertentu, aspek pengajaran dan pelatihan akan membimbing praja untuk mendapatkan dua kompetensi sekaligus, yaitu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Dua kompetensi ini berperan penting ketika praja telah siap menjadi kader aparatur pemerintahan di lapangan, selain dituntut mempunyai pengetahuan yang mapan, seorang aparat juga dituntut untuk menguasai berbagai kegiatan teknis yang tentunya berhubungan dengan kegiatan pemerintahan. Lalu di manakah posisi aspek “suh” jika harus disandingkan dengan aspek “jar” dan “lat”? Bukankah cukup dua aspek itu saja sudah dapat membentuk praja berkualitas yang mempunyai kemampuan teoritis, legalistis dan empiris?

Aspek pengasuhan memang aspek yang cukup berbeda dengan dua aspek lainnya. Jika aspek pengajaran dan pelatihan mampu diukur melalui ujian di kelas yang menghasilkan huruf-huruf A untuk sangat baik, B untuk baik, C untuk kurang dan D untuk buruk, tidak demikian dengan aspek pengasuhan. Aspek ini mempunyai indikator yang secara khusus digunakan untuk mengukur sejauh mana seorang praja berhasil mengikuti program pengasuhan, bukan melalui ujian teoritis di kelas atau praktek kerja dilapangan. Praja memperoleh nilai pengasuhannya masing-masing, akan tetapi indikator yang digunakan memerlukan berbagai pertimbangan dalam membentuk aspek sikap (attitude) yang menjadi produk akhir dari program pengasuhan selama ini.

Indikator yang digunakan dalam menentukan nilai pengasuhan sejauh ini tercantum jelas dalam azas-azas pengasuhan pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 157 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengasuhan Praja Lembaga Pendidikan Kedinasan Departemen Dalam Negeri (pasal 4 dan 5). Azas-azas tersebut terdiri dari;

a.       Azas Pembentukan Kepribadian

b.       Azas Pendewasaan

c.       Azas Psikologis Paedagogis

d.       Azas Alih Ajar

e.       Azas Orientasi Masa Depan

f.        Azas Kemantapan

g.       Azas Motivasi

h.       Azas Perkembangan Individu

i.        Azas Profesionalisme

Kesembilan azas di atas seharusnya menjadi dasar bagi pola pengasuhan praja dalam menjalankan berbagai programnya. Berikut diuraikan secara jelas hal apa saja yang harus dilandasi oleh kesembilan azas di atas.

Azas pembentukan kepribadian sebagaimana dimaksud merupakan dasar bagi pengasuhan praja untuk memperhatikan kepribadian sebagai totalitas aspek psiko dan fisik yang tidak terpisahkan. Pengisian dan pembinaan moral juga harus dilakukan sebagai landasan pembentukan watak dan mental. Selain itu pengembangan watak intelektual dan kesamaptaan juga menjadi pelengkap dalam pemebentukan kepribadian ini. Dan yang terakhir adalah pola pengembangan kepribadian untuk mencapai pamong praja yang profesional merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai melalui azas ini.

Azas pendewasaan mendasari pengasuhan praja yang dilaksanakan dengan memperhatikan kedewasaan dalam menyerap nilai‑nilai kepamongprajaan. Selanjutnya azas psikologis paedagogis akan mendasari pengasuhan Praja yang dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa Praja masih memerlukan bimbingan dalam penanaman, penumbuhan, pemantapan dan pendewasaan. Azas aIih ajar juga menjadi pelengkap untuk mendasari pengasuhan praja yang dilaksanakan dengan memperhatikan faktor yang mempengaruhi alih ajar yang meliputi kapasitas dasar individu (daya pikir), sifat mata ajaran serta sikap usaha individu.

Selain keempat azas di atas, azas orientasi masa depan juga akan mendasari pengasuhan yang dilaksanakan dengan mengarahkan praja agar dapat mengatasi masalah‑masalah yang timbul sebagai dampak kemajuan teknologi informasi, dinamika masyarakat, lingkungan strategis dan perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan tugas pemerintahan dalam negeri dan pemerintahan daerah. Azas kemantapan mendasari pengasuhan praja yang dilaksanakan dengan mengandalkan kemantapan rasionalitas dan nurani praja untuk mewujudkan kepercayaan diri sendiri.

Azas motivasi mendasari pengasuhan yang dilaksanakan untuk menumbuhkan motivasi yang dapat rnembangkitkan kebutuhan untuk mencapai hasil pendidikan yang maksimal. Azas perkembangan individu mendasari pengasuhan yang diarahkan untuk memajukan kepribadian, intelektualitas, jasmani dan rohani secara selaras sesuai perkembangan kemampuan praja. Azas profesionalisme mendasari pengasuhan yang diarahkan untuk membangun praja memiliki kemampuan, keahlian dan nilai‑nilai sebagai kader pemerintahan yang handal.

Kesembilan azas di atas semakin memperjelas bahwa pada dasarnya aspek pengasuhan menjadi pelengkap dua aspek sebelumnya. Tanpa pola pengasuhan yang baik, ilmu dan keterampilan yang didapat dari pengajaran dan pelatihan tidak akan berarti apapun karena output kompetensi yang dimiliki praja belum berlandaskan sikap dan kepribadian ideal sosok seorang pamong. Oleh karena itu, konsep jar-lat-suh saling melengkapi satu dengan lainnya sehingga ketiganya akan saling memberikan kontribusi positif untuk membentuk praja yang berpengetahuan luas, terampil dan mempunyai kepribadian teladan sebagai seorang pamong pemerintahan.

Penerapan Nilai Asta Brata dalam Pola Pengasuhan di IPDN

Memahami bahwa aspek pengasuhan merupakan aspek yang  berbeda dibanding dua aspek sebelumnya, maka cara penentuan polanya pun sangat berbeda. Keberhasilan program pengasuhan tidak dapat diukur dengan menggunakan simbol-simbol abjad yang mengintepretasikan rentang nilai yang dicapai praja. Pengasuhan harus mempunyai pola khusus yang unique dan berbeda dengan aspek “jar” dan “lat”. Pola inilah yang nantinya akan menjadi masterpiece dari desain pola pengasuhan IPDN ke depannya.

Mari kita awali penentuan pola ini dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut : Dapatkah kita memastikan bahwa praja yang selalu mengikuti apel adalah praja yang baik sikapnya? Atau praja yang sering datang ke menza mempunyai perilaku yang santun? Atau bahkan praja yang tidak pernah absen aerobik pagi layak diberikan nilai pengasuhan yang tinggi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya memberikan gambaran awal pada kita bahwa baik tidaknya nilai pengasuhan seorang praja tidak dapat hanya ditentukan dengan formalitas absensi (kehadiran) belaka (aspek procedural administrative). Selama ini pola pengasuhan yang kita jalani hanya menerapkan sistem absensi yang mengedepankan aspek kuantitas kehadiran semacam itu, walaupun ada pengembangan ke arah kualitas (substantive), mungkin hanya sedikit intensitasnya. Nilai pengasuhan kita hanya diukur dengan seberapa sering praja mengikuti apel, seberapa sering praja tidak mengikuti upacara makan, atau seberapa sering praja mengaku “sakit” agar dibebaskan dari rutinitas kegiatan. Belum ada pola pengasuhan khusus yang dapat menumbuhkan sikap kedewasaan serta kematangan berpikir dan bertindak bagi praja.

Untuk itu kita akan membahas bagaimana sebenarnya pola pengasuhan ideal yang harus diterapkan pada praja agar aspek ini tidak berjalan sebagai formalitas belaka, akan tetapi benar-benar dapat membentuk sikap dan kepribadian praja yang baik. Pola ini sebenarnya sudah diterapkan sejak IPDN masih bernama STPDN dulu, namun lambat laun pola ini semakin dilupakan dan ditinggalkan hingga akhirnya tim penulis berusaha menghidupkannya kembali melalui makalah singkat ini.

Asta Brata merupakan delapan konsep ajaran kepemimpinan atau leadership dalam sejarah Jawa kuno. Dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia, Asta Brata secara etimologis terdiri dari dua suku kata yaitu : asta berarti 8 (delapan), sedangkan brata (atau ejaan yang dipersamakan beratha, bratha dan berata) adalah sikap atau laku. Jadi "Asta Brata" merupakan 8 (delapan) ajaran, filsafat atau ilmu kepemimpinan yang mulia dari warisan tanah Nusantara dan dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas diri sebagai seorang pemimpin. Kedelapan nilai kepemimpinan tersebut terdiri dari :

1. Surya atau mentari

Dia memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Analogi ini mengharapkan seorang pamong praja untuk mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyat yang dipimpinnya untuk membangun bangsa dan negara, dengan memberikan bekal lahir dan bathin untuk dapat berkarya secara maksimal menurut swadharma atau bidang tugasnya masing-masing.

2. Candra atau rembulan

Memancarkan sinar di kegelapan malam. Cahaya rembulan yang lembut akan mampu menumbuhkan semangat dan harapan di tengah kegelapan. Seorang pamong praja hendaknya mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, walau dalam kelamnya duka karena bencana.

3. Kartika atau bintang

Memberikan sinar indah kemilau, jauh di langit, sehingga dapat menjadi petunjuk arah bagi yang memerlukan. Seorang pamong praja harus mampu menjadi teladan untuk berbuat kebaikan. Tak pernah ragu menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.

4. Angkasa atau langit

Luas tak terbatas, sehingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya memiliki keluasan bathin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung aspirasi atau pendapat rakyatnya yang beraneka ragam.

5. Bayu atau angin

Selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang kosong. Seorang pamong praja hendaknya dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bisa mengetahui keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat.

6. Samodra atau lautan

Betapapun luasnya samudra, senantiasa mempunyai permukaan yang rata, bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pamong praja hendaknya mampu menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil, bijaksana dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.

7. Agni atau api

Api mempunyai kemampuan untuk membakar habis dan menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pamong praja hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas, tuntas dan tanpa pandang bulu.

8. Pertiwi atau bumi/tanah

Bumi mempunyai sifat kuat sekaligus murah hati. Selalu memberi hasil kepada siapapun yang mau berusaha mengelola dan memeliharanya dengan tekun. Seorang pamong praja hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dari kedelapan ajaran yang diambil dari elemen-elemen alam itulah hendaknya pola pengasuhan dapat diarahkan. Kepemimpinan Asta Brata tersebut hendaknya sudah mulai diperkenalkan sejak masa Muda Praja, ditumbuhkan saat Madya Praja, dan dimatangkan saat masa Nindya dan Wasana Praja. Indoktrinasi tentang gaya kepemimpinan ini harus disampaikan pada setiap kali kesempatan apel secara berkesinambungan. Bila perlu harus diadakan seminar-seminar khusus yang membahas tentang gaya kepemimpinan Asta Brata, hal ini dimaksudkan agar praja sangat memahami akan gaya kepemimpinan dan mulai membiasakan diri untuk mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jika pihak pengasuhan dapat secara baik memberikan pemahaman ajaran Asta Brata bagi setiap praja, maka diyakini pola pengasuhan IPDN ke depan akan lebih baik dari sekarang. Pola pengasuhan ke depan harus mengurangi hal-hal yang bersifat formalitas belaka, sudah saatnya pola pengasuhan berubah ke arah yang lebih mengedepankan aspek pendewasaan praja di mana fungsi kata “asuh” benar-benar dapat dijalankan. Tapi diakui bahwa Asta Brata hanyalah nilai kepemimpinan ideal yang tak lebih dari sarana indoktrinasi untuk mendewasakan sikap dan perilaku praja, butuh komitmen dan kerja keras untuk mewujudkan agar ajaran ini dapat diterapkan secara optimal pada pola pengasuhan praja IPDN.

 

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan untuk menjawab masalah awal.

1.     Pola pengasuhan praja sebenarnya dapat dianalogikan sebagai fase pertumbuhan bagi tanaman untuk berkembang menjadi dewasa. Fase-fase tersebut terdiri dari masa penanaman, masa pertumbuhan, masa pengembangan, dan masa pendewasaan. Keempat fase tersebut mempunyai karakteristik dan ciri khas masing-masing yang tidak boleh diperlakukan sama antara fase satu dengan lainnya;

2.     Aspek pengajaran dan pelatihan lebih mengarah pada eksistensi praja untuk menguasai kemampuan dalam hal pengetahuan dan keterampilan. Ada aspek lain yang juga menjadi kunci keberhasilan praja untuk menjadi pamong pemerintahan yang berkepribadian baik. Kunci itulah yang disebut sebagai aspek pengasuhan di mana kedudukannya harus berjalan sinergi dengan aspek pengajaran maupun pelatihan.

3.     Ajaran mengenai kepemimpinan Asta Brata yang merupakan jawaban dari penerapan pola pengasuhan ideal bagi IPDN di masa depan. Hal ini disebabkan karena pada gaya kepemimpinan ini manusia dituntut untuk memahami sifat dan belajar dari elemen-eleman alam yang ada di sekitar kita untuk membentuk karakter kepribadian yang santun, berani, bijak dan adil.

 
Saran

          Perlunya IPDN untuk lebih peka dan serius dalam menangani permasalahan pengasuhan yang belum memberikan kontribusi maksimal bagi pembentukan kepribadian praja yang baik. Semakin tinggi tingkatan semakin rendah pendekatan pola pengasuhan, pada saat yang sama semakin tinggi pendekatan intelektualitas dan pelatihan. Untuk itu, dibutuhkan komitmen dari pimpinan lembaga yang kuat untuk mengubah semua varibel kepemimpinan diatas menjadi indikator yang lebih membumi bagi penilaian kehidupan praja sehari-hari. Dengan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan Asta Brata, kita percaya bahwa IPDN masa depan akan mampu mencetak praja-praja yang mempunyai brilliant knowledge, nice skill, and good attitude.




[1] Makalah pendek ini disampaikan kepada Rektor sebagai pokok-pokok pikiran dalam memformat ulang pola pengasuhan IPDN tahun 2013.
[2] Direktur Pusat Kajian Strategik Pemerintahan Jakarta, Ketua Pusat Kajian Desentralisasi Fordok, Ketua Departemen Kajian Strategis IKPTK, Ketua Departemen Litbang MIPI, Ketua Plato’s Club Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian