Penguatan Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah, Mungkinkah?
Oleh. Dr. Muhadam Labolo[1]
Persapaan
Hampir empat periode pemilu Indonesia sejak
tahun 1999, salah satu lembaga tinggi negara yang masih diragukan peran dan
fungsinya dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita adalah Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). DPD adalah produk perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem
bikameral selain DPR dalam kesatuan wadah MPR RI. DPD dianggap sebagai
representasi wilayah dari seluruh provinsi, apakah berpenghuni atau kosong,
atau apakah penduduknya banyak maupun sedikit. Pendek kata ia mewakili ruang,
territorial, wilayah dan spasial dalam gugusan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Lahirnya pemikiran DPD pada awalnya adalah upaya untuk menguatkan
peran utusan golongan yang diangkat (political
appointed) selama masa orde baru namun relatif tak memiliki signifikansi
dalam mengartikulasikan kepentingan wilayah. Ini berbeda dengan eksistensi DPR
yang dipilih secara langsung lewat pemilu sehingga dipandang mewakili rakyat
secara luas (public elected system).
Secara historis, Indonesia
pernah mencoba menerapkan sistem bikameral pada tahun 1950. Namun demikian
penerapan sistem bikameral tampaknya tak sejalan dengan spirit konstitusi,
selain realitas politik yang tak menguntungkan penguasa pada masa itu. Secara praktikum, sistem bikameral pada
umumnya diterapkan dalam negara berbentuk federal sebagaimana Amerika Serikat.
Sebaliknya, negara-negara berbentuk kesatuan seperti Indonesia cenderung
menerapkan sistem unikameral. Salah satu keuntungan menerapkan sistem bikameral
adalah terciptanya chek and balance
system, dimana ada pengendali terhadap kamar yang satu oleh yang lain.
Ketegangan antar kamar dalam pengampilan keputusan, misalnya antara House of Lord (majelis tinggi) dengan House of Common (majelis rendah)
setidaknya secara politik memberi peluang bagi pemerintah berkuasa untuk
mengambil posisi yang paling menguntungkan. Disini dapat terjadi saling
mengendalikan untuk memenangkan kepentingan politik yang diinginkan. Pemerintah
dapat didukung oleh majelis tinggi maupun majelis rendah dan atau sebaliknya. Sementara
dalam sistem unikameral kita hanya dapat menyaksikan ketegangan kreatif antara
eksekutif dan legislatif secara diametral.
Peran dan fungsi majelis
tinggi di sejumlah negara pada dasarnya sepadan dengan peran dan fungsi majelis
rendah. Selain itu isi majelis tinggi dan majelis rendah yang diangkat dan dipilih
seringkali juga bertukar. Lazimnya isi majelis tinggi adalah representasi
sekelompok orang yang diangkat dari kelompok masyarakat tertentu, perwakilan
istana dan bangsawan. Tetapi terdapat pula sebaliknya, majelis rendah adalah
kumpulan perwakilan istana, bangsawan dan masyarakat tertentu. Hanya saja,
secara umum kedua kamar dalam istilah bikameral sistem memiliki peran dang
fungsi yang setaraf untuk saling menguatkan atau melemahkan. Semua bergantung
pada kepentingan partai politik, masyarakat dan pemerintah berkuasa.
Dalam konteks Indonesia,
jika kita benar-benar percaya bahwa sistem bikameral mampu menjawab kelemahan
sistem unikameral yang hanya menjadikan utusan golongan sebagai asesoris
politik belaka, maka pertanyaan penting yang perlu kita diskusikan hari ini
adalah mengapa peran dan fungsi DPD RI pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang
memberi sejumlah kewenangan tambahan tak menunjukkan signifikansi sebagaimana lemahnya
peran dan fungsi utusan golongan dalam sistem unikameral dimasa orde baru?
Apabila secara yuridis DPD telah memiliki kewenangan yang memadai, lalu adakah
problem lain yang tetap melemahkan institusi tersebut dibanding DPR RI? Kalau
iya, bagaimana upaya kita menguatkan eksistensi DPD RI? Atau mestikah kita
kembali kedalam sistem unikameral sebagaimana pernah kita praktekan dalam
negara kesatuan?
Sistem Bikameral,
Konsep dan Praktek di Berbagai Negara
Konsep sistem bicameral secara teoritik
merupakan konsep yang masih dalam tahap pencarian (Smith:2003). Apapun sistem
yang digunakan pada dasarnya memiliki kelebihan dan kelemahan. Salah satu
kelebihannya ialah dapat menciptakan mekanisme chek and balance system seperti dikatakan oleh Patterson dan Mughan
(1999). Sekalipun sistem bikameral dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan
konflik antara majelis tinggi dan majelis rendah, namun sejumlah kecurigaan
seperti institusi yang efektif memperkuat kekuasaan liberalisme pasar (Vatter:2005)
sulit dhindari, selain dipandang dapat menjadi penghambat demokrasi sosial
serta intervensi pemerintah dalam mewujudkan welfare state. Dalam perspektif teori redundancy, sistem bicameral merupakan sistem kelembagaan politik
yang berlapis dan saling menguatkan. Berlapis bermakna bahwa jika satu komponen
kurang berfungsi, maka komponen lain dapat menjalankan fungsinya sehingga
sistem tetap dapat berjalan dengan normal. Saling menguatkan karena satu
subsistem dapat menguatkan atau bersikap independen terhadap subsistem yang
lain (Mandan,2008). Dalam kasus di Perancis pada tahun 1970-an, Majelis Tinggi
dapat menjadi penentu atas kebuntuan politik antara Presiden Giscard dan
Majelis Rendah. Pada kasus ini peran sistem bicameral setidak menjadi faktor
pengendali serta mengurangi cost eksternal dalam ketegangan politik sebagaimana
dikatakan Levmore (1992). Teori kedua yang menjadi argumentasi pentingnya
sistem bicameral adalah perlunya perluasan representation
(keterwakilan), dimana partisipasi public dalam politik tidaklah sekedar
mewakili populasi namun dapat diperluas melalui territorial. Mekanismenya dapat
diangkat maupun dipilih dari kelompok tertentu seperti keturunan, agama,
budaya, ekonomi, bahasa, hingga pertimbangan minoritas yang disepakati lewat
konstitusi.
Praktek
sistem bikameral (bicameral system) adalah praktek penyelenggaraan pemerintahan
nasional melalui dua kamar legislative atau parlemen. Dua negara penting yang selalu menjadi
rujukan adalah Inggris dengan model house
of lord (majelis tinggi) dan house of
common (majelis rendah) serta Amerika Serikat yang menggunakan istilah
Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.[2]
Bentuk sistem bikameral seringkali dikaitkan dengan struktur politik federal
dan kebangsawanan. Dalam kaitan dengan bentuk federal dapat dilihat prakteknya
seperti USA, Australia, India, Brazil, Swiss dan Jerman. Sedangkan sistem
bikameral berbasis kebangsawanan dapat dilihat prakteknya di Inggris (hereditary peers) dan Jepang (house of peers).[3] Sekalipun demikian, praktek sistem unikameral
secara faktual jauh lebih banyak diadopsi khususnya pada negara berbentuk
kesatuan. Catatan International
Parliamentary Union (IPU) setidaknya menunjukkan bahwa terdapat 122 negara
menerapkan sistem unikameral dimana sebagian besar pada negara berbentuk
kesatuan, dan 62 negara menggunakan sistem bikameral termasuk Indonesia.
Gambaran ini jelas berbeda jika disandingkan dengan kesimpulan IDEA sebagaimana
dikutip Kartasasmita (2006), bahwa dari 54 negara berbentuk perwakilan
demokrasi, 32 negara memilih sistem bicameral, sisanya 22 negara memilih sistem
unicameral. Ini berarti negara demokrasi mayoritas menggunakan sistem
bicameral. Kesimpulan kedua menunjukkan bahwa semua negara federal memilih sistem
dua kamar (bicameral system), sedangkan negara kesatuan terbagi antara memilih
sistem bicameral dan unicameral. Kesimpulan lain menunjukkan bahwa semua negara
demokrasi dengan populasi besar kecuali Bangladesh memilih sistem bikameral.
Sementara semua negara demokrasi dengan wilayah luas kecuali Mozambique memilih
sistem bicameral. Penilaian terakhir IDEA dari aspek sistem pemerintahan
menunjukkan pula bahwa dari 10 negara yang menganut sistem presidensial, 8
diantaranya menerapkan sistem bicameral kuat. Jika melihat gambaran tersebut
dapat dimaklumi mengapa desainer konstitusi memilih sistem bikameral di
Indonesia, karena selain pertimbangan jumlah penduduk, luas wilayah juga
terdapat kemiripan sistem presidensial sebagaimana mayoritas negara yang
memilih sistem bikameral di dunia.
Patut diingat pula bahwa praktek
penyelenggaraan pemerintahan dengan menggunakan sistem bicameral secara
efisiensi dan efektivitas merupakan persoalan tersendiri, dimana penggunaan
sistem dua kamar setidaknya telah membawa konsekuensi bagi keuangan negara yang
sedemikian besar dengan hasil yang tak berimbang (non effektive). Kondisi ini membuat negara-negara seperti Selandia
Baru, Denmark dan Swedia kembali menerapkan sistem unikameral. Ini jelas
berbalik dengan kondisi di Indonesia dan commoros. Sekalipun demikian terdapat
mekanisme untuk menyelesaikan perselisihan antara majelis tinggi dan majelis
rendah melalui conference committee
sehingga kelemahan sistem bikameral dapat diatasi.
Dari
aspek kewenangan, negara-negara yang memberikan kewenangan yang sama antara
majelis tinggi dan majelis rendah dapat dikatakan memiliki sistem bikameral
kuat. Sebaliknya, negara-negara yang
memberikan kewenangan berbeda sehingga melemahkan satu dari yang lain dapat
dikatakan memiliki sistem bikameral lemah.[4]
Terlepas dari itu, penilaian kuat-lemahnya sistem bikameral juga ditentukan
oleh komposisi, persyaratan calon dan mekanisme pemilihan (Lijphart:1984). Hal
ini dapat dilihat dalam praktek di Jerman, Kanada, India dan Malaysia.
Potret DPD RI,
Sejarah, Landasan Konstitusional dan Penerapannya
Secara historis praktek
sistem bikameral bukanlah hal baru ketika bentuk negara Indonesia berwujud
federal (Januari-Agustus 1950). Sistem bikameral pada masa itu terdiri dari
Senat dan DPR RIS. Tingginya dinamika politik internal serta kuatnya pengaruh
Belanda dalam mengendalikan kepentingan di daerah jajahan mengakibatkan
Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1950 untuk kembali kedalam konstitusi lama
(UUD 1945), dimana MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat dan pemegang
kedaulatan tertinggi yang berhak memberikan mandat kepada presiden untuk
menjalankan kewajibannya. Keputusan ini secara langsung mengembalikan sistem
bikameral kedalam sistem unikameral sebagaimana dipraktekan pasca kemerdekaan
1945. Jika dibandingkan dengan negara lain, lahirnya sistem bikameral (baca:DPD
RI) pasca runtuhnya orde baru lebih disebabkan oleh tuntutan reformasi yang
memaksa para elite melakukan amandemen konstitusi hingga keempat kalinya.
Tuntutan tersebut lahir karena orde baru dinilai gagal menciptakan mekanisme chek and balance system lewat sistem
unikameral. Dapatlah dimaklumi mengapa akar sistem bikameral Indonesia tidaklah
sekuat negara seperti Amerika dan Inggris, dimana perimbangan representasi
politik di desain sedemikian rupa antara mereka yang dipilih langsung (majelis
rendah) dan mereka yang diangkat langsung (majelis tinggi). Majelis tinggi yang
setaraf dengan DPD di Indonesia merupakan representasi kelompok masyarakat
tertentu seperti kaum bangsawasan, kerajaan, hingga kelas dalam masyarakat
berlatar agama, suku, budaya, bahasa dan ekonomi. Sementara anggota DPD RI
dapat berasal dari kelompok mana saja yang belum tentu mewakili perbedaan
dimaksud, kecuali atas keinginan individu guna mewakili wilayah tertentu lewat
pemenuhan sejumlah persyaratan keterwakilan administratif. Hal ini cukup
berbeda dimasa lampau, dimana keanggotaan masyarakat tertentu cukup terakomodir
dalam sistem unikameral (MPR RI).
Selain faktor kebangsawanan
yang menjadi tradisi turun-temurun untuk memberikan perlakuan khusus bagi
kelompok masyarakat tertentu, praktek bikameral juga berhubungan dengan bentuk
negara yang dianut, yaitu sistem federal. Negara seperti Amerika Serikat menerapkan
sistem bikameral untuk memberikan perluasan partisipasi pada negara bagian. Kondisi ini jelas berbeda dengan Indonesia,
dimana sekalipun tak berbentuk federal, namun praktek penyelenggaraan
pemerintahan menggunakan sistem bikameral. Jadi, dari aspek latar belakang
historis sebenarnya akar sistem bikameral Indonesia tidaklah kuat dan sama
dengan negara-negara di Amerika dan sebagian Eropa yang tetap memberikan
perlakuan khusus bagi bangsawan dan kelompok istana. Sekali lagi bahwa
penerapan sistem bikameral Indonesia lebih didorong oleh keraguan atas sistem
unikameral peninggalan orde baru, serta lahirnya tuntutan reformasi pada tahun
1998.
Secara konstitusional
menurut Naim (2007), Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen mengatakan
bahwa DPR memiliki hak membentuk undang-undang, sementara DPD dalam pasal 22D
Ayat (1) dan ayat (2) hanya “dapat” mengajukan kepada DPR, dan “ikut” membahas,
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan
Pusat dan Daerah, dsb. Dalam hal pengawasan terhadap kinerja pemerintah di
daerah “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, dan sejumlah lainnya itu. Dengan demikian menurutnya, DPD
bukanlah sebuah lembaga legislatif dalam arti yang sesungguhnya, karena yang
paling esensial dari sebuah lembaga legislatif adalah DPR, dengan seperangkat hak
membentuk undang-undang. DPD menurut Lubis (dalam Naim, 2007), hanyalah bediende, atau sub-ordinate, kepada DPR. Meskipun DPD memiliki hak inisiatif RUU
namun yang memutuskan tetap saja DPR. Nilainya hanyalah sebagai bahan
pertimbangan bagi DPR untuk ditindak lanjuti. Ini adalah karena “DPD tak memiliki
kewenangan membentuk undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden, serta
tidak mempunyai wewenang dalam menetapkan anggaran (APBN).
Catatan Naim (2007)
selanjutnya adalah Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa keanggotaan MPR
terdiri dari “anggota” DPR dan “anggota” DPD, bukan kelembagaan DPR dan DPD.
Karena MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD, maka dengan sendirinya
muncul ketimpangan menyolok yang tidak mungkin diatasi. Dari aspek kuantitas, jumlah
anggota DPR adalah 522 sementara DPD 128, ini berarti DPD kurang dari
sepertiganya. Kondisi ini tak memungkinkan untuk mengajukan agenda pembicaraan
apapun di MPR manakala suara DPD tidak mencapai jumlah sepertiga yang
diperlukan. Sementara untuk dapat bersidang diperlukan kehadiran dua pertiga
anggota MPR, dan untuk memutuskan diperlukan sedikitnya setengah jumlah suara
tambah satu. Ketimpangan tersebut menurutnya tak mungkin terjembatani tanpa
keikutsertaan DPR memberikan dukungan terhadap DPD.
Dari aspek rekrutmen,
pola seleksi anggota DPD sebenarnya memiliki bobot yang tinggi jika dibanding
dengan sejumlah negara sekalipun menjadi contoh paling nyata praktek sistem
bikameral. Sayangnya,
realitas ini tak sepenuhnya disokong oleh landasan konstitusional yang memadai.
Sekalipun beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi memenangkan upaya hukum untuk
memperkuat peran dan fungsi DPD, namun kenyataannya semua harapan masyarakat
dalam kamar tersebut belum memperlihatkan kinerja positif kecuali melakukan
inisiasi terbatas atas sejumlah rancangan undang-undang seperti pemekaran
daerah, otonomi daerah, sumber daya, pendidikan, keuangan, perpajakan,
pengawasan dan pertimbangan BPK.
Sekalipun masa keanggotaan
majelis tinggi relatif berbeda diberbagai negara, kiranya praktek di Indonesia
disamakan untuk menghindari ongkos pemilihan dengan melaksanakan pemilu secara
serentak. Dalam hal kewenangan, terbatasnya kewenangan menjadi sumber masalah krusial
lemahnya DPD dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai bagian dari sistem
bikameral. Idealnya, legitimasi tinggi yang diperoleh setiap anggota DPD
melalui pemilihan langsung merupakan prasyarat bagi peningkatan peran
konstitusionalnya sehingga tak dipandang sebelah mata oleh DPR di Senayan. Dalam
konteks ini sungguh berbeda posisi perwakilan daerah sebagai anggota majelis
tinggi di Kanada, Jerman, India dan Malaysia yang memiliki kewenangan formal
konstitusional tinggi, sekalipun pada kenyataannya hanya melalui proses
pengangkatan oleh pemerintah. Dengan demikian sekalipun keanggotaan DPD
Indonesia dipilih melalui seleksi yang ketat, namun tetap saja sistem
bikameralnya dipandang lemah secara konstitusional. Ini berbeda dengan negara-negara
yang saya sebut terakhir, sekalipun hanya diangkat/ditunjuk oleh penguasa
setempat namun secara konstitusional-formal memiliki kewenangan yang sama
derajatnya dengan majelis rendah pilihan rakyat.
Mengurangi
Problem, Menguatkan Peran dan Fungsi DPD
Dengan memahami problem DPD
selama ini setidaknya kita dpat mengidentifikasi dari aspek latar belakang
sejarah, konstitusi, motivasi terbentuknya, keanggotaan, kewenangan serta hak dan
kewajiban yang mesti diembannya. Pertama, perbedaan historis dan dan motivasi
terbentuknya DPD sangatlah berbeda dibanding sistem bikameral di sejumlah
negara demokratis. Hal ini membuat DPD tak begitu akseptabel bagi masyarakat,
selain keanggotaannya tidak begitu kuat lahir dari masyarakat sebagaimana
berkelas (bangsawan), serta tak inheren dengan struktur politik federal
sebagaimana dipraktekan di Negara barat. Indonesia sendiri adalah negara
demokrasi berbentuk kesatuan. Kedua, sekalipun proses rekrutmen anggota DPD
dilakukan melalui pemilihan sehingga dapat dikatakan berpola sistem bicameral
kuat, namun lemahnya kewenangan DPD dari aspek konstitusional mengakibat
DPD sulit menjalankan fungsi legislasi,
keuangan dan pengawasannya. Tumpulnya fungsi legislasi dapat dilihat dari lemahnya
bargaining fungsi legislasi. Ketiadaan
kewenangan penganggaran membuat DPD tak dapat melakukan banyak hal, apalagi
fungsi pengawasan yang diharapkan selama ini mampu meningkatkan peran dan
fungsi DPD benar-benar jauh dari harapan publik.
Untuk mengurangi problem
sebagaimana disangkakan public atas peran dan fungsi DPD sebagai bagian dari
sistem bicameral lemah, maka pertama, perlunya penguatan eksistensi DPD melalui
re-amandemen UUD 45. Lewat kekuatan konstitusional dalam menjalankan fungsi
dibidang legislasi, keuangan dan pengawasan maka DPD diharapkan mamu
meningkatkan kinerjanya melampaui kegagalan utusan golongan dimasa lampau.
Kedua, perlunya alokasi khusus bagi sekelompok masyarakat lewat proses
pengangkatan (political appointed), sebagaimana pernah dipraktekan dimasa lalu
untuk mengakomodir kelompok minoritas dalam masyarakat. Utusan golongan
berdasarkan kriteria tertentu patut dipikirkan kembali agar nafas dan spirit
UUD 45 tetap terjaga, selain perlunya memberi perluasan partisipasi bagi
kelompok minoritas Betawi dalam keterasingannya pada wilayah seluas DKI Jakarta
misalnya. Tanpa perlakuan khusus semacam itu, maka kelompok-kelompok minoritas
berlatar kesukuan, bahasa, agama, kebudayaan dan ekonomi di Indonesia tak
memiliki tempat mewakili ruang, lantaran tingginya dominasi partai politik
lewat kamar yang lain (DPR RI). Ketiga, perlunya pola rekrutmen yang lebih
jelas bagi anggota DPD sehingga kualitas dan perannya dapat benar-benar
dirasakan masyarakat, bukan berdasarkan tunjuk-menunjuk atau hanya karena
mantan kepala daerah, banyak uang, tokoh populer semacam artis dan pelawak. Ini
tentu saja tak begitu sehat sebagaimana kata Theodore Levitt, bahwa pada
dasarnya orang tidak ingin membeli bor seperempat inci, tetapi mereka ingin
lubang seperempat inci.
Referensi;
Lijphart,
Arend, 1984. Democracies, Pattern of
Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, New haven.
Yale University Press
……………………, 1992.
Parliamentary versus Presidential Governmet, New York.
Oxford University Press.
Kartasasmita,
Ginandjar, 2006. Bikameralisme di
Indonesia, Makalah, DPD RI, Jakarta
Safitri, Ania,
2009. Wajah Parlemen Indonesia,
Unikameral, Bikameral, ataukah Trikameral? Sebuah Analisis Peran Kamar dalam
Sistem Perwakilan Rakyat di Indonesia, Makalah, (di akses tgl 12 Okt 2013).
Mandan, Arief
Mudatsir, 2008. Menilai Sistem Bikameral
Indonesia, Makalah, diakses tgl 12 okt 2013, Jakarta.
Naim, Mochtar,
2007. Indonesia Butuh Sistem Bikameral,
Makalah, diakses tgl 12 okt 2013, Jakarta.
[1]
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Strategik Pemerintahan, Ketua Platos Club,
Kepala Pusat Kajian Desentralisasi pada Forum Doktor IPDN, Ketua Departemen
Kajian Strategik pada MIPI, Kepala Departemen Kajian Pemerintahan pada DPN
IKPTK. Makalah disampaikan dalam diskusi bulanan Platos Club di Hotel 678
Kemang, tgl 13 Oktober 2013, Jakarta.
[2]
Untuk istilah majelis tinggi (kamar kedua) dan majelis rendah (kamar pertama)
memiliki nama yang berbeda-beda seperti di Belanda (erste kamer dan tweede
kamer). Untuk istilah majelis tinggi disebut Dewan Negara (Malaysia), House of
Lord (Inggris), National Council (Afrika Selatan), Bundesrat (Jerman), Rajya
Sabha (India) dan Sanggi-in (Jepang). Majelis Rendah sering disebut house of representative (dipilih),
sedangkan Majelis Tinggi di sebut senat,
senato, senado atau senatuil
(diangkat), lihat Kartasasmita (2006).
[3]
Lihat Wikipedia,di akses, 12 Okt 2013.
[4]
Survei IDEA sebagaimana dikutip Kartasasmita (2006) menunjukkan bahwa negara
demokrasi yang memiliki sistem bikameral kuat dan lemah seimbang (16), hasil
ini belum termasuk Indonesia. Tentu saja jika diperhatikan secara seksama dapat
dikatakan Indonesia adalah negara demokasi dengan sistem bikameral lemah,
sekalipun konstitusi kita telah memberi sedikit banyak peluang untuk memperkuat
kapasitas institusionalnya.
Komentar
Posting Komentar