Politik Otonomi Pasca Omnibus Law
Oleh. Muhadam Labolo Pasca pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja politik otonomi daerah dipertanyakan kembali, paling tidak pada soal keseriusan dan konsistensi segenap stakeholders (Djohan,2020). Kesulitan menjawab pertanyaan semacam itu sebab teknisnya karena ketiadaan draft yang otentik, kekosongan instrumen organiknya, serta terbatasnya sumber primer kecuali saripati power point yang disuguhi di media sosial oleh satu dua pejabat terkait. Dengan epistemologi seadanya, ditambah policy brief kawan-kawan UGM, draft RUU OLCK setebal 905 halaman, serta menyimak dialektika diberbagai kanal, penting untuk mendiskusikan kembali nasib politik otonomi daerah dimasa kini dan akan datang. Dengan begitu seluruh niat baik pemerintah dapat ditangkap sebagai satu peluang, bukan sekedar sikap reaktif yang minim refleksi, atau perilaku narsis sejumlah orang ketimbang perasaan peduli pada masalah-masalah kebangsaan. Secara umum mesti diakui bahwa politik otonomi dalam kerangka omnibus law men