Catatan Pinggir Reuni Jateng

Oleh. Muhadam Labolo


Saya di undang mewakili pengurus. Jauh hari sebelum acara oleh Bu Sumiyati yang lugas dan baik. Undangan resminya oleh Ketua Paguyuban Jateng, Mas Anang yang masih ramping, ramah, rendah hati, serta sabar melayani rekan sejawat.

Tiba di Kota Semarang di jemput beliau dan Mas Wahyono. Mas Hari Susilo telat janjian, protokol acara cukup ketat rupanya. Baru paham jarak antar kota antar kabupaten di Jateng tak begitu jauh. Maksimal 3-4 jam sampai. Jarak ke lokasi reuni cuma 1-2 jam. Tepatnya di pegunungan kota yang indah dan dingin, Hotel Griya Persada.

Kami mampir di restoran favorit selebriti, Ikan Manyung Bu Fat. Untungnya lengang, Mas Anang dan saya menghabiskan dua kepala Ikan Manyung. Mas Wahyono menemani sambil ngobrol ngalor-ngidul agar santapan siang lekas usai. Beberapa peserta telah menanti di pendopo hotel. Telpon Mas Arief Betet dan Paulus berdering.

Di jalan, kami jemput Ariansyah. Dia bermalam di hotel Simpang Lima Semarang. Saya pikir ikut reuni. Rupanya beliau ada urusan dengan LBP. Soal izin atletik tingkat nasional di Jambi. Beliau staf ahli gubernur, merangkap Ketua Panitia HUT RI ke 77 Provinsi Jambi, pengurus IKAPTK, selain ketua asosiasi pedagang kopi nasional. Pendek kata, masih bisa nambah kata Mas Anang.

Mantan asuhan Rene Rinaldi itu super sibuk. Calon kakek kelima di Pasopati. Beliau kontakan dengan Paulus Agung. Eks praja NTT yang telah menjadi Mas-Mas di Kudus. Tukaran dengan Mas Eko Udiyono yang kini balik kampung jadi Sekwan di Kabupaten  Karimunjawa. Sekarang Mas Paulus punya keahlian, tabib alternatif penyakit jantung, stroke, ginjal, saraf terjepit dll.

Empat puluh lima menit kemudian kami sampai. Diarahkan Satpam merangkap room boy ke kamar masing-masing. Suasananya dingin, berbukit-bukit, lengkap dengan kolam renang, bangunan bertingkat, lokasi outbond, teater, aula, dan mushola luas. Pas untuk reuni dan melepas lelah. Saya ambil foto bersama Mas Uwes.

Kami letakkan tas dan bergegas gabung dengan peserta reuni Jateng yang baru tiba di pendopo kecil puncak bukit. Rasanya tak sabar mengenal wajah mereka yang mungkin banyak berubah. Apalagi kalau pakai masker, pasti tak mudah diidentifikasi. Disitu ada Mas Budi, Antin, Rafael, Lina, Yusi, Revon, Agung, Puput, Dwi, Edy, Bambang, Eko Supriyanto, Atun, Dedi, Yadi dll.

Pertemuan sebentar itu penuh teriakan hai. Bisa ditebak pertanyaan pertama, tugas dimana? sebagai apa? Itu lazim untuk usia 40an akhir sebelum masuki 50an. Sebentar lagi pertanyaannya anak berapa? Bahkan sambil bercanda istri berapa? Nggk berani kawin lagi ya? Rame dengan pecahan canda sambil jaim bila kebetulan bawa bojone. Itu menegangkan. Kuatir dievaluasi pasca reuni.

Saya sengaja tak bawa istri setiap reuni. Istri merasa seperti sedang di zolimi bila waktunya ketemuan di sela-sela acara. Beliau merasa tak dipedulikan. Juga tak mengerti apa itu jaga barak, bir estepede en, Menza, siapa itu Neng Lilis, Rene dan Pak In. Tentu saja itu menguntungkan dari sisi sosialita. Saya bisa melepas kangen habis-habisan sampe larut malam. Tanpa teguran dan evaluasi. Bisa langsung tidur tanpa apel malam.

Saya sependapat dengan Mas-Mas yang malu-malu bercerita. Anggota Istiqomah (ikatan suami takut istri kalo di rumah). Lebih baik jangan bawa istri katanya, kecuali dia benar-benar alumni. Sudah cukup di rumah tak merdeka, di kantor tak merdeka, di organisasi juga tak merdeka. Maka reuni kali ini benar-benar harus merdeka, walau hanya semalam. Besok dijajah kembali. Setidaknya, sekali merdeka tetap merdeka, selama hayat masih di kandung badan.

Sebelum maghrib kami bubar. Tak lupa foto icip-icip dilatarbelakangi wayang pendopo. Saya dipaksa duduk ketengah, di jepit Bu Ibu Jateng yang kian bugar. Gaya foto masih tak berubah. Semua melempar senyum sambil mengangkat empat jari. Sesi foto seperti ini selalu penuh kejutan. Dimasuki kawan yang tiba-tiba loncat ke tengah-tengah objek. Menutupi Bu Ibu dan Pak Bapak yang sedari tadi bergaya menahan nafas menyembunyikan hal-hal yang menghasilkan body shiming. 

Pukul delapan malam acara dimulai. Agustining jadi MC. Mas Kurnia di daulat baca doa. Mumpung baru pulang haji, doanya diyakini masih makbul untuk 40 hari pertama. Selebihnya wawlahu alam bissawab  canda kawan disamping. Dengan gaya Kyai NU beliau selesaikan tugas walau mungkin kelupaan kaca mata. Maklum sudah masuki 50an, mata kita mulai rabun. Tapi paling tidak masih bisa membedakan mana istri dan mana bukan mukhrim. Atau mana uang asli dan uang monopoli. Begitu kata Mas Budi di tengah janda dan tawa.

Ketua panitia melaporkan rangkaian kegiatan reuni. Isinya pengecekan sekaligus presensi. Total 103 orang, hadir 76, sisanya sakit, izin, dinas luar, jaga barak, kurvei dan tanpa keterangan. Setidaknya lebih separuh sudah hadir. Artinya sudah quorum. Pak ketua memperkenalkan satu persatu. Masalahnya sama, beberapa lali teman sekontingen. Mas Teguh yang pernah tugas belajar pun lupa. Saya lebih lagi.

Mas Anang tak lupa memperkenalkan jualan Mas Herdian. Sebotol gula jawa dan minyak herbal buat masa depan suami sayang istri. Hasilnya buat kas alumni katanya. Saya jadi serba salah, sebab ramuan herbal itu sudah dua tahun saya gunakan. Saya sempat bisik ke Mas Anang khasiatnya sebelum beliau naik panggung. Rupanya Mas Anang membaginya di depan forum. Saya jadi kambing hitam. Pecahlah tawa, rahasia saya terbongkar di depan peserta reuni. Lucu plus malu-maluin.

Abis acara saya diburu sejumlah peserta. Minta penjelasan lanjutan soal teknis penggunaan herbal itu. Rasanya saya berubah jadi sespri Ma' Erot. Saya alihkan diskusi panjang kali lebar di depan pintu kamar sebelum masuk. Mulai isu sosial, politik dan ekonomi. Pendeknya, semakin larut semakin hangat dengan pengalaman dan narasi masing-masing. Asal nggk tanya soal herbal.

Di atas panggung saya beri sambutan. Rupanya panitia punya kejutan. Semua yang lahir agustus diulangtahunkan malam itu juga. Disuru tiup lilin dan diguyur air persis HUT praja tahun 1992-1995. Dengan sedikit basah saya menjelaskan profile Pasopati sejak 1995 sampai 2022. Isinya distribusi penempatan, wafat, sakit, masa depan, dan perkembangan terbaik di puncak-puncak karier Pasopati yang membanggakan.

Lepas breakfast kami kumpul di arena fun game. Beberapa pamit pulang termasuk Ariansyah dan Mas Hari yang sejak semalam raib duluan. Sisanya menjalani permainan sebanyak tiga sesi. Melatih kepekaan dan kekompakan. Puncaknya mendandani Bu Flo, Mas Edy, dan Mas Anang sebagai raja masing-masing kelompok. Raja-raja itu dibungkus koran bekas. Lucu abis. Apalagi hiasan Mas Anang dikasi telur oleh Mas Bowo. Jadilah raja dengan dua telur bergelantungan.

Kami bubar di ruang makan. Usai lunch semua bergerak ke tempat tugas masing-masing. Sebelum makan siang Mas Puput dan Wibowo diceburkan ke kolam renang. Keduanya basah kuyup. HP Mas bowo ikut tenggelam. Rasanya puas. Puas atas reuni kali ini. Sederhana, singkat namun mengesankan. Trima kasih panitia dan semua anggota Pasopati Jateng. Sampai jumpa di Cilacap selesai Pemilu Serentak oleh Ketua Panpel Mas Dwi Cahyono.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian