Merawat Kebhinekaan di Tengah Realitas Keragaman Indonesia
Oleh. Muhadam Labolo
I
Realitas Kebhinekaan
Realitas kebhinekaan Indonesia adalah sunnatullah. Sunnatullah artinya telah menjadi ketetapan Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa. Menolak perbedaan dapat berarti menolak ketetapanNya (Iskandar, 2021). Pada dasarnya tak ada satupun diantara kita yang dapat memilih akan lahir dimana, berjenis kelamin apa, memiliki ras, golongan dan agama apa sebelum lahir. Kenyataan itu menyadarkan kita tentang pentingnya menghargai perbedaan sebagai karunia Tuhan. Dalam konteks Indonesia, kebhinekaan itu dapat dilihat dari setidaknya suku bangsa, budaya, agama dan bahasa. Ada 1.340 suku bangsa dengan 41% suku Jawa (BPS, 2020), 1.239 budaya tak benda (Kemendikti, 2020), 6 agama yang diakui, serta 718 bahasa (Kemendikti, 2020). Fakta itu di luar 17.000 Pulau, 74.957 Desa, 8.490 Kelurahan, 7.094 Kecamatan, 98 Kota, 416 Kabupaten, dan 34 Provinsi. Perbedaan itu sesungguhnya kekayaan yang seringkali di sebut rahmat. Sebagai negara dengan populasi 271 jt (BPS, 2021), terpadat ke 4 di dunia setelah China, India, dan Amerika, perbedaan tersebut dapat menjadi kekuatan luar biasa jika dikelola dengan sebaik-baiknya. Keanekaragaman hayati, sumber daya dan geografi dapat saling mempertukarkan sehingga kelangkaan yang selama ini menjadi masalah dapat diatasi dengan mudah. Wilayah barat dapat memproduk hasil pertanian, wilayah timur berkontribusi perikanan, wilayah tengah memberikan kayu dan tambang mineral. Perbedaan itu dapat saling menutupi dan mencukupi sehingga tak melulu bergantung ke negara lain. Sebaliknya, perbedaan yang tak dikelola dengan baik dapat menjadi problem akut bagi masa depan bangsa. Uni Soviet adalah contoh negara yang gagal dalam merawat kebhinekaan hingga melahirkan 15 negara pada bulan Desember 1991. Padahal Uni Soviet hanya memiliki 6 bahasa dengan tingkat perbedaan lain yang sangat rendah.
II
Faktor Pengganggu Kebhinekaan
Sejumlah faktor penyebab rusaknya kebhinekaan adalah perbedaan individu dalam masyarakat, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial. Perbedaan kepentingan individu seringkali memicu pecahnya kebhinekaan dari level paling mikro hingga meluas ke ranah antar kampung. Ketersinggungan pada satu individu menjadi masalah keluarga, marga hingga merembes ke perkelahian antar kampung. Gesekan antar dua pemaim sepak bola dapat menghela pendukung fanatik terlibat dalam konflik berskala besar. Perbedaan budaya, dalam hal ini seperangkat nilai yang melekat sejak lahir baik aspek keyakinan transedental (agama) maupun kepercayaan alamiah (budaya setempat) tak jarang menjadi persoalan pelik diberbagai daerah. Malangnya jika kedua aspek tersebut dipolitisasi menjadi komoditi dalam pertarungan politik pemilu dan pilkada. Disini kemudian melahirkan politik identitas. Perbedaan kepentingan politik mendorong aspek agama dan etnik menjadi isu yang paling mencemaskan. Apalagi dengan perubahan sosial yang dipermudah oleh teknologi informasi telah menaikkan konflik brutal dilapangan ke media sosial. Limpahan informasi hoax telah menjejali pikiran setiap pemegang gadget. Bila dulu para pendukung bertemu dilapangan kampanye terbuka, setelah itu kembali kerumah masing-masing, kini basis massa yang direpresentasikan oleh barisan Cebong, Kampret dan Kadrun menguasai media sosial dengan garis demarkasi yang jelas, kamu, kalian, dan kami. Tanpa pengendalian yang jelas secara struktural dan fungsional, ruang yang dinamis itu setiap saat dapat menjadi ancaman bagi kebhinekaan sebagaimana Revolusi Melati di Timur Tengah. Dari konflik laten dapat mewujud terbuka dilapangan (manifest).
III
Pergeseran Makna Agama dan Etnik
Fenomena agama dan etnik sebagai sebab
determinan bagi ancaman kebhinekaan dapat dikonfirmasi lewat sejarah. Kita bisa
lihat konflik bertema agama di Eropa, Sudan, Thailand, Vietnam, India, dan
China. Walau realitasnya ditutupi, namun secara kualitatif sentiment agama
selalu menjadi sebab yang bahkan menemukan klimaksnya ketika dipolitisasi.
Demikian pula bila kita lihat konflik berbasis ras sebagaimana diperagakan
Hitler dengan Nazinya terhadap kaum Yahudi. Fenomena tersebut adalah masa kelam
yang perlu menjadi pelajaran guna membangun perdamaian abadi di atas
kebhinekaan. Di era goegle saat ini sebuah riset terhadap agama dalam
hubungannya dengan tiga kecenderungan yaitu negara negara
dengan tingkat kebahagiaannya tinggi (World Happines Index), paling
bersih korupsi (Corruption Perception Index), dan kualitas pembangunan
manusianya paling tinggi (Human Development Index), mengalami pergeseran
cukup signifikan. Hasil penelitian Denny JA itu juga mencengangkan. Negara-negara
tertinggi dari ketiga variable di atas mayoritas warganya tidak menganggap
agama penting bagi hidupnya (New Zealand, Denmark, Finlandia, Singapura,
Switzerland, Swedia, Norwegia, Belanda, Luxemburgh & Jerman). Satu-satunya yang
masih tinggi tingkat kepercayaan pada agama hanya Singapura (70%). Sebaliknya,
negara dengan mayoritas warganya menganggap agama itu penting, tingkat
kebahagiaan penduduk, tingkat kebersihan pemerintahannya dari korupsi, dan
kualitas pembangunan manusia hanya berada di papan tengah hingga di bawah rata-rata
(India, Philipina, Arab Saudi, Thailand, & Indonesia). Rata berada di atas
90% percaya bahwa agama masih penting dalam kehidupan. Dari 179 negara yang di
survei, 5 negara tersebut hanya berada pada ranking 51-113). Intropeksinya
bahwa agama belum dijadikan praktek kebaikan yang bersifat universal, kecuali
terjebak pada ritualitas semata.
Bagaimana dengan isu etnik seperti putra asli di sebuah tempat? Beberapa warga Indonesia melakukan tes DNA untuk mengetahui asal usul mereka, namun justru membuat mereka berpikir ulang tentang arti kebangsaan. Pendiri Narasi TV, Najwa Shihab melakukan tes DNA dua tahun lalu sebagai salah satu relawan dalam program bertajuk 'Asal-usul orang Indonesia' yang digagas oleh pemerintah, majalah sejarah Historia dan Eijkman Institute. Hasilnya mengejutkan, karena gen Timur Tengah yang ia yakini lebih banyak justru kalah dengan gen China. Tes DNA menunjukkan ada 10 percampuran leluhur dalam DNA-nya. Menurut hasil riset DNA, dalam tubuh Najwa antara lain ada 48,54 persen gen dari Asia Selatan (India, Bangladesh,Tamil, Nepal) dan 26,81 persen gen dari Afrika Utara (Afrika Utara-Spanyol, Alegrian, Maroko, Berbes). Selain itu, Najwa juga mempunyai 6,06 persen gen dari Afrika (Mozambik); 4,19 persen gen Asia Timur (Tiongkok); 4,15 persen gen dari diaspora Afrika; 3,48 persen gen dari Timur Tengah (Arab); 2,20 persen gen dari Eropa Selatan (Portugis); 1,91 persen gen dari Eropa Utara (Dorset); 1,43 persen gen dari diaspora Asia (Asia-Amerika); dan 1,22 persen gen dari diaspora Eropa (Puerto Rico).
Terlepas dari dua hasil riset itu, isu agama dan etnik tak mungkin akan mati. Agama bahkan memiliki lebih dari seribu nyawa yang tumbuh dan berkembang dari dulu hingga kapanpun. Demikian pula klaim etnik, bagaimanapun etnik tetap akan tumbuh secara sosiologis guna memelihara kebudayaan yang menjadi ciri satu komunitas. Yang paling penting bagi kita adalah bagaimana memanfaatkan agama dan etnik bagi kepentingan kemanusiaan sehingga tujuan keduanya dapat bermanfaat secara vertikal dan horisontal.
IV
Dampak Politik Identitas
Dewasa ini, agama dan etnik tak jarang hanya dieksploitasi bagi kepentingan politik dan ekonomi berbasis komunal. Secara teoritik politik identitas tak hanya melahirkan pembelahan semisal Cebong dan Kampret. Dalam faktanya, fanatisme yang bersifat hiperpolitik seringkali mendorong tingkat partisipasi politik melonjak lewat kandidat yang berhadapan dalam kontestasi pemilu. Menurut Caplan (2008), pemilu yang semata ditentukan oleh pemilih rasional adalah mitos.[3] Kemungkinan meningkatnya politik identitas didorong oleh militansi untuk turun kelapangan. Dalam kasus Indonesia, pasca pemilu 1999 dengan angka partisipasi politik mencapai 92,7%, tiga pemilu berikutnya mengalami penurunan drastis hingga mencapai titik terendah 70,90%. Angka partisipasi politik itu melonjak di pemilu 2019 mencapai 81%. Salah satu sebab menurut hipotesis sebagian pengamat disebabkan oleh meningkatnya militansi para pendukung yang melahirkan barisan Cebongers versus Kampreters. Menurut Amy Gutmann (2011), tingkat keadaban politik identitas dapat ditoleransi sejauh masih berada pada level good dan bad, dan bukan pada ugly. Ciri pertama setidaknya menyediakan nilai solidaritas dalam membangun kewargaan dan melawan diskriminasi kelompok tanpa mempromosikan supremasi kelompok sendiri. Ciri kedua tidak secara aktif mempromosikan kesadaran publik dan minimal tidak mengancam demokrasi dengan mempromosikan permusuhan dan melegitimasi kekerasan kelompok antar identitas. Sedangkan ciri ketiga adalah mempromosikan nilai yang mengutamakan supremasi kelompok sendiri, mengkampanyekan diskriminasi, menekankan cara pandang antagonistis, serta melegitimasi kekerasan.
V
Faktor Kesuburan Radikalisme
Sejumlah faktor yang memicu radikalisme dalam arti luas (agama dan etnik) antara lain kesehatan mental psikologis, ketimpangan ekonomi, sosial politik, emosi religious, dan kebijakan pemerintah. Kesehatan mental psikologis adalah radikalisme yang muncul sebagai produk psikologis dari jiwa yang rentan ketika dia mencoba menemukan dan menegaskan identitasnya. Ketimpangan ekonomi mendorong munculnya radikalisme akibat ketidakadilan dan ekonomi. Ketimpangan semacam ini dialami oleh individu untuk memerangi secara sistematis ketidakadilan, mulai dari ideologi hingga aspek teologis. Pada aspek sosial politik radikalisme muncul sebagai respon terhadap kondisi sosial-kondisi politik yang cenderung memecah belah kehidupan masyarakat. Sedangkan radikalisme akibat emosi religius muncul disebabkan interpretasi agama yang mendorong individu untuk melihat kesenjangan antara idealisme dan norma agama serta realitas rakyat. Sementara radikalisme akibat kebijakan pemerintah muncul sebagai respon masyarakat karena tidak mengacu pada nilai-nilai agama dan norma yang ada (Hadiyanto dkk, 2021).[4]
VI
Strategi Merawat Kebhinekaan
Kunci merawat kebhinekaan dapat dilakukan melalui strategi domestik, institusi Pendidikan dan civil society, serta pemerintah. Strategi pertama dengan mendorong pelibatan peran keluarga dalam mengembangkan pergaulan inklusif anak sejak dini. Anak perlu diajarkan mengenal perbedaan dalam arti luas, apakah itu perbedaan jenis kelamin, ras, agama, golongan, bahasa dan budaya. Dengan pengenalan ini anak akan tumbuh dengan kebiasaan menerima perbedaan tanpa merasa sebagai kelompok minoritas. Kedua, peran institusi pendidikan dan civil society sangat penting lewat pengembangan kurikulum multikulturalisme. Tujuan pendidikan multikultural untuk menjelaskan pentingnya menjaga nilai-nilai keberagaman yang ada di Indonesia serta menegakkan sikap toleransi. Sedangkan peran pemerintah sebagai pengendali regulasi berkaitan dengan menjaga tegaknya konstitusi dan hukum selain mengembangkan program dan kegiatan kearah perawatan kebhinekaan. Ketegasan Pemerintah dan DPR dalam penanganan tindak kekerasan dan anarkisme dengan memanfaatkan keseimbangan antara kebebasan dan kepentingan untuk melindungi keamanan bangsa dan negara, dukungan politik agar aparat keamanan mengambil tindakan terhadap radikalisme. Selain itu, perlu untuk menaikkan kesadaran para pemimpin bangsa, pemerintah, pemuka agama moderat tentang ancaman radikalisme, diikuti dengan sinergi antara mereka dan aparat penegak hukum untuk merespon radikalisme
VII
Epilog; Perlunya Integritas Manusia Indonesia
Bagian terakhir dari upaya merawat kebhinekaan adalah menumbuhkan sikap integritas sebagai reflekasi dari Pancasila. Tidak ada kemajuan suatu bangsa kecuali dimulai dengan membangun integritas. Integritas melingkupi nilai kejujuran, kedisiplinan, tanggungjawab komitmen, dan berkualitas. Sepuluh negara terbaik dari aspek pemerintahan yang bersih, sumber daya manusia yang tinggi, serta tingkat kebahagiaan yang relative baik dikontribusikan oleh nilai integritas. Sejumlah riset menunjukkan bahwa eksistensi, kekayaan dan perbedaan ras suatu bangsa bukanlah faktor penentu kemajuan, kecuali nilai integritas itu sendiri. India dan Mesir telah eksis lebih dari 2000 tahun, namun negara tersebut tak lebih maju dibanding Singapura, Kanada dan New Zealand yang baru eksis lebih dari 150 tahun. Swiss hanya mempunyai 11% lahan yang dapat dikelola untuk cokelat dan peternakan, sedangkan Jepang memiliki 80% pegunungan yang tak menjamin pertanian dan peternakan namun keduanya menjadi negara pengeksport cokelat terbesar selain negara raksasa ekonomi di dunia. Perbedaan ras juga bukan penyebab kemajuan suatu bangsa, sebab Jepang adalah bangsa yang awalnya pendek, pemarah dan terisolasi kini menjadi sebaliknya. Demikian pula Australia yang awalnya dihuni oleh kaum imigran narapidana asal eropa, kini menjadi sebuah negara yang diperhitungkan.
Sebuah
buku berjudul You & Your Family oleh Dr. Tim Lahaye mendeskripsikan
silsilah dan pengaruh integritas pada sebuah keluarga. Dia meneliti dua
keluarga yang pernah hidup dengan dua nilai yang berbeda. Jonathan Edward yang
sholeh menikah dengan seorang wanita baik-baik melahirkan 729 keturunan. Dari
jumlah tersebut terdistribusi menjadi 300 pengkhotbah, 13 penulis, 65 profesor
di perguruan tinggi, 3 pejabat pemerintah, dan 1 pernah menjadi wakil presiden
Amerika. Sementara orang kedua yang di observasi adalah Max Juxes, seorang
alkoholik yang menikah dengan seorang wanita yang sama perilakunya. Hasilnya,
terbentuk 1.026 dengan distribusi 300 mati muda, 100 orang pernah di penjara,
190 menjadi pelacur, dan 100 orang menjadi penjadi peminum berat. Gambaran ini
menunjukkan bahwa mereka yang memiliki nilai integritas cenderung menurun pada
generasi dibawahnya. Hal ini menyadarkan kita bahwa bibit, bobot dan bebet
penting menjadi pertimbangan dalam membangun masa depan bangsa Indonesia yang
berkualitas. Nilai integritas itu dapat diadaptasi dari Pancasila sebagai
pedoman hidup berbangsa dan bernegara.
[3]
Lihat misalnya, Brian Caplan, 2008, The Myth of Rasional Voter: Why
Democracies Choose Bad Policies, Amy Gutmann, 2011, Identity in Democracy;
Amy Chua, 2018, Political Tribes, Group Instinct and the Fate of Nations).
[4]
Hadiyanto dkk, 2021. Pemahaman Transnasional dan Dampaknya Terhadap
Keanekaragaman di Indonesia. ICONIC, Jurnal Staimuttaqien.
Komentar
Posting Komentar