Mengendalikan Kuasa

Oleh. Muhadam Labolo

Kekuasaan seringkali dipahami sebagai properti (Foucault, 1973). Akibatnya, semua atribut kuasa seolah milik satu atau sekelompok orang. Foucault menegaskan bahwa, kekuasaan mesti dipahami sebagai strategi yang dialirkan pada berbagai institusi dalam relasi kuasa. Dengan begitu kekuasaan tak menumpuk, dan menjadi sumber masalah.

Dalam masyarakat modern, bentuk kuasa bukanlah sovereign power melainkan disciplinary power. Maknanya, kekuasaan bukan berdasarkan otoritas untuk melakukan penghukuman dan kontrol represif tetapi bekerja untuk menormalisasi perilaku diberbagai relasi sosial. Ini mungkin esensi restorasi justice yang dikembangkan lembaga penegak hukum.

Semakin besar kuasa dan mengendap di satu tangan semakin besar potensi salah-guna. Kuasa itu bisa cara dan alat. Cara, dapat terlihat maupun rahasia. Alat, dapat berupa sumber daya mulai organisasi satgas, uang, senjata dan teknologi canggih. Semua sumber daya itu hanya dapat digunakan lewat kuasa. Kuasa terbesar itu hanya ada di tangan pemerintah selaku yang diamanahi rakyat.

Pemerintah sebagai subjek hukum dengan sendirinya memiliki kedudukan istimewa di tengah subjek hukum lain. Keistimewaan itu berkaitan dengan penggunaan kekuasaan (power) dengan semua derivasi nilai yang sah seperti wewenang dan kewenangan (authority). Semua itu digunakan atau tidak, bergantung pemerintah.

Dengan kuasa itu pemerintah dapat bertindak bebas di ruang yang luas atas kehendak sendiri (freises ermessen). Bahkan untuk memaksakan kehendaknya, pemerintah dapat menggunakan berbagai alat dan cara. Dalam konteks inilah seringkali Ia berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, atau menyimpang dari tujuan kuasa (misbruik van recht, abus de droit, detournement de pouvoir).

Naasnya, kekuasaan dan ruang bertindak yang luas itu cenderung semakin tak terkendali ketika pemerintah dengan mudah mengidentifikasi dirinya sebagai negara. Posisi ini menempatkan pemerintah di puncak dari semua subjek hukum yang ada. Dalam peluang semacam ini pula pemerintah tak jarang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat dan masyarakat (Ndraha, 2002).

Kuasa yang mengalir itu tak hanya terjadi pada institusi pemerintah yang mengatasnamakan negara. Kuasa yang menetes ke elit masyarakatpun tak jarang memperlihatkan hal serupa. Klaim otoritas religi atas kebenaran ilahi  sudah ada di tangan terkadang dengan mudah membaca pikiran dan mengidentifikasi diri sebagai Tuhan. Lantas dengan mudah mengadili dan menghukum orang lain (Sugiharto, 2021).

Dengan semua otoritas kuasa yang mengalir deras dan menumpuk pada entitas subkultur kekuasaan (pemerintah), subkultur ekonomi (kapitalis), serta subkultur sosial (civil society), kekuasaan dapat berubah menjadi petaka yang menakutkan ketimbang rahmat bagi semesta yang mendambakan kebahagiaan dari mereka yang jamak di sebut istimewa.

Dalam relasi itu, sejauh kekuasaan pemerintah dapat diinstitusionalisasikan dengan baik, dibagi secara proporsional, serta terawasi efektif oleh badan independen dan masyarakat luas, kekuasaan dapat diminimalisasi dari penggunaan yang berlebihan, atau mungkin saja dengan sengaja tak menggunakan kuasa sama sekali untuk bertindak sesuai perintah konstitusi.

Menyadari kecederungan aktor pemerintah mengidentifikasi diri sebagai negara, konstitusi sejumlah negara memisahkan organ pemerintah sebagai pelaksana cita negara yang luhur dan abadi. Pemerintah satu hal, negara lain hal. Pemerintah adalah otak negara yang permanen, serta datang silih berganti. Negara sekalipun bersifat abstrak menurut Anderson (2004), namun relatif konstan menjaga konsensus warganya.

Dalam kondisi pemerintah bertindak melampaui kuasa negara, hanya subjek hukum di luar negara yang dapat mengontrol perilaku pemerintahan negara. Disinilah seringkali kita menemukan perbuatan negara diperkarakan oleh komunitas masyarakat ke pengadilan international. Upaya hukum demikian adalah cara terakhir yang ditempuh warga di tengah rasa frustasi atas kegagalan pemerintah menegakkan hak-hak asasinya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian