Merancang Ulang Prinsip Sistem Politik. Ekonomi dan Sosial Indonesia
Oleh. Muhadam Labolo
I
Ketangguhan Politik
Ketangguhan politik Indonesia secara eksternal dapat dilihat dari
setidaknya tiga catatan lembaga berskala international yaitu, Freedom House,
Economist Intellegent Units (EIU), dan Index Democracy East Asian
(IDEA).[1]
Menurut Fredom House (2020), kualitas demokrasi Indonesia dalam 10 tahun
terakhir bergerak dari free country menuju partly free country. FH
melihat bahwa pasca kejatuhan rezim otoriter tahun 1998 Indonesia mengalami
big-bang demokrasi. Namun konsolidasi demokrasi pasca reformasi mengalami
penurunan lewat berbagai sistem yang di desain sehingga seakan mencipta
jembatan baru bagi kembalinya sistem politik lama. Lembaga EIU hingga 2021 mencatat tensi
demokrasi Indonesia pada aras belum sempurna (flawed democracy). Kategori
ini hanya satu tingkat di bawah full democracy sebagaimana Norwegia di
urutan pertama. Di bawah kategori full democracy Indonesia masih
lebih baik dibanding China yang berada di urutan 148 dan Rusia di urutan 124. Dengan
usaha keras, peringkat Indonesia naik dari posisi 64 menjadi 52 dengan skor
6,71.
Lembaga ketiga yang dapat dijadikan barometer kesehatan demokrasi
Indonesia adalah Index Democracy East Asian (2019). Tensi demokrasi
Indonesia berada di level middle range. Indeksasi ini setidaknya
menggembirakan pada aspek partisipatory engagement. Kenaikan partisipasi
politik itu setidaknya dapat dikonfirmasi lewat angka partisipasi pemilu pada
tahun 2019 yang mencapai 81% serta hasil pemilukada yang mencapai 76%.
Pencapaian partisipasi pemilu jelas melampaui target yang di patok dalam RPJMN
sebesar 77%. Terlepas masih banyak aspek yang perlu dibenahi, prestasi eksternal
ini mendapat apresiasi dari Amerika Serikat melalui penghargaan sebagai negara
yang berhasil mencapai angka partisipasi politik fantastik justru dimasa
pandemi.
Bila dibandingkan dengan indeks demokasi internal, kualitas demokrasi Indonesia berada di atas rata-rata. Dari tiga variabel sebagai alat ukur, hak-hak politik (65,79) masih lebih rendah dibanding kebebasan sipil (78,46) dan lembaga demokrasi (75,25). Secara umum indeks demokrasi Indonesia memperlihatkan perubahan dinamis sebagai konskuensi atas kebijakan pemerintah yang seringkali melahirkan respon progresif maupun represif. Respon terhadap mereka yang bersuara lantang, pendekatan terhadap kritik sosial dalam bentuk mural maupun kriminalisasi di media digital menjadi problem tersendiri dalam kerangka penataan demokrasi.
II
Ketangguhan Ekonomi
Menurut Boediono (2007), berdasarkan pengalaman
empiris selama 1950-1990, dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP,
USD, 2001), rezim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan perkapita
1500 dolar hanya bertahan 8
tahun.[2] Pendapatan
perkapita 1500-3000 USD
rata-rata bertahan 18 tahun. Sementara negara-negara di atas 6000 USD, relative stabil dengan probabilitas
kegagalan demokrasi lebih rendah. Contohnya
Amerika, Inggris dan Perancis. Ini sedikit gambaran jauh sebelum pandemi
melanda dunia. Bahwa hari ini China, Korea Utara dan negara-negara non
demokrasi memperlihat gambaran sebaliknya tentu dapat ditelisik lebih jauh
dimana sebabnya. China misalnya, dalam hal idiologi tetap kokoh dengan
sosialis-komunisnya, namun dalam hal ekonomi lebih ekpansif menerapkan sistem
ekonomi kapitalis.
Bagaimana dengan Indonesia? Apabila dihitung berdasarkan PPP-dolar sejak 2006, penghasilan perkapita
Indonesia diperkirakan sekitar 4000 USD. Dalam ukuran itu kata Boediono,
Indonesia belum 2/3 jalan menuju batas aman demokrasi. Terlepas dari itu dengan
tetap menempatkan sisi optimisme sebagai sebuah bangsa demokrasi terbesar
ketiga di dunia, kita tak perlu ragu melihat angka penghasilan perkapita yang
merangkak mencapai 4.349 USD (Feb 2022).[3] Namun
penting diingat bahwa sejarah kejatuhan rezim orde baru tahun 1998 justru
ketika ketangguhan ekonomi kita mengalami relaksasi yang sulit dikendalikan
hingga merambah ke krisis sosial politik.
III
Ketangguhan Sosial
Bila diamati secara seksama, sejarah konflik identitas
di Indonesia dalam periode orde lama, orde baru dan reformasi, tak separah di
Yugoslavia dan Afrika. Kendatipun terjadi konflik yang mesti kita akui seperti
di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi Tengah (Poso), namun konflik tersebut
bersifat lokalistik dan dapat diredakan lewat berbagai pendekatan baik struktural
maupun fungsional. Konflik dewasa ini lebih tampak secara laten dibanding bersifat manifest.
Di dunia maya, yang tampak adalah kelompok Cebong vs Kampret. Pada Agustus 2020
misalnya, terdapat lebih dari 2,58 jt Cebong berhadapan dengan 2,45 jt mention
mewakili kelompok Kampret, (Ismail, 2020). Kelompok
dengan identitas agama seringkali disindir dengan istilah Kadal Gurun (Kadrun).
Realitas potensi konflik kini bersatu dan bersemayam di dunia maya yang setiap
saat dapat dilacak lewat Instagram, facebook, whats up, twitter, line
dll. Perjumpaan ini tak hanya melintasi perbedaan etnik dan agama, juga
kelompok umur hingga generasi muda. Mereka tumbuh dengan semangat kebencian
yang mengendap dalam pikirian.
Sejauh pertempuran emosi
di dunia maya tadi tak merambah ke realitas sesungguhnya, mungkin tak menjadi
masalah. Namun belajar dari Revolusi Melati di Timur Tengah dan kemenangan
partai-partai minoritas dalam Pemilu Raya di Malaysia, media sosial dapat
menjadi pemicu paling refleks ketika konflik mencair menjadi pertarungan yang
sebenarnya. Tentu saja perlu diantisipasi sebagaimana prediksi Sosiolog Tomagola (MIPI, 2008), bila
Indonesia bubar, kemungkinan bisa menjadi 17 negara, diantaranya Negara Jawa,
Sunda dan Banten. Selebihnya terbentuk di wilayah Indonesia Timur.[4]
IV
Merancang Subkultur Politik
Dengan tiga masalah di atas, pekerjaan kita adalah
bagaimana menata kembali mekanisme politik, ekonomi dan sosial sebagai upaya
merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perspektif pemerintahan (kybernologi,
2002), penataan mekanisme politik, ekonomi dan sosial berpijak pada kerangka
pikir memperbaiki prinsip pokoknya agar mekanisme di level mikro dapat
dirancang guna menjawab ketiga persoalan dimaksud.[5] Pertama,
memperoleh kekuasaan semudah mungkin. Prinsip ini pada tingkat mikro dapat
diterjemahkan kedalam mekanisme Pilpres, Pileg dan Pilkada secara lebih
sederhana tanpa melanggar konstitusi dan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Kondisi
ini telah menyebabkan ekses yang kurang sehat dalam praktek demokrasi kita.
Produk demokrasi ditingkat local hanya meninggalkan dua isu utama, balas budi
dan balasa dendam. Yang pertama berkaitan dengan tukar-guling agar hutang para
kanddidat dapat dilunasi. Sementara yang terakhir bersentuhan dengan tindakan
lokalisasi kelompok agar tak mengganggu jalannya roda pemerintahan di daerah.
Dalam Pilpres misalnya, standarisasi sebagai kandidat
dapat diturunkan dibawah 20%. Pada saat yang sama standarisasi keikutsertaan
dalam parlemen dapat dinaikkan di atas 20% hingga tercapai kekokohan
presidensial sistem. Dengan demikian dalam 2-3 pemilu kedepan dapat tercapai
partai sederhana dengan prasyarat menjadi presiden nol persen. Demikian pula
dalam hal pileg, penataan mekanisme terbuka tak menjamin mereka yang
berkualitas sekaligus kader parpol sampai ke titik kekuasaan tertinggi. Fungsi
kaderisasi parpol mandul. Kelangkaan
sumber daya semacam itu justru diisi oleh artis dan birokrat militer dan sipil.
Dalam kontestasi Pilkada mesti rancang kembali agar dipilih oleh DPRD mengingat
spirit konstitusi, Pancasila, efisiensi, efektivitas, konflik, money politics,
hasil ijtima alim ulama di Cipasung (2012), rekomendasi Lemhanas (2013), beban
demokrasi, akuntabilitas politik, netralitas aparatur sipil negara, serta beban
APBD yang morat-marit.
Kedua, menggunakan kekuasaan seefektif mungkin. Penggunaan kekuasaan dimaksud
dapat ditata melalui pembagian kewenangan yang jelas di pusat, provinsi dan daerah.
Penarikan sejumlah kewenangan di daerah ke level tertinggi memperlihatkan
bagaimana kekuasaan tak efektif menyelesaikan persoalan (UU Cipta Kerja,2020).
Salah satu tujuan otonomi memberikan diskresi agar tercipta pemecahan masalah
sesuai karakteristiknya. Dengan pertimbangan itu sejumlah urusan kemudian
didesentralisasikan. Jika urusan yang nyata-nyata dapat dipertanggungjawabkan
seperti tambang galian C kembali ke pusat, jelas penggunaan kewenangan tak
efektif menyelesaikan masalah di daerah. Disini perlu penataan kembali terkait
satu sistem yang menjadi rujukan utama (omnibus law), apakah UU Pemda
ataukah UU Cipta Kerja. Menurut hemat saya, ada baiknya revisi UU Pemda
dilakukan kembali dengan menarik semua pengaturan pada UU Cipta Kerja menjadi
satu UU Omnibus Law terkait penataan urusan desentralisasi, bukan
resentralisasi sepihak.
Ketiga, mempertanggungjawabkan penggunaan kekuasaan seformal
mungkin. Pemerintahan pada hakekatnya adalah institusi formal, sebab itu semua
kekuasaan dalam sistem pemerintahan wajib dipertanggungjawabkan secara formal (authority).
Dalam praktek kita boleh menjadi sinterklas, namun dalam realitas pemerintahan semua
patut dipertanggungjawabkan. Membagi Bansos mesti dipertanggungjawabkan,
demikian pula mengelola anggaran pademi yang mencapai trilunan rupiah. Dalam
kenyataan tampak ketidakpuasan dimana-mana, namun hanya satu dua kasus yang
muncul ke permukaan dengan alasan bahwa penggunaan anggaran pandemi tak perlu
dipertanggungjawabkan, bahkan dijamin oleh aturan sebagai sesuatu yang dianggap
urgensif (periculum in mora).
V
Merancang Subkultur Ekonomi
Prinsip penting dalam konteks ekonomi adalah pertama,
membeli semurah mungkin. Cara terbaik adalah memanfaatkan kekayaan geografi
sebagai halaman terbaik dalam mejawab semua kebutuhan bangsa. Strategi utama tentu saja mengurangi import yang
tak perlu dan menciptakan ketergantungan. Bagaimana mungkin bangsa dengan luas
daratan 1,91 juta km2, luas perairan 6,32 jt km2, 62% laut dan perairan,
bergaris pantai sepanjang 81.000 dengan 17.500 pulau masih melakukan import beras,
jagung, kedelai, tepung terigu, gula pasir, daging, garam, mentega, minyak
goreng, kentang, ubi, tembakau, cabe, cengkeh, kopi, teh, lada, kelapa sawit, dan
bawang. Ini persoalan ironik yang menjadi autokritik.
Kedua, menjual seuntung mungkin. Prinsip ini penting
mengingat daya jual sumber daya kita rendah dan tak visionable. Kasus indosat,
batubara dan nikel misalnya. Kita bisa bandingkan kekayaan semacam rotan,
rempah, bahkan daun pisang mungkin teramat murah dalam kalkulasi kita,
sementara di luar sana nilainya sangat mahal. Upaya mengambil untung lebih
tercipta bagi sekelompok orang melalui projek import. Sementara kerugian
terbuka bagi orang banyak dengan hilangnya sumber daya yang bahkan
bertahun-tahun tak dapat diperbaharui.
Ketiga, mengelola sumber daya sehemat mungkin (sustainability). Kekayaan yang kita nikmati hari ini bukanlah sesuatu yang dapat dirasakan dalam jangka panjang. Bahwa benar Indonesia adalah negara dengan cadangan kekayaan yang cukup, bahkan di catat sebagai negeri surga oleh Oppenheimer (Eden in The East, 2010) dan Arysio Santos (Atlantis, The lost Continent Finally Found, 2009), namun eksploitasi berlebihan melahirkan ketidak-seimbangan yang dapat merenggut masa depan generasi berikutnya.[6] Sejarah mencatat bagaimana generasi Sriwijaya, Majapahit, Indonesia dimasa lalu hingga sekarang mengalami penyusutan geografis yang menyisakan realitas hari-hari ini. Jika bangsa ini mampu berhemat dengan memaksimalkan produk dalam negeri, kita dapat menyimpan kurang lebih 246 T belanja dalam negeri (LBP, 2020). Demikian pula bila energi gas dapat disubstitusi kita mampu menghemat kurang lebih 20 T (Lahadalia, 2020).[7] Itu sedikit contoh.
VI
Merancang Subkultur Sosial
Bagian terakhir dari rancangan di kuadran subkultur
sosial adalah pertama, membangun kepedulian. Tanpa kepedulian masyarakat,
pemetik terbanyak dari produk demokrasi hanya akan dinikmati oleh kaum elite.
Kaum alit biasanya hanya berkerumun saat pemilu, namun bubar ketika demokrasi
baru dimulai. Demokrasi cenderung dinikmati pada aspek proseduralnya, tapi alpa
pada bagian terbaiknya, yaitu proses menuju substansi demokrasi. Bisa dipahami
sekalipun lebih 80% negara di dunia beralih ke sistem demokrasi, namun tak
banyak yang memperlihatkan kemajuan siginifkan.[8]
Demokrasi yang justru masyarakat adalah pengendalinya, lupa atas kekuasaan dan
kedaultannya sendiri. Keberlanjutan
demokrasi di Amerika, Perancis, India dan Jepang setidaknya disokong oleh
kepedulian kelas menengah seperti kapitalis, politisi, akademisi, dan
birokrasi. Tanpa itu demokrasi hanya akan kembali ke habitat aslinya,
otoritarian bahkan totaliteranisme model baru.
Kedua, membangun kesadaran sosial. Pembangunan kesadaran
masyarakat dapat dilakukan melalui fungsi pemberdayaan (empowerment). Kesadaran
dibutuhkan agar masyarakat paham bahwa mereka adalah bagian dari governance,
bukan semata-mata objek yang siap dieksploitasi. Kecenderungan
para pemimpin lokal maupun di pusat kembali ke pola lama yang sentralistik dan
dominan disebabkan ketiadaan kesadaran masyarakat sebagai pelaku utama sekaligus
pemetik manfaat atas proses demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang dibiarkan
dapat berubah menjadi mobokrasi, yaitu satu kondisi yang tak disukai Socrates,
dimana mereka yang kebetulan populer dan bodoh mengatur mereka yang relatif
pandai.
Ketiga,
pada tingkat tertinggi yaitu membangun
keberanian masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi alternatif sebagai solusi. Kesetaraan
dapat
mendorong terbangunnya collective
action guna memperoleh
hak-hak yang semestinya menjadi miliknya. Perlu disadari bahwa sekalipun
konstitusi telah meggariskan dengan jelas soal keadilan bagi masyarakat luas,
namun dalam realitasnya membutuhkan artikulasi kolektif, diluar orang-perorang.
Dengan demikian akan lebih efektif dalam mencapai keadilan yang dijanjikan
dalam konstitusi.
[1] Diakses
tgl 21 Februari 2022.
[2] Boediono, 2007. Dimensi
Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia. Pidato
Pengukuhan Gubes, UGM, Jogjakarta.
[3] Statistik BPS, Feb 2022.
[4] Disampaikan dalam Seminar Nasional
MIPI, 2008.
[5]
Pendekatan Kybernologi diadaptasi
dari paradigma subkultur kekuasaan, ekonomi dan social, Ndraha, 2002,
Kybernologi 1, hal. Xxxii. Rineka Jakarta.
[6] Oppenheimer, 2010. Eden in The East,
Oxford University & Santos, Arysio, 2009. Atlantis, The Lost Continent
Finally Found, Ufuk Publishing, Jakarta.
[7] Kompas Online, 2022.
[8] Bahan modul sosialisasi persiapan
Pemilu 2024, KPU RI, 2022.
Komentar
Posting Komentar