Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah

Oleh. Muhadam Labolo

Penolakan MK atas gugatan sejumlah anggota DPD soal angka presidential treshold menarik dipelajari. Alasannya simpel, DPD tak punya legal standing dalam perkara dimaksud. DPD dinilai tak dirugikan secara langsung terkait wewenang, tugas dan fungsinya. Ada baiknya kita perlu mencermati kembali eksistensi dan positioning Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) pasca amandemen konstitusi 2002.

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen keempat menyebutkan, MPR terdiri dari atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu. Ayat ini menunjukkan bahwa majelis yang dulu ditinggikan itu hanyalah kumpulan anggota-anggota dari dua institusi, DPR dan DPD. Ayat itu tak serta-merta menegaskan posisi DPD sebagai organ negara, termasuk sistem parlemen yang dianut, unikameral, bikameral atau trikameral.

Untuk melihat eksistensi DPD sebagai salah satu lembaga negara yang tumbuh sejak reformasi, ada baiknya kita meminjam teori Lawrence M Friedman (1986) terkait structure of law, substance of law dan legal-cultur. Struktur, berkaitan dengan legalitas organ DPD dibanding MPR dan DPR. Substansi, berhubungan dengan tugas dan fungsi yang diemban. Kultur, sejauhmana representasi dan akseptabilitas publik terhadap DPD.

Bila dibandingkan struktur organ DPD dengan DPR tampak jomplang. Eksistensi DPD tak sama sebagaimana praktek di Amerika dan Inggris. Di kedua negara tersebut, kongres (MPR) terdiri dari senat yang mewakili negara bagian dan majelis rendah (house of representative) yang mewakili rakyat pada umumnya (article 1, section 1). Bila disepadankan, senat diasumsikan DPD, majelis rendah DPR. Keduanya dipilih lewat parlemen tingkat lokal.

Sekalipun jumlah anggota senat minoritas, namun undang-undang memberi kewenangan strategis dalam hal impeachment, pertahanan, dan otoritas bank sentral. Disitu eksistensi senat yang jumlahnya hanya 100 orang dibanding majelis rendah yang berjumlah 435 orang memiliki posisi tawar seimbang. Kongres sendiri adalah gabungan kedua institusi tersebut (bicameral system), dan bukan sekedar kumpulan anggota-anggota.

Terkait substansi, senat (DPD) memiliki wewenang, tugas dan fungsi yang sepadan bahkan lebih dibanding majelis rendah (DPR). Dengan kewenangan yang cukup, majelis rendah tak berkutik dalam pengajuan rancangan undang-undang jika ditolak mentah-mentah oleh senat (DPD). Equalitas tersebut menjadikan DPD dihargai sama dan sebangun dengan DPR, bahkan MPR (kongres). Disini dengan sendirinya tercipta chek and balance system.

Dari aspek kultural, senat (DPD) merupakan representasi kemajemukan vertikal dan horisontal. Mereka di pilih di tingkat lokal guna mengartikulasikan kepentingan daerah yang tak tersentuh oleh perwakilan rakyat (partai politik). Jadi, DPD secara faktual bukan saja mewakili ruang, juga minoritas kultural dalam masyarakat.

Bagaimana eksistensi DPD di Indonesia? Secara struktural posisi DPD sekalipun bagian dari MPR namun bukanlah lembaga unikameral, bikameral atau trikameral dimaksud. Pasal 2 ayat (1) jelas menyatakan bahwa MPR terdiri dari kumpulan anggota DPR dan anggota DPD, bukan lembaga negara sebagaimana kongres di Amerika yang secara tegas menyatakan terdiri dari senat (DPD) dan majelis rendah (DPR). Dalam konteks ini pun MPR hanya wadah dan joint session (Kaelan, 2022).

Dari aspek substansi, DPD tak memiliki kewenangan, tugas dan fungsi yang seimbang dengan DPR. Kecuali ikut membahas isu otonomi daerah, pemekaran wilayah dan soal-soal perbatasan, DPD tak memiliki kekuatan imperatif yang efektif mengontrol tirani DPR. Dalam konteks inilah kita dapat memaklumi mengapa DPR dewasa ini sangat mendominasi dibanding DPD (legislative heavy).

DPD secara kultural merupakan reinkarnasi dari utusan golongan yang hidup sesuai konstitusi lama. Mereka diangkat dan merepresentasikan kelompok minoritas dalam masyarakat (ormas, ABRI, toga, tomas, toda). Sebagaimana di Amerika, Inggris dan Perancis, mereka diangkat mewakili kelompok bangsawan dan minoritas tertentu. Maknanya, DPD adalah representasi socio-cultural sekaligus heritage bangsa yang patut diakomodir.

Masalahnya, mekanisme pemilihan DPD dipaksa oleh amandemen konstitusi untuk dipilih secara langsung (Pasal 22C). Dampaknya, yang terpilih tak mewakili kelompok minoritas dalam masyarakat, tapi dikuasai mantan anggota partai politik, kepala daerah & local strongman yang ingin memperpanjang durasi kekuasaan. Disini perlunya perubahan mekanisme sebagaimana sejumlah anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang berasal dan diangkat mewakili minoritas kultural (UU 21/2001, Otsus Papua).

Mekanisme pemilihan anggota DPD yang dilakukan sama dengan DPR menunjukkan kealpaan amandemen (Pasal 22C). Pemilihan DPD secara langsung (liberalisasi), selain mendistorsi sejarah dan pakem yang digunakan selama ini, juga mengkerdilkan DPD dibanding DPR. Lebih lagi wewenang dan fungsinya tak sebanding (powerless). Jadi, tak ada cara lain kecuali mengembalikan eksistensi DPD sesuai konstitusi lama, agar tetap konsisten dan memiliki koherensi dari pembukaan, batang tubuh, hingga penjelasan konstitusi.

Menyadari realitas itu, menjadi paham bahwa DPD tak memiliki legal standing terkait hal ikhwal pencalonan presiden, apalagi berniat melakukan impeachment sebagaimana wewenang majelis tinggi (senat/DPD) di negara-negara yang konsisten mempraktekkan bicameral system. Akseptabilitas DPD dipandang tak signifikan mewakili. Apalagi kita bukan sedang menerapkan sistem unikameral dan bikameral. Bukan pula trikameral. Mungkin ini pula yang di kritik Arbi Sanit, sistem yang bukan-bukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian