Ekses Citayam Fashion

Oleh. Muhadam Labolo


Ekses Citayam Fashion kini menelan korban. Korbannya bukan di jalanan Citayam atau Dukuh Atas. Korbannya di Payakumbuh Timur. Seorang Ibu Camat beranak dua di mutasi dari jabatan pasca aksi street fashion di daerahnya. Mungkin Ia punya maksud positif namun beda dalam pandangan lain.

Alasan pencopotan karena dinilai melanggar etika. Soal etika tentu kompleks dan luas. Tapi disini Etika ASN yang konon tak sedikitpun dilanggar, apakah itu etika bernegara, berorganisasi, bermasyarakat, diri sendiri, maupun sesama aparatus (Holyson, 2022).

Etika ASN itu berlaku untuk semua aparatur sipil negara, di pusat maupun daerah. Namun begitu, budaya lokal seringkali mensabotase bahkan atas nama otonomi daerah. Lebih lagi jika pemimpin lokal memanfaatkan momentum itu sebagai citra perlindungan budaya lokal yang agamis-religius.

Di Citayam, street fashion memberi rangsangan bagi elit di level sosial, ekonomi dan politik. Ramai-ramai memperturutkan diri agar beroleh impact semaksimal mungkin. Moment aktualisasi diri itu gratis walau pengendara harus bersabar di depan garis zebra cross.

Elit sosial memanfaatkan street fashion sebagai ajang melenturkan kelas sosial dalam masyarakat. Profitnya kesetaraan (equality). Dengan keseteraan itu kita dapat diterima dimana saja. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tak ada perasaan disubordinasi, apalagi dijajah oleh bangsa sendiri. Semua orang dihargai sesuai kapasitasnya.

Elit ekonomi tak mau kalah memburu event sesaat itu. Tujuannya jelas, profit oriented. Dengan ikut menyeberang disitu kaum selebriti beroleh limpahan penonton. Jangan heran jika tiba-tiba saja muncul sinterklaas yang berani meng endorse ratusan juta rupiah agar keriuhan tadi berubah jadi hingar-bingar di layar panggung hiburan.

Kaum elit politik tak ketinggalan. Ini jelas investasi politik dalam masa dua tahun kedepan. Hadir dikerumunan semacam itu tentu dapat mendongrak suara di kelak hari. Hadir saja sudah memberi investasi, apalagi turut serta membuka ruang bagi masa depan para pegiat fashion jalanan. Bagi politisi yang pokok janji dulu, soal hasil nanti belakangan.

Lalu mengapa peluang investasi ekonomi, sosial dan politik di Citayam justru aib di Payakumbuh? Mungkin saja ini bukan soal etika aparat sipil negara, tapi soal perspektif budaya lokalistik yang berbeda. Ibarat kata pepatah klasik, lain lubuk lain ikannya. Di Citayam, kulturnya lebih inklusif selain berada diantara Jakarta yang metro-urban dan perbatasan Jawa Barat yang transisi-heterogen.

Sementara di Payakumbuh, perpektif masyarakatnya masih kental dengan budaya lokal yang religius. Konteks ini di klaim sekaligus alasan untuk mengubah masa depan seorang camat menjadi staf jalanan. Malangnya, elit lokal sebagai pembina kepegawaian justru menggunakan standar etika sosial tadi sebagai alas bagi vonis pegawai yang memiliki standar etika nasional.

Menyadari hal itu, tentu saja Bu Camat merasa diadili lewat standar lembaga religi lokal, bukan diadili dengan etika aparat sipil negara yang universal. Realitas ini tentu saja unfairness bagi Ibu Camat. Tetapi ia perlu menyadari pula bahwa posisinya tidak berada di Citayam, tapi di sebuah daerah yang kukuh dengan spirit adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah.

Dengan kesadaran pada dua perangkat nilai itulah tak jarang etika formal yang di produk negara harus mengalah dihadapan etika lokal yang dianggap lebih kuasa (afirmative). Pemandangan demikian seringkali kita jumpai di wilayah Papua dan Aceh, dimana nilai-nilai lokal masih kental bahkan diformalisasi kedalam bentuk hukum adat dan hukum Syariat Islam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian