Mengemas Jakarta Pasca Relokasi
Oleh. Muhadam Labolo
Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3/2022 Tentang Ibukota Negara, status Jakarta sebagai Ibukota Negara sekaligus Ibukota Pemerintahan selesai. Praktis setelah 58 tahun berstatus sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta kembali seperti provinsi lain. Pertanyaannya, status seperti apakah yang realistis bagi Jakarta di hari-hari mendatang? Makalah pendek ini disiapkan cepat dengan undangan mendadak oleh kolega Sitti Aminah (BRIN), dan karenanya tidak berusaha menjawab sepenuhnya kebutuhan panitia dari aspek ekonomi semata sesuai isi undangan, namun sekedar sharing dari perpektif pemerintahan.
Sebagai daerah tanpa predikat Ibukota Negara, apakah Jakarta perlu diposisikan kembali sebagai daerah khusus tertentu ataukah daerah otonom biasa. Hal mana sejak 1964 Jakarta merupakan sentral gravitasi politik, ekonomi dan sosial budaya. Bila kekhususan Jakarta akan dipertahankan maka persoalan spesifiknya adalah apakah isi kekhususannya, seberapa luas dan dimana letak kekhususan tersebut. Bilapun Jakarta memilih menjadi daerah otonom biasa, apa konsekuensinya?
Kedua pilihan tersebut tentu memiliki implikasi yang mesti di takar sungguh-sungguh sebagai upaya mengeluarkan Jakarta dari masalahnya, bukan membiarkan Jakarta dengan beban baru. Kesalahan mengubah status Jakarta dapat menjadi preseden buruk atas alasan relokasi Ibukota Negara. Namun apapun pilihan status Jakarta pada akhirnya harus mampu menciptakan wajah baru guna mewujudkan Jakarta sebagai salah satu kota impian baik domestik maupun international.
Guna mengubah UU 27/2007 Tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi kekhususan itu sendiri.[1] Konsensus masyarakat, legislatif lokal dan pemerintah daerah lewat berbagai mekanisme sangat penting untuk menetapkan jenis kekhususan, luas dan letaknya. Pola bottom up ini jauh lebih representatif dibanding membiarkan Jakarta di desain top down yang menyisakan banyak kepentingan padat modal di luar aspirasi komunitas Jakarta. Reklamasi sepanjang pinggiran Pantai Jakarta Utara dan Pantai Indah Kapuk (PIK) sedikit contoh produk top down yang menciptakan ketegangan kreatif antara Jakarta dan Pemerintah.
Menyadari karakteristik Jakarta yang kaya akan pergulatan politik, sumbu ekonomi serta miniatur socio-cultural Indonesia, penting merawat ketiga heritage tadi menjadi bahan baku kekhususan. Mengingat sumbu politiknya telah bergeser (Ibukota negara dan pemerintahan), maka titik berat kekhususannya diarahkan ke dua aspek penting yang tersisa, yaitu ekonomi dan sosial budaya. Aspek politiknya dapat diorientasikan ke sektor pariwisata beserta artefak yang ditinggalkan. Sementara aspek ekonomi penting dikembangkan mengingat kontribusi Jakarta mencapai 17,23% terhadap DBH nasional. Kontribusi terbesar ini jika dikembangkan lewat Pariwisata Kota Tua seperti Roma, Kyoto, Rio de Janeiro, Paris atau Odense di selatan Denmark akan lebih prospektif.
Kekhususan pada aspek ekonomi tentu akan memberi peluang bagi Jakarta menata diri sebagai kota bisnis. Ambil contoh Jakarta dapat memperkuat perdagangan dan jasa yang lebih mandiri dengan menjadikan sentra ekonomi Tanjung Priok dan Tanah Abang bukan saja berkelas di Asia Tenggara, juga dunia. Pada sisi lain Jakarta dapat mengembangkan Kepulauan Seribu menjadi semacam Pulau Jeju di Korea Selatan. Melihat terbukanya jalur Asia ke Eropa oleh China, bukan mustahil Pemda dapat menghubungkan Kepulauan Seribu ke daratan Jakarta Utara. Bisa lewat jembatan gantung atau kereta bawah laut. Kesuksesan kereta cepat Jakarta-Bandung kemungkinan akan memicu pengembangan transportasi yang menghubungkan daerah-daerah terluar dengan Jakarta. Dampak mobilitas akan mendorong migrasi dan mengisi wilayah-wilayah sepi sekaligus merangsang pertumbuhan ekonomi.
Kekhususan pada aspek sosial budayanya berkaitan dengan Jakarta sebagai miniatur kebangsaan yang paling representatif. Dengan populasi mayoritas Jawa, Betawi, Sunda, Tionghoa dan Minang, sisanya Jakarta dihuni oleh hampir semua etnik (BPS, 2022). Maknanya, kemajemukan yang ada selama ini dapat menjadi karakteristik untuk diproteksi, dikelola dan dirawat sebagai miniatur Kota Pancasila. Arsitektur kota histori, padat, pluralistik, modern dan indah seperti Singapura mungkin bisa menjadi model paling sederhana. Disini yang menjadi fokus kekhususannya adalah kemajemukan, bukan soliditas identitas seperti Aceh dan Papua (Agama dan Etnis). Meski demikian, kekhususan tersebut tidak serta melupakan afirmasi bagi etnik khas Orang Asli Betawi (OAB). Pola-pola pelibatan OAB dalam aspek politik dapat menjadi salah satu pilihan dalam pengaturan sistem politik lokal guna merawat persatuan dalam keragaman dan kekhasan.
Penyediaan posisi sebagai wakil kepala daerah atau sejumlah kursi di legislatif provinsi melalui mekanisme representasi (political appointed) dapat menjadi wacana dalam upaya menyepakati kekhususan Jakarta dari aspek sosio-politik. Hal ini dapat dilakukan dibanding membentuk semacam Majelis Rakyat Betawi (MRB) yang dapat menimbulkan ketegangan dengan legislatif lokal sekaligus menghambat pengambilan keputusan Pemerintah Daerah Provinsi Jakarta. Kanalisasi politik di atas setidaknya memastikan aspirasi dan representasi OAB dalam sistem politik lokal terakomodir.
Langkah kedua adalah menyepakati dimanakah kekhususan tersebut akan diletakkan. Sesuai konstitusi letak kekhususan dapat ditempatkan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Menyadari realitas Jakarta yang sedemikian kompleks, ada baiknya kekhususan itu berada di level provinsi sebagaimana letak otonomi selama ini yang juga berada di provinsi. Pertimbangannya pertama, bila kekhususan diletakkan di daerah kabupaten/kota, maka status administratif yang disandang selama ini mesti berubah menjadi daerah otonom. Pengaturan ini semakin kompleks karena Jakarta akan memberi contoh pertama yang memiliki kekhususan di tingkat kabupaten/kota, bukan saja di provinsi (afirmasi di level daerah sedang?). Memang ketentuan dalam Pasal 18 UUD ’45 dan UU 23/2014 tak membatasi letak kekhususan harus di provinsi atau kabupaten/kota.[2]
Kedua, bila Jakarta Pusat, Selatan, Utara, Timur, Barat dan Kepulauan Seribu berubah menjadi daerah otonom, konsekuensi logisnya Pemda membutuhkan jumlah kursi DPRD dan Birokrasi yang lebih besar. Ini tidak saja akan menimbulkan persoalan pada aspek manajemen pemerintahan daerah, juga high cost birokrasi. Eksesnya, sepanjang wilayah Jakarta akan dipenuhi organisasi pemerintah daerah yang melayani masyarakat. Ketiga, salah satu alasan wilayah administratif Jakarta tak realistis dijadikan daerah otonom karena batas-batas geografis dan demografinya relatif cair selain Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu yang secara geografis terisolasi. Dari sisi demografi tidak ada perbedaan signifikan antara masyarakat diberbagai wilayah yang menunjukkan identitasnya homogen dari komunitas tertentu kecuali minoritas OAB (Ndraha, 1999, Suprajogo, 2001).
Demikian pula dari aspek geografis, dimana batas-batas yang membedakan antar wilayah sebagai alasan pemisahan tak begitu jelas kecuali ditentukan secara administratif. Pada sisi lain perbedaan kebijakan di tiap daerah otonom dapat memicu dinamika yang tak terkendali sehingga berdampak bagi daerah sekitarnya karena terintegrasi sebagai kota metropolitan. Dengan demikian gagasan meletakkan kehususan di daerah kabupaten/kota tak membantu Jakarta keluar dari masalahnya. Idealnya status Jakarta tetap dengan kekhususan dan otonomi di level provinsi, sisanya adalah wilayah administrasi di bawah provinsi. Jadi, letak otonomi dan kekhususan sebaiknya dipertahankan dibanding bila semua wilayah administrasi serentak berubah jenis kelamin menjadi daerah otonom.
Keempat, dengan eksistensi itu, dan dengan membayangkan Jakarta sebagai kota bisnis (ekonomi) dimasa depan, kita dapat mengusulkan susunan luar Pemda DKI Jakarta terdiri dari satu lapis saja, yaitu daerah otonom murni dengan titik berat di provinsi. Dengan begitu posisi gubernur tidak lagi sebagai wakil pemerintah pusat tetapi sebagai kepala daerah otonom. Argumen ini menimbang pertama, semua entitas dibawah pemerintah provinsi bukanlah daerah otonom seperti provinsi lain sehingga tidak ada kewajiban provinsi untuk mengawasi daerah otonom dibawahnya. Wilayah administrasi yang ada seperti Jakarta Pusat, Selatan, Utara, Timur, Barat dan Kepulauan Seribu otomatis adalah perangkat daerah otonom dibawah kendali provinsi sebagai daerah otonom. Kedua, dengan posisi itu gubernur akan lebih mandiri (otonom) dalam mengembangkan Jakarta sebagai kota bisnis yang membutuhkan efisiensi dan efektivitas.
Dengan menyepakati isi kekhususan serta titik berat kekhususan (termasuk
titik fokus desentralisasi), bagian terakhir yang penting dipertimbangkan
adalah seberapa luas kekhususan itu akan menjangkau. Hal ini penting
memperhatikan kesulitan pembangunan Jakarta dewasa ini yang sukar menyentuh
daerah-daerah sekitarnya sebagai penopang bagi tumbuh-kembangnya Jakarta.
Keluasan kekhususan Jakarta tidak saja akan mendorong berkembangnya kota-kota
satelit, juga mempercepat kemajuan Jakarta dari aspek ekonomi dan socio-culturalnya. Prinsipnya, perubahan status Jakarta
sebaiknya menjadi antibiotik bagi penyakit urban yang dikemukakan para desainer
politik dan kebijakan selama ini, yaitu menyelesaikan masalah tanpa masalah,
bukan sekedar digadaikan dan ditinggalkan begitu saja.
[1] Perdebatan
atas pasal 18B ayat (1) tentu menjadi soal lain jika yang dimaksud khusus dan
istimewa itu adalah semua entitas zelfbesturendelandschappen, bukan daerah yang
baru dibentuk untuk tujuan tertentu, termasuk Ibukota Nusantara. Bunyinya, negara
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa yang di atur dengan undang-undang.
[2] Lihat
ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 45.
Komentar
Posting Komentar