Catatan Kaki Reuni Perak Pasopati

Oleh. Muhadam Labolo

Lepas reuni perak rasanya belum move on. Seperti kembali dari perjalanan spiritual. Semangatnya masih terbawa, di meja, kursi, ranjang, mobil, dan kantor. Lihat kebun kecil dibelakang rumah seperti berada di Dusun Bambu. Makan pagi dan malam seperti ditemani Pak In dan kawan jauh, dari Sabang sampai Merauke. Beberapa merawat reuninya sampai ke Jakarta dan Karimun Jawa.

Biasanya, 40 hari auranya baru menguap. Itupun kalau tak dihidupkan sewaktu-waktu oleh kiriman video dan foto yang tercecer. Putri apalagi. Setiap foto butuh beberapa menit untuk diseleksi, dinikmati dan diberi bintang. Entah mengukur kedewasaan, pencahayaan, atau sekedar mengecek efektivitas anti aging, keserasian kostum, fokus kamera, serta keterlambatan nimbrung dalam kilatan _blizt._ Pendek kata, ini paduan unik antara kosmetikologi & idiologi narsisme. Tanpa mereka, reuni rasanya hanya kumpulan veteran kalah perang.

Reuni kali ini benar-benar memperlihatkan sesuatu yang luar biasa. Ada perkembangan kedewasaan pada afeksi (perilaku). Kesan saya, 90% anggota Pasopati lebih matang dari sisi psikologis dibanding umur biologisnya. Pertanyaan sapaan, berapa anak & tugas dimana. Itu pertanda baik. Semua menuju derajat wisdom. Mereka yang dulu garang kini lebih adem, bijak, santun, dan jinak. Mungkin di tempa pengalaman panjang dan berliku hingga mencapai titik spiritual-sosial yang menyejukkan.

Semua percakapan yang tertangkap menunjukkan banyak keterbukaan. Dapat saya sebut kejujuran, apa adanya. Keterbukaan pikiran dan hati  membuat dialektika breakfast, lunch & dinner tak banyak gangguan interupsi. Setiap kita menjadi pendengar yang baik atas kumpulan pengalaman yang sarat pelajaran histori, praktikal, bahkan noktah. Kita seperti siap membuat pengakuan di setiap kesempatan, disaksikan kawan yang kita tempatkan sebagai saksi ahli.

Dalam kesaksian semacam itu, semua narasi sering berubah menjadi stand up comedy, sekalipun itu mungkin pengakuan yang jujur. Kita tak peduli, apakah itu fiksi atau fakta, ghibah atau pitnah (sunda), ilmiah atau tidak, yang pokok bisa dinikmati dengan bijak. Asal bukan undang-undang, pepe, permen, pergub dan sebangsanya. Itu memuakkan. Kata salah satu eks ketua barak, untuk kali ini jangan bawa masalah di laut ke darat. Kita perlu kenangan untuk diingat, bukan untuk didisposisi.

Kedewasaan pikiran mencipta kata-kata yang lebih santun dan indah dinikmati. Bila diselingi senyum akan lebih melembutkan pesan. Maklum, bahasa adalah ekspresi atas pengucapan pikiran, begitu kata filosof Ludwig Wittgenstein (1951). Hati lazim memproduk kemurnian, keterus-terangan, kejujuran yang sudah dikonsultasikan berkali-kali pada nurani. Namanya hati nurani. Sadar atau tidak, itu semua modal besar yang dapat dipakai dalam meniti sisa 10 thn terakhir dalam spirit sukses bersama.

Deskripsi di atas seakan membumi dengan petuah sang legend, loman, sumeh, & entengan._ Ada kedermawanan, kesetiaan membantu, dan kehangatan dalam pergaulan. Nilai-nilai itu tampak dalam percakapan pendek, hingga pengguguran tahta di depan satu sama lain. Saya kira itu individual capital yang jika disinergikan lewat berbagai sumber daya, dapat melahirkan leadership populer yang kian langka.

Mereka yang hidup di luar sistem birokrasi pun tak lagi mempersoalkan sekat psikologis. Bahkan dengan bangga meyakinkan soal masa depan yang lebih baik, dibidang politik dan enterpreneurship. Mereka jelas aset berharga, yang beberapa saat kedepan jika bernasib baik menjadi tumpuan bagi perubahan politik & pemerintahan di pusat dan daerah. Ini hanya soal waktu, kesempatan, keberanian, dan kemampuan meng-ejawantahkan ketiga prinsip hidup di atas.

Semangat reuni ini rasanya tak ternilai. Dia memompa adrenalin kita untuk menyelesaikan cita-cita yang masih menjadi tunggakan. Panasnya menyentuh hingga ke sebagian kita yang tak sempat hadir karena force majeure. Semoga tugas-tugas birokrasi itu dapat diselesaikan di tengah tantangan yang tak kunjung selesai. Kepada sahabat yang telah mendahului kita, semoga tugas suci yang dibebankan olehNya dan Manglayang diterima disisiNya. Dialah penilai dan hakim tunggal atas semua perkara disini dan disana.

Sebagai nakhoda kapal berisi penumpang besar, saya mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Special thanks buat mayoret acara Bung Hasrul dengan semua kelebihannya. Khususon creuw panitia dan event organizer hingga tampak istimewa. Pun, tak lupa ucapan trima kasih tak terhingga untuk Sdr. Bahtiar, yang telah memberi pengantar moril agak berat untuk saya. Sdr Bernad yang telah membuat betah kawan-kawan di sekitar kita. Sdr. Sugito yang telah mendinamisasi acara pada semua event. Dan Sdr. Ferdinand yang telah melebur diri di tengah gemerlapnya acara penuh kejutan. 

Semoga spirit reuni perak melanggengkan persahabatan. Menembus sekat yang terputus hanya karna soal-soal sepele. Melelehkan pesona tahta, harta dan jelita. Melunturkan ke-akuan, ke-kamian, dan mereka, menjadi kita dan semua. Terhadap acara ini, meminjam ilmu _ghibalogi_ WPP, bila anda sedang memperbincangkan kue donat, upayakan fokus pada kue dilingkarannya, jangan terjebak pada lubangnya. Walau harus diakui, Donat tak akan bernama Donat tanpa lubang ditengahnya. Begitulah kelebihan dan kekurangan reuni perak Pasopati tahun ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian