Demokrasi Substansial, Catatan Akhir Tahun
Oleh. Muhadam Labolo
Di tengah keberhasilan kita melalui ancaman pandemi tahun kedua, catatan demokrasi kita perlu menjadi perhatian utama menyambut tahun depan yang penuh dinamika ketidakpastian. Dengan mensinergikan kekuatan dan peluang guna meminimalisir kelemahan dan ancaman, kita dapat mengungkit pesimisme ke optimisme guna menggapai visi terbaik di tahun-tahun mendatang.
Agenda politik utama memasuki pesta besar 2024 adalah mempersiapkan landasan prosedur demokrasi sebaik mungkin. Sekalipun pengalaman tahun-tahun sebelumnya memperlihatkan partisipatory engagement relatif tinggi, namun demokrasi kita di setiap periode terjebak oleh upaya merevisi prosedur ketimbang meraih substansinya.
Demokrasi prosedur itu kita akui telah banyak mengkanalisasi berbagai soal, namun jaminan terhadap ekspresi hak-hak sipil dalam catatan Freedom House (2019), IDEA (2020), IEU (2020) & BPS (2018) belum bersahabat dengan aksi mural dan kebebasan berucap di ruang publik. Tanpa mengecilkan upaya mereparasi prosedur itu, agenda demokrasi kita sepatutnya dirancang seserius mungkin kearah capaian subtansinya, bukan terlilit utang prosedur.
Menghabiskan energi mengutak-atik prosedur demi kepentingan jangka pendek jelas memperlambat gerak kita menuju output demokrasi, kesejahteraan. Kelambatan itu tak hanya tertahan oleh perdebatan waktu, metode, persyaratan, dan keabsahan legitimasi, juga figur. Begitu pesta usai, periode selanjutnya kembali ke labirin yang sama, mencari prosedur baru sesuai kepentingan dan suasana batin pembajak demokrasi.
Demokrasi substansial tak hanya bicara prosedur melulu, tapi bagaimana tanggungjawab kita terhadap urusan perut dan kebahagiaan batin setiap warga negara. Kegagalan memperlihatkan kinerja demokrasi substansial itu membuat demokrasi terus di olok oleh kekuatan politik yang selama ini mengoleksi cacat bawaan demokrasi. Seakan sistem alternatif jauh lebih menjanjikan lewat mimpi pemerintahan bertabuh religi.
Agar demokrasi substansial itu bukan pula utopis, selayaknya agenda lain penting menjadi penyokong. Tentu saja yang pertama adalah ekonomi. Perlu upaya luar biasa agar ekonomi tidak saja kuat di tingkat makro, tapi benar-benar menetes hingga ke usus setiap warganya. Agar nyata, tentu keserakahan perlu dipertobatkan, oligarchi perlu dikebiri, jaminan pekerjaan disediakan, sekaligus mengurangi program sinterklas yang menciptakan ketergantungan dan kemalasan.
Demokrasi substansial tentu saja tak berhenti sampai disitu. Kesejahteraan warga tak cukup sampai di kantong penuh. Agenda berikutnya bagaimana kebahagiaan dapat didekatkan ke setiap warga. Kebahagiaan tak hanya bersentuhan dengan aksi spiritualitas, juga kebebasan atas ekspresi bicara dan pikiran, berikut kepuasan dan jaminan atas kualitas hidup lebih baik (Schumpeter,1919). Inilah variabel happiness index yang kini dinikmati negara miskin tapi langka di negara kaya.
Kesejahteraan bukan jaminan kebahagiaan. Itu hipotesis anonim yang berlaku tidak saja pada individu, juga negara. Dimasa Orba dengan pertumbuhan ekonomi memukau tetap saja warga ingin merdeka dalam arti sesungguhnya. Merdeka menyampaikan gagasan dalam bingkai yang menjadi pondasi demokrasi, hukum. Efek relaksasi itu munculnya trust. Trust adalah esensi penting yang menjembatani relasi mereka yang memerintah dan yang diperintah (Ndraha, 2002).
Dalam ajaran leluhur kybernologi, raibnya trust karena digerus oleh tumpukan ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan distandarisasi oleh janji (promised). Janji kita di setiap masa menjadi ingatan hingga terbayang di pelupuk mata warga negara. Melebarnya kesenjangan antara janji dan realitas melahirkan distrust. Membangun social-trust bukanlah perkara mudah. Dia butuh keseriusan memastikan gerak agenda demokrasi benar-benar substantif, bukan kembali berkutat di soal-soal prosedur demokrasi.
Komentar
Posting Komentar