Pembagian Kekuasaan & Reformasi Partai Politik

Oleh. Muhadam Labolo 

Jika diteliti secara seksama, pada dasarnya inti pengaturan rezim pemerintahan daerah adalah pembagian kekuasaan (sharing of power). Pembagian kekuasaan dimaksud adalah bagian dari sharing kekuasaan eksekutif secara vertikal. Sementara pembagian kekuasaan secara horisontal terdiri dari eksekutif, legislatif dan yudikatif (Locke, Montesquieu, Kant, dll).

Dalam bahasa undang-undang, kekuasaan diterjemahkan dengan istilah kewenangan (authority). Kewenangan sendiri adalah bagian kekuasaan yang bersifat formal (Alfian,1999). Kewenangan melekat pada institusi, sedangkan wewenang lazim berada pada person. Di tingkat teknis istilah kewenangan berubah menjadi urusan, yaitu urusan pemerintahan.

Urusan dalam UU Pemda inilah yang dibagi berupa urusan pemerintah pusat dan daerah. Klasifikasinya menjadi urusan absolut, bersama (concurent) dan pilihan. Urusan bersama menjadi urusan wajib dasar dan non dasar. Jadi sekali lagi, esensi penting rezim pemerintahan daerah itu berkaitan dengan soal pembagian kekuasaan, sisanya hanya pelengkap penderita.

Kalau kita bicara pembagian kekuasaan artinya kita bicara dalam lanskap politik. Karena politik dalam makna tertentu berkaitan dengan sharing kekuasaan (Laswell,1978). Tentu saja banyak makna politik dari yang paling hakiki (Aristoteles) sampai ke batasan praksis. Dengan memahami itu maka rezim pemerintahan daerah sesungguhnya adalah bagian dari reformasi dibidang politik, khususnya politik pemerintahan.

Pasca runtuhnya orde baru (1998), agenda reformasi politik tidak hanya soal perubahan rezim pemerintahan daerah. Bagian lain yang disisir saat itu adalah paket undang-undang partai politik, pemilu dan pilkada. Keseluruhan perubahan tersebut adalah bagian dari agenda pembangunan politik, baik di struktur maupun kultur. Di struktur, perubahan diarahkan pada supra, mezo dan infrastruktur politik. 

Disadari bahwa perubahan di Parpol adalah bagian dari agenda perubahan di infrastruktur politik. Fokusnya pada interest group dan pressure group. Karena parpol merupakan bagian dari kelompok kepentingan, maka agenda perubahan pada masa itu difokuskan pada konteks penguatan idiologi (Pancasila), internal parpol, dan pembinaan parpol (termasuk bantuan parpol). Perdebatan penting saat itu sejak Kemendagri dianggap bukan pembina langsung Parpol menjadikan relasi pemerintah terhadap Parpol berjarak.

Persoalannya, apakah pemerintah perlu mengatur isi perut Parpol terkait anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya? Saya ambil contoh, pengaturan syarat kader pada setiap parpol minimal sarjana misalnya. Atau soal apakah desentralisasi kewenangan dari pimpinan pusat Parpol ke wilayah, cabang dan ranting harus diatur dalam undang-undang? Itu dianggap masalah internal Parpol, bukan urusan pemerintah. 

Dengan memahami dialektika itu, kita menyadari mengapa pimpinan parpol di daerah tak punya kuasa meloloskan kandidat kepala daerah yang dianggap kapabel. Semua ditentukan oleh pimpinan pusat yang dinilai feodal dan oligarchist. Satu-satunya yang dapat diintervensi adalah afirmasi positif untuk komposisi perempuan dalam kepengurusan parpol. Sisanya berjalan seperti biasa, dimana parpol memiliki hak prerogatif internal.

Mendorong perubahan di internal Parpol melalui undang-undang bukanlah perkara mudah. Masalahnya, secara faktual desainer undang-undang adalah kumpulan elit Parpol di Senayan yang secara langsung berkepentingan terhadap urusan internalnya. Kendatipun pemerintah berupaya mendorong reformasi Parpol, namun pemerintah pada dasarnya adalah Parpol pemenang itu sendiri yang juga punya kepentingan yang sama.

Dalam konteks ini mungkin lebih tepat kita menggunakan istilah reformasi Partai Politik ketimbang menggunakan istilah desentralisasi politik. Sebab istilah itu sesungguhnya telah menyentuh pada perubahan rezim pemerintahan daerah yang merupakan bagian dari desentralisasi politik. Sementara diskursus Parpol hanyalah bagian kecil dari isu politik yang maha luas. Reformasi Parpol saya pikir berada pada tiga titik krusial, yaitu idiologi, kaderisasi, dan pendanaan.

Idiologi tak hanya wajib sejalan dengan falsafah Pancasila, juga berkaitan dengan kemampuan Parpol menciptakan perbedaan yang kuat dan jelas seperti Partai Republik dan Demokrat di Amerika. Perjuangan idiologis jauh lebih ideal dibanding perjuangan pragmatis yang berujung transaksional. Ragam artikulasi Parpol hari ini lebih tampak sebagai kumpulan kepentingan yang haus kekuasaan ketimbang representasi pejuang nasionalisme, sosialisme maupun religiusme seperti politik aliran dimasa lalu.

Pada bagian kaderisasi, Parpol gagal melakukan rekrutmen terbaik sehingga political marketing nya sarat dengan kader yang penuh masalah hingga berakhir di jeruji besi sebagai koruptor. Setidaknya itu dikonfirmasi pada beberapa survei yang menunjukkan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap popularitas Parpol dan DPR. Kemungkinan lain, perubahan mekanisme pemilihan legislatif (terbuka) dan pemilihan kepala daerah (langsung) telah berkontribusi terhadap hilangnya kewenangan Parpol. Parpol tak lebih sebagai event organizer semata.

Akhirnya, masalah pelik dan klasik dalam agenda reformasi parpol berkaitan erat dengan pendanaan Parpol. Tanpa pendanaan yang cukup, Parpol hanya akan menjadi bancakan kaum oligarchi. Parpol hanya instrumen untuk menyedot sumber daya di daerah maupun pusat. Caranya tentu lewat kadernya yang duduk di posisi empuk dari pusat sampai daerah. Dengan menata keuangan Parpol, apakah lewat subsidi pemerintah maupun sumbangan masyarakat secara transparan setidaknya kita dapat mengurangi upaya Parpol menghalalkan segala cara dalam membesarkan Parpol itu sendiri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian