Status Jakarta Pasca Relokasi

Oleh. Muhadam Labolo


Pasca lahirnya undang-undang Ibukota Negara, status Jakarta sebagai Ibukota Negara sekaligus Ibukota Pemerintahan selesai. Pertanyaannya, status seperti apakah yang ideal juga realistis bagi Jakarta di hari-hari mendatang? Sebagai daerah tanpa predikat Ibukota Negara, Jakarta mesti diposisikan kembali apakah sebagai daerah khusus tertentu ataukah daerah otonom biasa. Konteks kekhususannya dimana, dan bilapun menjadi daerah biasa, apa konsekuensinya?

Kedua pilihan tersebut tentu memiliki implikasi yang mesti di takar sungguh-sungguh sebagai upaya mengeluarkan Jakarta dari masalahnya, bukan membiarkan Jakarta dengan beban baru. Kesalahan mengubah status Jakarta dapat menjadi preseden buruk atas kehendak memaksa relokasi Ibukota Negara. Mengubah status Jakarta sebagai daerah khusus atau bukan tentu tinggal merevisi UU 27/2007 Tentang Pemerintah Provinsi DKI sebagai Ibukota Negara. Beda dengan Korea Selatan dan Malaysia yang hanya memindahkan Ibukota Pemerintahan, bukan Ibukota Negara.

Menyadari karakteristik Jakarta yang kaya akan histori pergumulan politik, gravitasi ekonomi serta miniatur Indonesia, kita perlu merawat heritage tadi agar menjadi solusi. Mengingat sumbu politiknya bergeser, maka titik berat kekhususannya diarahkan ke aspek ekonomi dan sosial budaya. Kekhususan pada aspek ekonomi tentu akan memberi peluang bagi Jakarta menata diri. Ambil contoh Jakarta dapat memperkuat perdagangan dan jasa yang lebih mandiri dengan menjadikan sentra ekonomi Tanjung Priok dan Tanah Abang bukan saja berkelas di Asia Tenggara, juga dunia.

Pada sisi lain Jakarta dapat mengembangkan Kepulauan Seribu menjadi semacam Pulau Jeju di Korea Selatan. Melihat terbukanya jalur Asia ke Eropa oleh China, bukan mustahil kita dapat menghubungkan Kepulauan Seribu ke daratan Jakarta Utara. Bisa melalui jembatan gantung atau kereta bawah laut. Pada aspek sosial budayanya kita perlu mengembangkan Jakarta sebagai miniatur kebangsaan yang paling representatif. Artinya, semua kemajemukan yang terbangun selama ini bisa menjadi modal. Kota histori, padat, pluralistik dan indah seperti Macau & Singapura dapat menjadi model.

Tekanan budaya itu tentu tak melupakan afirmasi bagi etnik tertentu seperti Orang Asli Betawi (OAB). Mereka perlu dilibatkan dalam aspek politik dan ekonomi. Misalnya menyediakan posisi sebagai wakil kepala daerah atau sejumlah kursi di legislatif provinsi. Wakil kepala daerah tak perlu dipilih, cukup diangkat lewat mekanisme representasi. Bagaimana bila status Jakarta menjadi daerah otonom biasa? Artinya, sentrum otonomi tidak hanya di provinsi, bisa merembes ke semua wilayah administratif menjadi daerah otonom. Ini bisa lebih complicated dan serius.

Bila Jakarta Pusat, Selatan, Utara, Timur, Barat dan Kepulauan Seribu berubah menjadi daerah otonom, konsekuensi logisnya kita membutuhkan kursi DPRD dan Birokrasi yang lebih banyak. Ini pun jelas hanya memenuhi hasrat politik dan high cost birokrasi. Eksesnya, sepanjang wilayah Jakarta hanya dipenuhi organisasi pemerintah daerah yang melayani masyarakat. Salah satu alasan wilayah administratif Jakarta tak realistis dijadikan daerah otonom karena batas-batas geografi dan demografinya relatif cair di luar Kepulauan Seribu.

Kondisi ini jelas tak efisien dan tak efektif. Jakarta akan kembali crowded akibat perbedaan kebijakan serta dinamika politik lokal yang menguat. Tentu semakin sulit membayangkan Jakarta menjadi lebih stabil, apalagi menihilkan masalahnya pasca ditinggal pergi. Gagasan tersebut tak membantu Jakarta keluar dari masalahnya. Hemat saya, status Jakarta tetap dengan otonomi di level provinsi, sisanya wilayah administratif. Kekhususan ini sebaiknya dipertahankan dibanding bila semua wilayah administratif serentak berganti jenis kelamin menjadi daerah otonom.

Alternatif lain pengangkatan walikota Jakarta dapat dipilih oleh DPRD provinsi. Dengan standar tertentu sesuai kebutuhan pengembangan kota, para pemimpin lokal itu dapat di serap dari berbagai kelompok profesional di tengah masyarakat, bukan hanya milik parpol dan birokrat. Prinsipnya, perubahan status Jakarta sebaiknya menjadi antibiotik atas penyakit urban yang dikemukakan para desainer politik dan kebijakan selama ini, yaitu menyelesaikan masalah tanpa masalah, bukan sekedar digadaikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian