Konsekuensi Otorita di Ibukota Nusantara
Oleh. Muhadam Labolo
Perdebatan status ibukota negara kini memasuki tahap baru pasca ditetapkan sebagai beleid ibukota negara. Isu atas sejumlah teks berubah menjadi batasan dalam ketentuan umum. Misalnya saja otorita, bukan daerah administratif. Ibukota bukan semata relokasi episentrum pemerintahan, juga negara. Bedanya, Sejong yang menghabiskan 289 triliun sebagai pusat pemerintahan, Seoul tetap Ibukota Korea Selatan. Putrajaya menghabiskan 117 triliun sebagai pusat pemerintahan, tetap saja Kualalumpur Ibukota Malaysia (Berawi, 2022). Bandingkan dengan rencana 466 triliun untuk persiapan Ibukota Nusantara (Bappenas, 2022).
Otorita dalam konteks itu bersifat spesial dan sentralistik. Spesial berisi wewenang pemerintah untuk mengatur ibukota negara. Pejabatnya top down yang ditunjuk sesuai kebutuhan. Semua kriteria bergantung prerogatif pemerintah. Tak ada arus bottom up berbasis komunitas, apalagi otonomi. Semua serba koordinasi dan atas nama pemerintah. Pendek kata pejabatnya setingkat menteri yang membantu presiden di bidang Otorita Ibukota Negara.
Dengan bentuk otorita itu, artinya cara menyelenggarakan pemerintahan bersifat delegasi (Rondinelli 1985, Manan, 2001, Suwandi, 2004). Otorita jelas berbeda dengan status daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) UUD 1945 amandemen ke 4. Konstitusi hanya mengenal daerah biasa dan daerah khusus. Beda dengan konstitusi lama yang membagi daerah besar & daerah kecil. Artinya, bentuk otorita dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di daerah berpotensi inkonstitusional (Djohan, 2022).
Daerah sendiri dapat bersifat otonom juga administratif. Daerah otonom ada yang simetrik dan asimetrik. Jakarta, Aceh, Jogja, Papua & Papua Barat contoh asimetrik. Sekalipun asimetrik, Jakarta tetap berstatus daerah (otonom). Kecuali sub wilayah dibawahnya yang berstatus administratif seperti Jakarta Selatan, Utara, Timur, Barat, Pusat & Kepulauan Seribu. Lewat proses selection,_semua pejabat di wilayah itu diangkat sesuai standar oleh Gubernur. Selain provinsi, tak ada lembaga politik sebagaimana daerah simetrik di luar Jakarta.
Meletakkan suatu wilayah sebagai daerah, dapat dimaknai dari aspek politik, hukum, ekonomi, budaya, maupun lebensraum (Ndraha, 2002). Pertama, daerah secara politik adalah sub sistem kekuasaan. Dalam konteks itu daerah memiliki hubungan kekuasaan yang bersifat hirarkhis. Sebagai lembaga politik, daerah memiliki daya tawar dalam merepresentasikan kepentingannya pada pemerintah pusat lewat politics local. Otorita jelas tak punya kelembagaan politik lokal sebagai jembatan aspirasi.
Kedua, daerah secara hukum didefenisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas tertentu, mengatur dan mengurus kepentingan sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dalam kerangka NKRI (UU 23/2014). Konsekuensi batasan ini melahirkan daerah otonom yang kewenangannya bisa luas (ultra vires) dan terbatas (general competence) sesuai pengaturan dalam undang-undang. Otorita bukan kesatuan masyarakat hukum yang dapat mengatur diri sendiri. Mereka di atur secara vertikal.
Ketiga, daerah dimaknai sebagai unit pengembangan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat di daerah. Daerah dapat mengembangkan nilai ekonominya sesuai kebutuhan. Dalam status otorita, nilai daerah ditentukan oleh pemerintah, termasuk nilai barang yang beredar. Harga seperangkat alat elektronik bisa jauh lebih murah atau mahal sebagaimana praktek di wilayah Otorita Batam. Daerah tak punya nilai ekonomi mandiri, kecuali dikembangkan tersentral. Disitu potensi kapitalisasi lewat oligarchi terbuka luas, termasuk mobilisasi urban dengan alasan ekonomi.
Keempat, daerah pada hakekatnya adalah lingkungan sosial budaya. Dalam relasi itu komunitas asli berhak mengembangkan jati dirinya sesuai karakteristik budayanya. Dengan otorita, komunitas jenin berpotensi kehilangan keunikan (indigeneous local) akibat lokalisasi. Lihat kasus Betawi di Setu Babakan. Lebih lagi tersisih oleh komunitas urban lewat sistem yang dicipta dari atas. Kepunahan itu tidak saja pada etnik, juga rentan pada flora dan fauna. Konflik tumbuh bukan saja antara manusia dengan manusia, juga antara manusia dengan alam (Wirutomo, 2022).
Kelima, daerah sebagai lebensraum (ruang hidup) dapat diartikan basis pertahanan dan keamanan bagi identitas kebangsaan (geopolitics). Dengan mengkalkulasi orbitasi Ibukota negara ke Singapura, Malaysia dan sekitarnya yang semakin dekat, tentu membutuhkan supporting sistem pertahanan yang lebih memadai (Connie, 2022). Jika pertahanan semesta membutuhkan dukungan komunitas sebagai basis bela negara, maka bentuk otorita jelas tak menghubungkan spirit bela Ibukota Negara sebagai simbol lebensraum utama. Mereka jelas terpisah antara otorita di Istana Nusantara & rakyat di pedalaman.
Komentar
Posting Komentar