Terima Kasih Prof. Ngadisah
Oleh. Muhadam
Mengawali persapaan, saya sebagai salah satu anak didik mengucapkan terima kasih tak terhingga atas semua pengabdian Prof. Ngadisah baik sebagai guru senior maupun sebagai mantan pimpinan dilingkungan civitas IPDN. Sebagai guru tentu tak ada kata pensiun. Guru ya tetap saja guru, terlepas dari perubahan status pekerjaan secara formalistik. Beliau guru sepanjang masa, dengan semua petitie kecil di benak kita masing-masing. Mudah-mudahan kita dapat diberi usia panjang dan keteladanan, seperti para senior yang telah mengabdi lewat gerak kepemimpinan yang khas.
Tahun 1999, setahun pasca Orba _collaps,_ saya berjumpa Rektor IIP perempuan pertama di Kampus Jakarta. Bu Ngadisah, begitu sapaan santun untuk beliau, walau sering dipelesetkan mahasiswa dengan senyum, Bunga Desa. Hanya lebih setahun menjabat, beliau dikukuhkan sebagai guru besar bidang sosiologi. Disertasi beliau yang kemudian dibukukan berjudul, Konflik Pembangunan & Gerakan Sosial Politik di Papua. (Pustaka Raja, 2003, dapat diakses di Perpustakaan Unika Atmajaya atau Universitas Terbuka).
Maklum, buku-buku terbaik produk dosen-dosen IIP seperti beliau, Prof. Muchlis, Prof. Djohermansyah, Prof. Sadu, Prof. Aries Djaenuri, Prof. Talizi, Prof. Ryaas, atau JRG. Djopari lebih mudah ditemukan di perguruan tinggi lain, bahkan sampai saat ini. Saya kebetulan punya satu, lebih dari 300 hal. Tentu bukan itu saja, makalah dan jurnal Prof. Ngadisah cukup banyak berseliweran dilingkungan kampus.
Di kelas politik, Prof. Ngadisah mengajar mata kuliah Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Basis filsafat-sosiologi dari UGM & UI saya pikir pas di matkul itu. Dulu, tak ada satupun dosen masuk kelas bawa laptop. Semua tersimpan rapi di software kepala masing-masing. Satu dua yang bawa buku, itupun buat pengingat jika sewaktu-waktu lupa, atau mencatat tugas dan mahasiswa bermasalah.
Cukup dengan sebuah spidol, Prof. Ngadisah bisa mengajar dengan baik, pelan, runtut dan sistematis. Gaya beliau masih terbawa waktu bareng presentasi di salah satu hotel di Lombok. Tak terhitung berapa kali beliau mengajar diberbagai diklat kepemimpinan sipil dan sesko polisi/militer. Kalau sibuk, biasanya diganti oleh Pak Asrihadi, Pak Hyronimus, atau Pak Syamsurizal.
Saat rektor, beliau masih menyisakan waktu untuk masuk kelas di sela kesibukan rapat. Sisanya diambil alih dosen co. Saya bersyukur dapat mencatat bagian penting dari sisi pelajaran beliau tentang suksesi kepemimpinan dalam pemerintahan. Dan, ini punya cerita khusus, saya tak bisa lupa seumur hidup. Karena dapat keuntungan langsung.
Waktu ikut Talk Show Elsinta (2000) hari sabtu di Hotel Wisata (belakang Hotel Indonesia), saya duduk dibelakang host, Pak Eki Syachruddin (aktivis pendiri Prov.Banten dan mantan Dubes Kanada). Kebetulan narsumnya orang PDIP vs PKB. Topiknya soal masa depan kepemimpinan Gus Dur. Pentolan PDIP itu dicecar habis-habisan dengan pertanyaan sulit soal ukuran suksesi kepemimpinan.
Beruntungnya, ada iklan lewat. Tokoh senior PDIP itu izin sebentar ke toilet. Tampak dia gusar dan kehilangan jawaban. Entah kenapa tiba-tiba saya jadi ingat pelajaran Prof. Ngadisah Jumat kemaren. Dengan memberanikan diri sebagai mahasiswa saya ikut ke toilet sambil berbisik ke beliau. Saya kasi kisi-kisi soal suksesi kepemimpinan dalam pemerintahan.
Wajahnya berubah cerah, dia dengarkan dengan sungguh-sungguh, dia catat, lalu buru-buru masuk ke ruang talk show penuh confidence. Dia sangat berterima kasih. Begitu iklan selesai, tanpa disuru Eki, sang tokoh langsung membabat habis lawan bicaranya sampai tuntas sambil membaca catatan satu persatu. Jawaban telak, tak ada respon, talk show berakhir ditutup Eki.
Selesai acara, saya berjalan pulang. Tapi saya rupanya dicari sang tokoh itu. Semua honor narsumnya dikasi ke saya. Saya kaget dan bingung, trima kasih katanya sambil bergegas ke mobil dinas anggota DPR RI. Disitu saya merenung, pelajaran singkat Prof. Ngadisah rupanya bisa menghasilkan uang, apalagi kalau benar-benar jadi pemimpin. Saya pulang dengan happy, naik taxi, bukan lagi Bus Cilandak-Tanah Abang yang panas menyengat.
Selepas diterima sebagai dosen IIP, saya di telpon beliau untuk bertugas ke IPDN Makassar. Saya berangkat berdua dengan Pak Prio (ke Sumbar) sebagai anggota tim detasering penyiapan IPDN Regional. Tak semua sanggup, beberapa mundur setelah dilantik. Setahun lebih disana lalu minta izin menyelesaikan doktor di Unpadj (2011). Syukur semua bisa dilaksanakan dengan baik.
Sekitar tahun 2004, pasca kasus Wahyu Hidayat, saya berkesempatan diikutkan ke Belanda dan Belgia bersama Prof. Ngadisah, Prof. Muchlis, Prof. Khasan, Prof. Zudan, dan Dr. Hyronimus. Saya juga berterima kasih atas kesempatan short courses di Hyderabad, India selama 2 bulan bersama dosen lain. Its, the first time abroad. Semoga Allah swt membalas semua kebaikan Prof. Ngadisah, tak lupa kesehatan sepanjang waktu, aamiin...
Komentar
Posting Komentar