Ibukota Negara, Administratif atau Otorita?

Oleh. Muhadam Labolo


Dilema penetapan status ibukota negara apakah administratif atau otorita kemungkinan disebabkan oleh pertimbangan efisiensi, efektivitas, stabilitas, perlakuan, maupun pengembangan wilayah dimasa mendatang. Sejumlah aspek itu umumnya dimaknai sebagai hal berbeda hingga perlu diperlakukan secara afirmatif, apalagi sebagai ibukota negara. Hal yang sama dapat dilihat pada sejumlah kota seperti Kuala Lumpur, Manila, Canberra, Washington DC, Paris, Tokyo, Seoul dll. Kota-kota itu tentu memiliki kekhususan tersendiri sebagai konsekuensi selaku ibukota negara. Kekhususan itu bergantung kepentingan negara terhadap ibukota sebagai beranda utama sekaligus simbol negara. Bagaimana dengan ibukota baru di negara kita?

Sebelum menjawab hal itu, pertanyaan pokoknya adalah, apakah cara yang digunakan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah? Jawaban teoritis yang umum dipakai para ilmuan pemerintahan adalah cara dekonsentrasi, desentralisasi, delegasi dan privatisasi (Rondinelli & Chema, 1983).  Desentralisasi tampak dalam penyerahan urusan dari pemerintah ke daerah yang mencipta daerah otonom. Delegasi adalah lembaga semi pemerintah (quasi government) yang memiliki otoritas mengerjakan suatu urusan pemerintah (Muthallib & Khan, 1980). Di Indonesia, contoh lembaga yang terbentuk berdasarkan delegasi misalnya Badan Otorita Batam, Badan Usaha Milik Negara, Badan Tenaga Atom Nasional, Bakorsurtanal dll (Suwandi, 2005).

Privatisasi berimplikasi dilaksanakannya sebagian fungsi pemerintahan oleh pihak swasta. Varian konsep ini dapat berbentuk (Built Operate Own (BOO), Built Operate Transfer (BOT), Management Contracting Out (MCO) dll. Di negara-negara demokrasi privatisasi banyak dilakukan sehingga negara lebih banyak berfokus pada pelayanan dasar dibanding pembangunan yang bersifat mega projek. Dari aspek normatif, penetapan status ibukota negara apakah administratif atau otorita tidaklah tepat menggunakan istilah khusus sebagaimana dimaksud dalam konstitusi Pasal 18B ayat (1). Konteks ayat ini lebih dimaksud pada satuan pemerintahan khusus yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dan masih lestari hingga saat ini seperti daerah swapraja (zelfbestuur) Daerah Istimewa Jogjakarta.

Di luar itu negara me-rekognisi masyarakat adat yang eksis dan lestari seperti Subak, Jorong, Nagari, Gampong, dll (Pasal 18B ayat 2). Jadi sekali lagi, pembentukan wilayah ibukota negara yang baru tidaklah pas menggunakan rujukan Pasal 18B. Keduanya jelas merujuk pada satuan pemerintahan khusus & masyarakat adat yang memiliki latar historis tertentu, bukan daerah baru yang sengaja dibentuk. Perlu diingat bahwa penjelasan UUD 1945 sebelum di amandemen menempatkan konsep dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah (lihat juga UU 5/74). Pasca amandemen, asas penyelenggaraan pemerintahan di daerah hanya dua, yaitu asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat 2). 

Lalu kemana konsep dekonsentrasi dan desentralisasi? Keduanya bukan asas tapi cara. Cara bagaimana menyelenggarakan pemerintahan di daerah, dapat dengan cara desentralisasi, bisa dengan cara dekonsentrasi (Bagir Manan & Jimly Ashiddiq, 2001). Cara pertama bisa ultra vires_ atau general competence. Sedangkan cara kedua bisa dalam bentuk integreated field administration atau functionale field administration. Dengan memahami pendekatan teoritik dan normatif di atas kita dapat mengatakan bahwa penetapan status ibukota negara lebih pada soal cara. Cara bagaimana menyelenggarakan pemerintahan ibukota negara. Tentu saja dengan cara delegasi, bukan dalam konteks daerah khusus yang dimaksud pasal 18B ayat (1).

Bahwa kemudian ibukota negara ditetapkan sebagai daerah khusus sebagaimana Provinsi DKI Jakarta, itu soal lain. Tetapi pembentukan ibukota negara itu sendiri hanyalah suatu cara dalam menyelenggarakan pemerintahan melalui konsep delegasi. Itu pun jika yang ingin dibentuk adalah badan otorita (Sumarsono, 2021). Jika pilihan status ibukota negara bersifat administratif, maka susunan pemerintahan tetap berada dibawah provinsi otonom. Sekalipun demikian, wilayah administratif bukanlah daerah otonom sehingga tak berhak mengelola rumah tangga sendiri. Konsekuensinya tak membutuhkan legislatif lokal sebagaimana kabupaten dan kota administratif di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian