Hantu Neng Lilis di Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo

Konon, sejak angkatan awal masuk di Kawah Candradimuka Manglayang, salah satu mitos populer adalah hadirnya mahluk halus Neng Lilis disekitar barak pada malam purnama. Di imaji praja, bajunya merah menyala, cantik, putih, mulus, berambut panjang, melayang, tak lupa dihiasi wajah muram-durja. Banyak tafsir kesedihan itu, diantaranya ditinggal pacar hingga bunuh diri di depan kampus. Konkritnya gantung diri di seputar gedung APDN lama. 

Dampak psikologisnya, praja diminta berhati-hati agar performa meyakinkan lewat pesona atribut yang melekat di pakaian dinasnya tak mudah dimanipulasi bagi kepentingan nafsu belaka. Mitos itu baik untuk mengendalikan keinginan menanamkan investasi dimana-mana yang membuat banyak mahluk sebangsa Lilis ditinggal merana di sekitar Jatinangor.

Mitos yang ditransformasikan secara hirarkhi dan turun-temurun itu kini mengalami metamorfosis. Neng Lilis masih terlihat awet dengan versi kekinian duduk santai di kereta kencana. Menariknya, terakhir kali Neng Lilis terlihat tak hanya berada di atas kereta, juga sedang mengoperasikan Handphone Android merek Samsung produk terbaru. Mitos rupanya mengalami perkembangan pesat sesuai selera dan versi angkatan masing-masing. 

Dua puluh tahun lalu arwah Neng Lilis berbau horor. Sekarang diselingi humor, bahkan menantang untuk didekati lewat media sosial. Yang jelas tak ada satupun yang mampu menguak eksistensialitas Neng Lilis nan gelius itu. Mungkin hanya sebatas fiksi yang sengaja direkayasa senior guna mengekang nafsu liar praja agar tak gampang keluar kampus meski tak ada pagar tembok dimasa itu. 

Terlepas dari itu, mitos Lilis secara pragmatis setidaknya mampu menciptakan stabilitas dan disiplin bagi kelompok Jaga Serambi, khususnya di rentang jam 1 sampai 5 dini hari. Kealpaan jaga akan mengundang Neng Lilis benar-benar hadir dalam rupanya yang halus, atau dalam personifikasi aslinya, Jaga Manggala dan Polisi Praja. Sedikit sentuhan mereka dapat membuat Jaga Serambi benar-benar mengalami halusinasi dan ketakutan yang luar biasa. 

Mereka yang kurang bernyali tak segan-segan menukar roti dengan waktu jaga kepada praja lain. Praja bernyali, lapar, dan oportunistik menguasai jadwal ronda di waktu strategis itu walau dengan resiko fifty-fifty. Bisa jadi lolos dan kenyang makan Roti Kopyor, atau pingsan dipermainkan sosok Neng Lilis yang telah berubah menjadi pria kekar dan menakutkan, seniornya.

Di era klasik, sebelum agama dan pengetahuan datang, mitos menjadi satu-satunya pengendali efektif sekaligus doktrin bagi pendidikan anak usia dini. Dilingkungan keluarga ada semacam pantangan yang diyakini kolektif. Bahkan dalam masyarakat tak sedikit larangan yang mesti dipatuhi. Konsekuensi atas pelanggaran dapat di isolasi, di denda, atau dihukum adat. 

Artefak mitos masih tersisa dalam bentuk foklor, legenda atau dongeng yang dinikmati generasi hari-hari ini. Jepang, salah satu negara yang berusaha mengembangkan imajinasi bangsanya lewat mitos dari masa kanak-kanak. Kematian tokoh Naruto beberapa waktu lalu secara kualitatif mengejutkan warganet. Tak sedikit yang meneteskan air mata sekalipun sosok Naruto dihidupkan kembali oleh produsernya. 

Harus diakui bahwa mitos tak hanya mampu menggerakkan, juga mencipta imajinasi tak terbatas lewat fiksi yang kita baca. Mitos jelas mempengaruhi kognisi, psiko dan afeksi di setiap generasi. Bentuknya saja yang berbeda-beda. Mereka yang pernah sekolah di Manglayang tentu punya mitos yang disimpan rapi. Dalam relasi itu pendidikan kader pun membutuhkan spirit untuk menggerakkan kognisi, psiko dan afeksi. Mesti disadari bahwa pendidikan tak hanya melulu soal kognisi (pengajaran), juga psiko (pelatihan) dan afeksinya (perilaku). Ironi jika dosen melimpah di kelas tapi pelatih dan pengasuhnya justru minim, baik kualitas maupun kuantitas. 

Padahal fakta menunjukkan bahwa Purnapraja yang teruji dilapangan dan mencapai puncak-puncak karir tertinggi bukan semata-mata karena efek kognisi, tapi lebih diuntungkan oleh kemampuan psiko dan afeksinya. Penelitian sejumlah pakar meyakinkan kita bahwa 80% kesuksesan ditentukan oleh soft skills, lewat psiko dan afeksi diatas (Roesmini, 2014). Inilah nilai strategis pendidikan kader, bukan sekedar memenuhi kelas pengajaran di pagi hari, tapi sepi di kelas pelatihan dan pembentukan karakter di jadwal lain.

Kritik atas pola penjatuhan hukuman yang dinilai tak mendidik penting untuk direnungkan. Apakah yang dimaksud adalah tak mendidik dari aspek kognisi, psiko, atau afeksi. Hemat saya, mendidik seseorang untuk pintar sejauh ini mudah. Cukup beri mereka kesempatan membaca, ke perpustakaan. Teknologi informasi mampu menjawab melampaui ekspektasi kita. Tetapi memaksa mereka untuk antrian, disiplin ke kelas, bimbingan, tidak ribut, loyal, merapikan urusan dinas dalam, jujur, ikhlas tentu membutuhkan pendidikan afeksi yang tidak hanya telaten, juga berulang-ulang diawasi hingga mencipta kesadaran dan habituasi. 

Demikian pula mendidik kecakapan public speaking, protokoler, tata naskah, kearsipan dan lain sebagainya, membutuhkan pengulangan sampai mereka benar-benar mahir minimal pada tingkat dasar. Inilah peran pengasuh dan pelatih dalam pendidikan kader yang tak sekedar dijadikan pelengkap penderita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian