Mengenang Almamaterku

Oleh. Muhadam Labolo


Tahun 1992 saya masuk sekolah Manglayang, STPDN. Di kampung, dibilang sekolah camat, leburan APDN di daerah. Saya hanya ingat camat di kampung, pakaiannya putih bersih, pake peci hitam saat upacara 17 agustusan. Kapolsek dan Danramil manut dikiri kanan. Dari depan, kampus itu megah dan wibawa. Tak banyak yang diingat, kecuali senior, pengasuh, dan tokoh legendaris yang mengendap dalam ingatan civitas, Sartono, Djaffar dan Indrarto. Yang lain tak dilupakan, tapi yang tiga diatas sulit dikecualikan. Tanpa mereka, percakapan alumni terasa kering & hambar.

Sartono HS hebat karena kepemimpinannya yang tenang, lembut tanpa kehilangan ketegasan dan kharisma yang tinggi. Dia mantan Bupati Kampar dan purnawirawan bintang dua yang bahkan tak dikenal tetangganya yang seorang tentara pula. Ketua STPDN itu pergi dengan diam beberpa tahun lalu ditengah didikannya mulai tumbuh jadi pejabat di Cimahi. Saya hadiri pemakamannya.

Djaffar, mantan pembina di Akmil itu diminta Rudini membantu Sartono. Tak ada kompromi, Djaffar representasi tentara lapangan. Dia eksekutor. Dia bisa garang di apel, tapi lembut dirumah saat praja dengan ketakutan dipaksa menghadap bersama ortunya. Beliau kembali ke Akmil dan wafat di Manado saat tugas. Kami doakan sambil kirim karangan bunga duka. Adiknya akrab dengan saya di pasca, suka cerita panjang kali lebar soal pengalaman lucu Masnya.

Indrarto, tokoh legendaris ini masih hidup, menyepi di Malang bersama istri tercinta. Sekali-kali diundang oleh alumni, beri pengantar agar memori kolektif bisa hidup kembali. Pak In sebutannya, cermin kedisiplinan yang luar biasa. Tak ada negosiasi kecuali laksanakan. Bila Djaffar sebatas pagar, Pak In pasti sampai ke lorong PUDD. Beliau super teliti, dari ujung kaki sampai rambut, tak ada yang terlewat. Dia disebut burung garuda hidup. Bisa bertengger kapan dan dimana saja, termasuk di Menza dan Barak. Konsekuensi, tanggung penumpang.

Tahun 1999 saya berkesempatan masuk IIP. Masuk disitu butuh keberuntungan. Saya telat setahun karena urus kelurahan teladan. Kalau tak lulus IIP biasanya masuk UGM, Unhas, Unsrat, Unbra, USU atau UI, dll. Masuk kampus IIP pasti membanggakan, karena kata orang kalau nanya soal pertanian pergi ke IPB, bila soal teknologi nanya ke ITB, tapi soal pemerintahan sudah pasti anda musti nanya sama IIP.  Bergengsilah.

Dulu, dosen di IIP berkelas dan menasional. Di generasi pertama ada Prof. Soewargono, peletak state of the art ilmu pemerintahan. Ada Prof. Pamudji yang buku kepemimpinan pemerintahannya jadi rujukan perguruan tinggi dari Sabang sampai Merauke. Ada Prof. Baharuddin Tjenreng yang anak dan menantunya sekarang jadi penerusnya, dosen IPDN.

Nama Aula Zamhier Islamy diambil dari kepemimpinan dan kesederhanaan Pak Zamhier. Ayah Pak In pun jadi nama salah satu taman di depan rektorat IIP, Djayadiatma. Dia rektor pertama. Banyak dosen UGM waktu itu turut mengajar kuliah umum seperti Prof. Affan Gaffar dan Prof. Riswanda. Keduanya pakar politik, wafat hanya berselang setahun. Mereka gank Prof. Ryaas saat menyusun UU otda, bareng Anas Urbaningrum dll.

Prof. Ryaas sudah populer, masih mengajar sekali-kali karena sibuk urus rancangan otda. Syukur di back up Dr. Andi Mallarangeng sekaligus ketua jurusan politik. Sama sibuknya. Jurusan politik dari dulu dianggap hebat karena banyak dosen kuat disitu, termasuk Prof. Nurul Aini yang bersuami sutradara terkenal. Sementara kebijakan dikawal Prof. Djohermansyah dan Prof. Muchlis. Dua pakar yang pernah jadi dirjen dan staf khusus mendagri. 

Ada pula dosen tamu dari UI seperti Prof. Harun Al Rasyid dan Prof. Arbi Sabit. Hamid Awaluddin juga bergabung sebelum diangkat jadi Menhum oleh JK. Saya dapat semua, kecuali Prof. Deliar Noor dan Prof. Quraish Shihab yang kebagian jadi khotib jumat di Masjid At Taklim. Generasi Deliar Noor jadi kawan baik di Unpadj, ketua departemen politik, Prof. Nandang Deliar Noor.

Di lapis selanjutnya, tak usah tanya, ada Prof. Talizi. Dia penggali ilmu, workholic, bisa sampai subuh bertahan nulis buku diruangannya. Hasilnya, Kybernologi berjilid-jilid hingga 27 seri. Beliau hebat, tak bisa diragukan. Masih muda galak, di usia senja dia sangat jinak. Waktu sosiolog terkenal Prof. Selo Sumardjan di undang ke aula terlihat mereka diskusi ringan, santun sambil tersenyum, kami yang lewat jadi sungkan dan hormat. Waktu simposium ilmu pemerintahan hadir Prof. Juwono dan Prof. Mattulada dari Unhas. Kalau Prof. Ryaas, walau suka berselisih pikir dengan Prof. Yusril dan Sejarawan Bugis Prof. Anhar Gonggong tetap akrab sambil tertawa lebar usai seminar. Mereka piawai dibidangnya masing-masing.

Sebagian dosen IIP dikirim ke Belanda selama 3 sampai 6 bulan. Beberapa ke Amerika dan eropa. Yang ke Belanda disuru belajar ke Leiden. Pak Djopari yang pintar dan papua asli punya buku terjemahan Van Bram soal sosiologi pemerintahan. Di IIP ada sosiolog seperti Prof. Ngadisah dan almarhumah Bu Azizah Etek. Ada juga filosof dari UGM Pak Abu Hasan yang rada sulit dipahami catatannya, tapi mudah dipahami jika berdiskusi mendalam.

Mata kuliah hukum tata usaha negara dibawa Prof. Madjloes, Benyamin Mangkoedilaga (mantan jaksa agung) dan Prof. Prajudi. Ada pula Pak Ben Mboi, mantan gubernur NTT  yang terkenal killer tapi sangat menguasai teori dan praktek pemerintahan. Dia fasih bahasa Belanda. Yang bisa tandingi hanya Pak Bernardus Luankali, bisa bahasa Latin, Inggris, dan Tetum Timor Leste. Beliau periang, lucu, khas dan kritis, wafat di Kupang setelah amputasi karena diabet.

Dosen UGM seperti Prof. Mulyarto, Yosef Riwu Kaho dan Prof. Purwo Santoso suka mengajar dan menguji S1. Ada juga Prof. Roesdibiono yang nyentrik dengan gitar tunggalnya, ahli manajemen disaster di Perancis. Dari struktural ada Pak Sumitro Maskun dan Prof. Sondang P Siagian. Dua orang ini ahli otonomi dan administrasi pembangunan. Bukunya banyak dipakai sebagai rujukan waktu itu. Di ekonomi, ada Prof. Djamaluddin, orang Makassar yang baik dan tenang.

Saya sempat dibimbing almarhum Pak Syamsurizal sekaligus ketua jurusan politik. Prof. Muchlis di S2, dan Prof. Talizi sebagai promotor S2 dan S3. Saya dapat banyak ilmu dari mereka. Waktu di Jatinangor saya hanya ingat pelajaran Prof. Sadu dan Dr. Ondo Riyani khusus ilmu manajemen dan politik. Sisanya lupa karena full stres. Sulit mikir disana, kalau di IIP kognisi saya cepat berkembang, apalagi kawan-kawan suka ajak diskusi, buat club belajar seperti gaya Plato.

Jujur saja, Kampus Manglayang berkontribusi besar membentuk psiko dan afeksi saya. Itu sulit, hanya dengan sistem boarding perilaku kita dapat berubah, sistem sosialnya di desain agar terbentuk sikap ideal yang diharapkan. Orang boleh pandai, tapi belum tentu tau berterima kasih. Sementara kampus cilandak berkontribusi besar merangsang kognisi saya, mempelajari banyak hal tentang makna pemerintahan. Menurut saya, itu semua hanya mungkin terjadi bila suasana akademik tercipta oleh visi kepemimpinan civitas yang juga memiliki kedalaman intelektual yang hebat.

Saya mesti berterima kasih dan memberi apresiasi yang tinggi kepada mereka semua, peletak dasar di kedua kampus hebat itu. Tugas kita adalah merawat agar terus berkembang dan tumbuh dengan spirit akademik yang kuat, bukan dengan kekuasaan semata. Semoga renungan pendek ini membantu kita meloncat dari ingatan ke realita depan yang lebih baik, aamiin..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian