Polemik Penjabat Kepala Daerah

Oleh. Muhadam Labolo

Setidaknya tiga warta harian online tanggal 21-23 Mei 2022 menginformasikan polemik pengisian penjabat kepala daerah dan konsekuensi posisi yang ditinggal oleh pejabat itu sendiri (newssultra, radarkotanews, & indopos.co.id). Gubernur ogah melantik sekalipun SK telah diterima. Soal lain terkait kepatuhan pemerintah atas Fatwa MK terkait pola pengisian penjabat, serta mekanisme rekrutmen penjabat. Isu ini setidaknya dijawab lewat aturan organik setingkat PP dan Permen agar tak mengganggu agenda besar 2024.

Kepatuhan dalam pengisian penjabat kepala daerah dapat dilihat pada kesiapan mekanisme rekrutmen penjabat di luar ASN (Polisi/Tentara aktif), selain konsistensi terhadap mekanisme yang lazim selama ini. Pengalaman sudah-sudah, mekanisme penetapan penjabat bupati dan walikota bersifat bottom up melalui usul Gubernur. Disisi lain mekanisme penetapan penjabat di level provinsi bersifat top down oleh presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

Mekanisme ini sebenarnya lebih fairness dan telah berlangsung bertahun-tahun. Tak ada soal. Sekalipun tak bisa dikatakan demokratis, namun dengan alasan transisi kekuasaan yang pendek, mekanisme tersebut  tampak lebih adil karena berbagi. Hari-hari ini pengisian menjadi seksi karena transisinya relatif lama, lebih kurang dua tahun dengan jumlah kekosongan sebanyak 101 kepala daerah. Disini rentan gaduh karena jabatan politik itu hendak diisi oleh pejabat karier murni, birokrat sipil plus Polisi/Tentara aktif.

Kepatuhan terhadap fatwa MK dalam pengisian penjabat selayaknya direspon dengan mereparasi aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah. Sejumlah hal yang perlu diperjelas misalnya, pertama, siapa yang dimaksud penjabat sesuai amanah UU No. 10/2016 Tentang Pemilukada dan perubahannya. Siapa Pejabat Tinggi Madya & Pratama itu. Bila dikonversi kedalam jabatan sipil struktural, fungsional dan Polisi/Tentara aktif, setaraf apa jabatan dimaksud mengingat nomenklatur pada sejumlah instansi pusat berbeda-beda.

Kedua, jika aturan teknis itu merambah di luar fatwa MK soal polisi dan tentara aktif, harus jelas dengan urgensi apa mereka dibolehkan. Misalnya, perwira setaraf apa yang dimaksud Pasal 201 ayat (10) dan (11) UU No.10/2016 itu. Bila tidak diperbolehkan sesuai warning MK, sebaiknya tak perlu di akomodir dalam regulasi teknis sehingga pemerintah tegak lurus dengan perintah hukum. Mengatur hal-hal di luar koridor fatwa MK dan amanah UU Pemilu dapat dinilai mengkhianati hukum yang notabene di produksi pemerintah sendiri.

Ketiga, aturan teknis penting menjawab konsekuensi yang timbul akibat terjadinya kekosongan pejabat yang ditugaskan sebagaimana kasus Sekda Banten merangkap Pj Gubernur Banten. Dilemanya, bila diisi oleh pejabat baru maka status Pj Sekda sama artinya dibebastugaskan dari jabatan definitifnya. Perlu diingat bahwa sekda provinsi salah satu perangkat pemerintah pusat di daerah (karena jabatannya), bukan semata sekretaris daerah otonom.  Pengisian ini menambah panjang antrian penjabat sementara diberbagai posisi dan tingkatan. Efeknya pada efektivitas pemerintahan. 

Keempat, mekanisme top down pada penjabat provinsi dan bottom up bagi penjabat bupati/walikota harus tegas di atur dalam hal ini. Menempatkan penjabat bupati/walikota yang bukan usulan pemerintah provinsi jelas mencederai prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (asas kepastian). Sekalipun pemerintah berdalih bahwa untuk kepentingan strategis jabatan tersebut dapat diisi oleh pemerintah pusat, namun kondisi normal semacam ini jelas tak cukup memberi alasan untuk maksud tersebut.

Memaksakan keinginan menurunkan penjabat pusat ke level kab/kota dengan sendirinya tak hanya melahirkan ketegangan kreatif antara gubernur dengan penjabat yang ditunjuk, juga dengan pemerintah sendiri. Lebih lagi jika lapis bawah menilai para penjabat hanyalah kaki tangan yang sengaja disusupkan untuk kepentingan politik. Disharmoni dan distrust itu pada ujungnya dapat menghambat upaya pemerintah dan mereka yang di daulat menjalankan tugas berat sebagai penjabat kepala daerah.

Kelima, aturan teknis setidaknya mampu menjelaskan tata cara rekrutmen internal sehingga semua penjabat yang diturunkan sungguh-sungguh dapat dipertanggungkawabkan dari kriteria umum dan khusus yang dipersyaratkan. Hal ini memperkecil kecurigaan publik atas transparansi pemerintah terkait alokasi penjabat di daerah. Seseorang yang tak dikenal publik sekurangnya telah melewati mekanisme ketat oleh panelis badan adhoc pertimbangan penjabat. Bukan tiba-tiba muncul sebagai penjabat di Seram Bagian Barat, Banggai Kepulauan, Muna Barat atau Buton Selatan.

Dengan meramu kelima hal di atas secara teknis, publik percaya bahwa siapapun yang turun menjadi penjabat telah melalui tahap selektif. Dengan begitu netralitas pemerintah lebih terlihat, selain relasi antar pejabat definitif dengan penjabat sementara, termasuk masyarakat luas berjalan harmonis. Tentu saja semua itu menjadi kredit point bagi kesuksesan pemilu 2024. Tanpa keseriusan kita menata mekanisme semacam itu dengan sendirinya membuka polemik, kegaduhan, transaksional, diskriminatif, serta tuntutan hukum di hari-hari mendatang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]