Kasus Roti Capra

Oleh. Muhadam Labolo

Capra berlari terengah-engah ke lahan pertanian. Ibarat sekawanan domba dihalau satu dua anjing pelacak, Darmapati Nindya Praja. Beberapa terhuyung kelelahan. Tapi tak berani berontak, mengeluh tertahan dalam barisan. Serentetan sumpah serapah muntah bercampur air liur. Basah diludahkan. Bukan mau marah takut dosa, tapi mau marah takut di gampar. Kesal luar biasa. 

Setiba dilahan seluas lapangan sepak bola, roti dibagikan satu persatu. Bahagia bercampur was-was. Berebut seperti ikan koki diberi makan. Rasanya jatah roti sepadan dengan sakit hati. Bagi Capra, roti adalah aset berharga. Kalau hilang bisa adu jotos, bahkan melibatkan unsur sara, kontingen. Karnanya, dinikmati perlahan-lahan, selama & sesantai mungkin. Bila perlu diresapi sampai ke ubun-ubun. Sekerat demi sekerat, sambil bersandar lelah di tiup angin sepoi basah, dibawah pohon pinus lembah Manglayang.

Itu separoh mimpi, bila distribusi roti berjalan normal. Artinya, tidak ada kejadian luar biasa, alias cateris paribus. Siang itu semua jatah roti dilempar habis oleh ketua kelas. Anehnya, jumlah roti 40 dibagi ke 40 Capra masih kurang satu. Ketua kelas gelisah menghitung sampai 3x. Tapi hasilnya tetap sama, tekor satu. Sepintas logika kuantitatif tak ada masalah, namun realitas kualitatifnya bermasalah. Ada jatah hilang, ada Capra tak kebagian. Ini mencemaskan. Tragedi.

Kasus luar biasa itu sampai ke telinga Darmapati. Muka Nindya kesal minta amplop. Tak menunggu waktu semua dihalau dilapangan kosong. Tapi hanya kelas itu. Darmapati Nindya murka karena ada Capra kurus tak kebagian roti. Jangankan body, bau roti pun Ia belum kebagian. Dianggap jajaran Kasat Darma yang sunat jatah sembako untuk Capra lapar itu. Ini memalukan, patut diberi pelajaran. Mesti dicari siapa pelakunya, hidup atau mati. Semua dikumpulkan.

Satu demi satu diinterogasi. Di geledah saku baju dan celana hitam. Persis tawanan perang. Capra yang sempat bermimpi indah soal roti kehilangan nafsu. Mulut terkunci, nafas tak beraturan dipaksa lari menuju TKP. Keringat menguap, siaga satu di barisan. Topi dilepas, Nindya curiga ada yang nekat menyembunyikan roti di kepala. Namun belum sampai ke ujung barisan, seorang Capra pucat pasi di depan Darmapati. Rupanya roti itu bersembunyi dibelakang saku celana. Entah sengaja atau tidak, roti ditemukan. Utuh.

Nasib roti itu memang hampir kerdil. Menyusut drastis. Mungkin korban dudukan di persembunyian. Tubuhnya setipis roti hasil setrikaan. Pantas saja sulit ditemukan waktu pengecekan pertama. Seperti di cek petugas bandara, alarm tak bunyi. Kondisi Capra langsung ciut, nyalinya. Andai pintar, roti seharusnya sudah di telan bulat-bulat, supaya tak ada barang bukti. Kini Darmapati hanya perlu pengakuan. Dua alat bukti cukup untuk menggulung satu darma, satu wira, satu sena, bahkan satu manggala. Kalau perlu.

Capra itu tak berkutik. Lumpuh layu di depan Nindya. Pengakuan dia melengkapi alat bukti roti yang terjajah di saku celana. Dengan gugup dia mengaku, agar penyelidikan maraton itu segera dihentikan. Capra kebanyakan berharap agar kasus itu secepatnya naik level P21. Sisanya tinggal menunggu eksekusi. Penggulungan kolektif. Satu set lengkap. Tanpa suara, tanpa ampun, dari ujung lapangan ke ujung yang lain. Pendek kata, naas hari itu. Semua impian sirna sekejap.

Untuk afdolnya prosesi, semua roti diminta dihabiskan. Tak semua sempat mengunyah, ditelan seperti Ular Kobra. Dua menit klar. Tak semua mungkin tertelan, terjepit ditenggorokan, mata melotot menahan luruhan roti tiba di perut. Capra mengambil posisi. Berjajar tiga lapis sepanjang line pembatas lapangan. Warming up dimulai dengan hook kiri Tyson dan tendangan maegeri Jet Lee. Beberapa tumbang sambil mengais tanah untuk berdiri. Meronta lemas penuh kesumat.

Wajah Capra sebagian sarat dendam. Dendam pada pelaku utama.  Penimbun roti. Satu dua menggerutu tapi tak ada gunanya. Nasi sudah jadi bubur. Ikhlaskan saja daripada mati karena kesal. Rohnya akan bergentayangan seperti Neng Lilis di barak putri. Semua akan berlalu. Walau badai besar mungkin sedang menanti. Setidaknya yang ini telah dibayar lunas. Begitu cara menghibur diri.

Capra pelaku utama mungkin terlalu lapar. Dia berharap ada kelebihan roti sebagaimana kasus di barak lain. Kali ini apes. Upaya menimbun roti tertangkap tangan, alias OTT. Hitungan distributor roti tepat sesuai jatah. Tak ada kelebihan roti sebagaimana spekulasinya. Capra pasrah menahan tekanan psikologis di depan Darmapati dan anggota kelasnya sendiri. Dia menerima konsekuensi tragis. Digiring dan disendirikan. Diberi jatah berlapis. Suaranya senyap, hilang dikeramaian penggulungan. Entah apa yang terjadi. Hanya Dia dan Tuhan yang tau.

Tapi Capranya hebat. Dia seperti tak merasa bersalah. Dia berpikir kali ini hanya kurang beruntung. Kulit malunya setebal zirah badak. Toh juga akan dimaafkan, bahkan dilupakan oleh waktu. Sang Capra babak belur, selain muntahan rotinya lebih banyak dari yang lain. Rasanya adil walau sebagian besar merasa tak puas. Semua dikeluarkan tuntas. Dibayar tunai siang itu juga, di terik matahari yang menyengat. Melukai punggung jari-jemari akibat push up jalin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian