Merawat Jalan Demokrasi

Oleh. Muhadam Labolo

Dalam sepekan terakhir wajah demokrasi kita laksana ditumbuhi jerawat batu. Ada luka kecil walau tak merata. Demonstrasi, persekusi & amuk massa. Rasanya pedih di bagian tertentu sekalipun tak sedikit yang menilai inilah liku demokrasi sebelum sampai ke titik terbaiknya. Demokrasi butuh ujian, dan dengan ujian itu kita semakin paham apa yang mesti dilakukan. Setiap perkara demokrasi membuka percakapan serius dalam upaya menemukan literasi canggih bagi perawatan yang lebih baik.

Sebagai way of life, demokrasi adalah nilai sekaligus sistem bernegara dengan seperangkat institusi yang dipilih untuk menghindari aksi kekerasan (Latif, 2017). Dalam hal ini demokrasi mesti dialasi sistem hukum. Gunanya agar semua keliaran dengan alasan kebebasan dapat terkendali pada batas tertentu. Demokrasi lebih membatasi tindakan, bukan soal pikiran. Perdebatan pikiran memberi kita sebanyak mungkin alternatif sebagai pilihan terbaik sebelum dieksekusi pada level tindakan.

Agar perdebatan bermutu sebaiknya ide yang dipromosi memiliki nalar brilian, bukan tumpahan emosi karena kebencian identitas. Perdebatan berbobot bukan soal siapa, tapi apa. Produk terbaik tentu dapat di petik oleh siapa saja, entah alit apalagi elit. Malangnya demokrasi hanya milik alit saat pemilu, tak jarang kehilangan jejak saat berada di pundak elit. Ketika komunikasi keduanya mengalami lost contact, parlemen jalanan menjadi pilihan praktis. Representasi memperlihatkan malfunction.

Pada tindakan, demokrasi menyiapkan prosedure agar gagasan terbaik dapat mengalir di wadah yang sesuai. Disini, otoritas pun butuh kepiawaian menjinakkan keliaran menjadi tertib sosial. Bila partisipasi cenderung dihadapi lewat prosedur kekerasan, rasanya perangkat demokrasi gagal menjauhkan perilaku otoriter yang justru dibencinya. Agar otoritas dapat bertindak terkendali, penting pula dibekali cara menerjemahkan demokrasi lewat tindakan tertib sipil daripada sama-sama menjadi tontonan anarkis.

Dalam makna luas pembatasan atas tindakan bukan cuma soal mencegah amuk massa atas kebebasan berekspresi, juga mengendalikan libido kekuasaan yang berniat mempertahankan dan memperbesar kekuasaan. Demokrasi beroperasi untuk itu agar setiap kita memperoleh benefit langsung dari konsensus kolektif. Tanpa pembatasan semacam itu setiap kita akan menjadi korban pertama dari sisi lain demokrasi (defective of democracy).

Tentu saja tanggungjawab pertama berada di pundak sekelompok kecil yang dipercaya dan dipilih untuk melakukan pengendalian. Pemerintah sebagai pemegang otoritas sementara, sebelum Ia disirkulasi atas kegagalan mengendalikan semua itu. Hawkley dalam Democracy Kills mengingatkan bahwa demokrasi tanpa otoritas yang kuat berpotensi membunuh warganya jauh lebih cepat dibanding sebaliknya. Karenanya, negara mesti memperlihatkan dirinya bukan atas kontrol oligarki, tapi kehendak konstitusi.

Haiti sebagai negara demokrasi hanya berpeluang eksis 57 tahun ketimbang Kuba yang berpeluang hidup 77 tahun dibawah sistem totaliter. Padahal demokrasi disadari lahir sebagai antitesis atas sistem otoritarianisme. Bagaimanapun kendali atas semua euforia demokrasi membutuhkan otoritas dalam bentuk rule of law. Tanpa itu demokrasi tak lebih dari sekedar mobokrasi yang sejak awal dicemaskan filosof Socrates. 

Demokrasi tak hanya diperjuangkan demi rakyat, tapi bagaimana Ia dikendalikan senyatanya oleh dan untuk representasi rakyat (Suseno, 2017). Pemaknaan itu sekaligus memberi pesan pada kita soal bagaimana menempatkan orang-orang terbaik dalam tampuk pemerintahan (primus interpares). Mewakilkan bukan sekedar memperbanyak jumlah kepala, tapi sejogjanya bagaimana meletakkan isi kepala terbaik di lembaga pemerintahan.

Bila idealitas demokrasi luput di kontrol oleh dirinya sendiri (civil society), maka realitas akan membiarkan para demagog memanfaatkan ruang publik beserta perangkat teknologinya untuk membangun kerajaan lewat projek padat modal. Praktek sistem ijon bersama kaum oligarki secara perlahan membusukkan demokrasi. Dibawah kendali mereka demokrasi di bajak dengan dan atas nama big data pemiliknya. Bila kondisi ini tak segera di rawat jalan, tanpa sadar kita sesungguhnya sedang memberangus cita luhur konstitusi, termasuk legacy para reformis '98.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian