Serangan Polpra

 Oleh. Muhadam Labolo


Tiba-tiba Polpra Madya masuk seperti siluman ke salah satu Barak Mudapraja. Tak ada persiapan apapun menghadapi sidak di siang bolong. Apalagi lepas makan siang. Beberapa mengambil posisi rehat di atas bed. Menikmati udara sepoi yang memaksa kantuk. Tidur ayam. 

Tapi semua kenikmatan itu tak berlangsung lama. Terdengar suara keras dan keributan di lantai bawah. Mudapraja berloncatan seperti Rusa di kejar Harimau di padang afrika mencari perlindungan. Ketua barak berteriak mengingatkan supaya bergegas. Wajahnya terlihat sangat pucat seperti kertas. Ia tentu merasa paling bertanggungjawab. Dan biasanya akan dimintai pertanggungjawaban, dunia dan akherat.

Dua polpra setengah berlari naik lewat tangga kanan kiri. Polpra lain menunggu di lantai bawah barak. Muda berlarian seperti domba di arak penggembala. Bertubrukan mencari cela diantara sempitnya ruang menuju tekape. Tak ada yang sempat menoleh kebelakang. Apalagi sampai mikir nasib kawan yang berceceran karena lupa mengambil sesuatu. Perintahnya turun. Tak ada instruksi pakaian apa. Yang jelas siang itu semua berpakaian trening, kecuali jaga barak.

Polpra berbadan tegap di lantai bawah berteriak keras. Menghitung angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Entah sampai kapan batas hitungan itu berakhir. Sayup-sayup dia mengaum keras, "jaga barak turun!" Tak ayal lagi, jaga barak seperti di sengat listrik kejut berlarian sendiri sambil memasang kopel rim. Di barisan bawah ia dinanti dengan tendangan mae geri seorang polpra bertubuh tegap. Bablas angine. Topi PDLnya terlempar. Kopel rimnya putus karena tak terkait erat waktu turun tangga. Hidupnya benar-benar di tangan Tuhan, seperti slogan di foto pacar meja belajar. 

Mungkin karena terkejut oleh serangan mendadak, jaga barak bangkit sambil meringis pedih. Sepertinya dia orang timur, sebab sempat menyebut "ado mama," waktu terjerambab di selokan tangga. Tapi Ia kuat, sekuat pohon di belantara sana. Jaga barak diminta maju ke depan barisan. Belum sempat ditanya, dia seakan meratap dan memohon duluan. Polpra nindya itu justru semakin garang. Satu loncatan membuat jaga barak jatuh dengan kondisi yang memalukan. Semua barisan muda semakin kaku, persis susunan bata yang siap di semen.

Pertanyaan bertubi-tubi juga diarahkan ke ketua barak. Diminta maju menggantikan jaga barak. Jaga barak berlari sempoyongan kesamping barisan. Dia seperti lepas dari pingitan seribu taun lamanya. Merdeka dari himpitan penjajah. Serasa tak percaya dilepas begitu saja. Ketua barak tiba dengan wajah penuh penyesalan. Belum sempat menyusun narasi sebuah tamparan double mendarat keras di pipi kiri dan kanan. Diulang berkali-kali seperti Donnie Yen berlatih Kung Fu Wing Chun di film Ip Man. 

Tamparan itu mencipta panas yang merambat cepat di kepala. Otaknya serasa terbakar. Ketua barak segera berdiri tepat di depan Polpra yang mengambil alih perkara saat itu. Dia pasrah karo merem menunggu hukuman apa yang akan menimpa di sesi selanjutnya. Polpra itu bertanya sambil menjerit, "tau tidak apa kesalahan klen hari ini?" Serempak muda menjawab "siap!" Walau tak ada satupun yang tau apa sesungguhnya kesalahan mereka hari itu.  Pertanyaan yang sama diajukan kembali pada ketua barak. Ia pun menjawab bingung, "siap salah !" 

Sebuah tamparan keras mendarat tepat di bawah pipi kanan. Rahangnya seperti menggelinding ke lantai papin blok. Ia bertambah nestapa. Ia berusaha mengingat sekuat mungkin sekaligus berdoa. Barangkali Tuhan sedikit berbaik hati mengirim malaikat buat mendeskripsikan dosa apa yang barusan dilakukan muda hari ini. Tak jua datang. Di tengah lalu lalang Polpra, semua muda hening hingga nafas seakan berhenti memompa. Tak satupun lagi yang sempat berpikir. Bahkan semua segera berhenti berpikir. Kecuali menerima perlakuan apapun yang sudah resiko.

Tak menunggu waktu, beberapa muda berjatuhan sambil mengurut dada. Ada yang jatuh hingga menimpa yang lain. Tak ada yang sempat menelan ludah hingga diminta berdiri kembali. Semua ketakutan luar biasa. Keringat dingin membasahi wajah, mengalir dan bergabung di ketiak dan dada. Beberapa muda penghayat agama sempat berpikir. Mungkin ini sedikit gladi sebelum menghadap Tuhan di Padang Mahsyar. Usut punya usut, ternyata kesalahan muda hanya sepele, berebut air di jergen waktu abis makan siang di Menza. 

Pasca eksiden itu, sebagian yang tak terima menggerutu. Ada yang berteriak tertahan di lorong petak, kalimat yang (mohon maaf) haram tapi lucu, "pukki ma, juancok, kanciang, tai laso, blegug sia, sampai pantek!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian