Bu Susi, Selamat atas Pengabdiannya
Oleh. Muhadam Labolo
Saya menulis ini sebagai apresiasi buat Bu Susilawati. Sama halnya dengan para pendahulu, Pak Sartono, Indrarto, M Djaffar, dan Prof. Ngadisah. Walau sesi pertemuan dengan beliau singkat, namun saya punya kenangan baik dari hasil diskusi ringan. Dua topik itu soal bagaimana menyusun paragraf yang baik dalam menyusun LA & Skripsi, serta soal kata penting menyangkut identitas almamater.
Bu Susi, begitu panggilan akrab saya pada salah satu dosen senior di Kampus IPDN itu. Beliau pensiun tahun ini. 22 tahun mengabdi sebagai dosen bahasa (Indonesia). Saya kenal beliau selain Bu Tuty, Bu Dedeh, Bu Mel, Bu Risa, Bu Wangsih, Bu Layla, Bu Juli, Bu Siti, Bu Ika, alm Bu Heny dll yang tulus mengabdi di kampus. Bu Tuty juga pensiun bulan Juni sebagai dosen bahasa (Inggris).
Bu Susi (bukan mantan mentri kelautan), saya kenal di ruang dosen IPDN Jatinangor. Beliau sedang beri bimbingan pada beberapa praja. Suaranya nyaring, kencang, detil, dan taktis. Maklum, sebagai dosen dengan pengalaman panjang dibidangnya, beliau paham apa yang mesti dikoreksi. Titik, koma, kutipan, kata, kalimat dan teknik membuat paragraf pada LA & Skripsi jadi perhatian serius.
Usai bimbingan saya diskusi ringan dengan beliau. Problem praja rupanya sama. Gagal membuat narasi pada setiap paragraf. Paragraf satu dengan yang lain loncat-loncat, begitu kata dosen senior Syahril Tanjung suatu saat. Kata Bu Ika, Rhoma Irama bawa gitar, nggk nyambung jreng! Praktis dosen kesulitan memahami jalan pikir penulis mulai dari isu besar ke isu mikro, atau sebaliknya.
Bu Susi mengoreksi hal itu. Setiap paragraf tak jelas mana induk kalimat dan mana anak kalimat. Kalimat pertama pada setiap paragraf adalah jangkar. Sisanya adalah anak kalimat sebagai narasi penjelas atas induk kalimat. Banyak praja tak bisa menerapkan, padahal bagian ini telah diingatkan kembali di semester pertama, mata kuliah Bahasa Indonesia.
Membuat kalimat pada setiap paragraf sangat menentukan gagasan penulis. Ini penting selain memahami logika dari satu paragraf ke paragraf berikutnya. Tidak loncat, apalagi bolak-balik ke isu yang sama, tidak runut, tak mengerucut ke objek, tak fokus, tapi meluas dan melebar kemana-mana. Dosen lelah hayati menemukan ide pokok yang akan diteliti, yang ada hanya kumpulan kutipan membosankan.
Penyakit itu sama saja di level pasca. Mungkin karena dasar di D4 dan S1 tak tuntas sehingga kesalahan yang sama terulang kembali. Pendekatannya sama, deskriptif, analitik dan sedikit banyak manipulatif alias copas. Yang korban dosen pembimbing, beberapa mesti menelan pil anti sesak nafas & darah tinggi. Hanya mereka yang beriman yang dapat melewati ujian itu.
Mungkin sebagian kurus dan lekas botak karena di pendam. Sisanya stres dan berdamai dengan Tuhan agar tak cepat menua. Bagi yang enjoy dan optimistik berharap, biarlah lingkungan yang akan menyempurnakan di kelak hari. Mudah-mudahan ini bukan semacam kekerasan lain ketika mahasiswa bebal dengan semua petunjuk, koreksi, masukan, dan saran yang bahkan berkali-kali. Apalagi dihadapkan pada alokasi waktu terbatas.
Ibu Susi suaranya nyaring. Skripsi Praja disuruh perbaiki dan baca kembali. Prajanya manut-manut. Entah manut karena paham atau manut karena bingung, hanya Dia dan Tuhan yang tau. Logika, satu hal yang mesti dinilai selain estetika, etika, epistem, dan pragmatisme. Skripsi, tesis dan disertasi sesungguhnya akumulasi filsafat mahasiswa yang mesti dinilai.
Di kolom penilaian kompre memang hanya ada estetika. Tapi menilai etika cukup dengan melihat kebenaran nama orang, lokasi, atau objek yang di kutip, termasuk yang diwawancarai. Mengutip Muhammad padahal Muhadam itu melanggar etika. Apalagi nama dosen pembimbing dan gelarnya sembarangan di tulis di lembar pengesahan, tentu bisa jadi ancaman laten dan perang urat syaraf bagi satu dua dosen produk baheula.
Estetika mudah dilihat dari keindahan menulis. Minimal semua aturan dipedomani, simetrikal judul, jarak dan sebagainya. Epistem dirujuk pada ketelitian praja mensitasi sumber tulisan. Bila kutipannya tak sesuai di foot note atau daftar pustaka menunjukkan penulis tak konsisten sekaligus tak jujur (etika). Logika sendiri tampil pada narasi yang solid lewat kalimat yang diterima akal sehat.
Bagian terakhir tentu aspek pragmatismenya, yaitu kebergunaan tulisan praja. Itu dilihat pada saran konkrit sang penulis sebagai inovasi maupun invention. Inilah filsafat seorang pembelajar yang dimanifestasikan lewat karya tulis sebelum dikukuhkan sebagai sarjana, magister atau philosophy of doctor. Bu Susi sangat berperan meletakkan dasar-dasar Bahasa Indonesia itu sehingga nilai filsafat praja terlihat.
Kesempatan kedua saya bertemu Bu Susi untuk konsultasi soal penulisan kata Pamongpraja. Apakah dipisah atau disatukan. Saya mesti ke Bu Susi sebagai ahli bahasa karena buku yang akan di cetak dengan judul Kepamongprajaan di Indonesia oleh penerbit Ghalia mandek di soal itu. Saya ikuti tulisan Prof. Talizi yang mengintegrasikan Pamongpraja, bukan Pamong Praja. Penerbit bersikukuh memisahkan sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hasilnya Bu Susi setuju dengan pendapat Prof. Talizi, disatukan dengan sejumlah alasan. Bila yang dimaksud Pamongpraja sebagai subjek tunggal tentu disatukan seperti Mahapatih. Sebaliknya bila yang pikirkan adalah dua hal yang berbeda dalam satu frasa maka dipisahkan seperti Maha Guru (Pamong Praja). Diskusi singkat itu memberi kontribusi positif bagi penulisan buku pengantar mata kuliah Kepamongprajaan.
Demikian perkenalan saya dengan beliau. Kita patut berterima kasih atas semua kerja-kerja produktif Bu Susi sejauh ini. Mengisi tahun-tahun terakhir, saya menikmati pekerjaan beliau merawat Bunga Anggrek di pekarangan rumah via instagram. Buah tangan itu tampak asri dan sejuk ditemani lagu favorit Bu Susi, He'll Have to Go atau Four Walls oleh penyanyi lawas Jim Revees. Semoga beliau sehat walafiat menapaki hari-hari bahagia bersama keluarga. Sesuatu yang justru kita lupakan selama ini. Panuhun hapunten Bu Susi, mugia salamina aya dina panangtayunan Allah Swt, aamiin.
Komentar
Posting Komentar