Catatan Pinggir; Perencanaan dan Pj Gubernur Jabar di Pilpres 2019
Oleh. Muhadam Labolo
Rasanya terlalu simpel jika perdebatan atas kasus pj Jabar hanya berhenti pada soal teknis legalitas hukum dengan memcampuradukkan gatra UU Kepolisian, ASN dan Pilkada. Apapun perbedaan tafsir antara politisi sebagai pembuat kebijakan di Senayan selalu saja akan berbeda pada tingkat penterjemahan oleh eksekutif di level regulasi teknis (PP dan Permen) serta praktek pemerintahan.
Rasanya Itu sah-sah saja, sebab imaji politisi selalu ideal ketika mendesain teks undang-undang agar ideal pula di kenyataan. Di ranah praktek tentu saja jamak berselisih pandangan dengan eksekutif (baca, birokrasi). Eksekutif dapat membaca secara linier atau fleksibel bergantung orderan rezim yang dilayani. Tinggal diutak-atik agar argumentasi hukumnya memenuhi aspek formalnya.
Dapat dimaklumi mengapa perdebatan teknis semacam itu seringkali melupakan spektrum yang lebih luas dari aspek politik. Dalam sejumlah survei dimasa lalu menunjukkan bahwa posisi Pasangan Calon PDIP di Jabar berada di nomor buncit. Berjarak jauh dari Paslon RK dan Petahana (Dedi Mizwar). Kondisi ini tentu saja menyulitkan kader PDIP untuk meloncat jauh kedepan.
Membaca dinamika politik yang ditunjukkan oleh sebuah harian tampak bahwa di luar itu sebenarnya petahana (presiden) lebih sreg pada Paslon RK dibanding TB sebagai kader PDIP di Jabar. Demikian pula dalam kasus Jatim, dimana Jokowi tampak lebih sreg pada Khofifah ketimbang paslon PDIP Gus Ipul.
Lalu apa relasinya dengan Pj Jabar dari kalangan polisi hari-hari ini yang kita ributkan? Tentu saja bila kita hanya meraba pada kepentingan jangka pendek Pilkada Jabar tidaklah signifikan. Waktu yang kasip serta kontrol yang sensitif dari masyrakat rasanya sulit mmbayangkan akan terjdi ketidaknetralan justru semakin merontokkan harapan Paslon asal PDIP.
Mungkin yang dapat dideteksi adalah kepentingan jangka panjang. Ini bila kita sudi memperluas horison politik kearah yang lebih menggairahkan, yaitu kompetisi Pilpres 2019. Dari situ setidaknya dapat dipahami bahwa relokasi Pj dari institusi kepolisian di Jabar kemungkinn lebih pada kepentingan pengamanan awal sebelum benar-benar memasuki pertarungan di 2019.
Faktanya, hampir seluruh survei menunjukkan bahwa bila pun petahana (Jokowi) hari itu kelak kalah, maka Ia bukan karna rivalitas personal individu dari para penantang (Prabowo dll), namun lebih disebabkan oleh tiga isu utama, yaitu tenaga kerja asing, merambahnya infiltrasi komunisme, serta disharmoni Jokowi dengan kelompok Islam.
Kebijakan pembatasan tenaga kerja asing buru-buru diselesaikan lewat investigasi senyap. Sementara isu komunisme ditenggelamkan lewat pengalihan isu lain yang lebih produktif. Dari ketiga isu itu tentu saja yang sulit diredam adalah isu ketiga, khususnya di wilayah Sumbar dan Jabar.
Sebab itu, kepentingan Pj Polisi di Jabar lebih pada konteks mengamankan jalur padat konstituen dengan beban isu agama agar kekalahan telak petahana di Pilpres 2014 khususnya Jabar yang hanya disokong oleh Indramayu dan Subang tak terulang kembali. Kuncinya adalah meresap kedalam sorban para kyai dan ulama di Jabar.
Dengan menggunakan strategi populer blusukan diberbagai pondok pesantren di Jabar dengan frekuensi tinggi setidaknya dapat mendongkrak popularitas petahana dalam pertarungan pilpres 2019. Itulah mengapa petahana mesti rajin bersilaturahmi ke Jabar dan menarik kaum intelek Islam ke istana sebagai basis pendukung di kelak hari (lihat tokoh Muhammadiyah, NU dan DKM seperti Yahya Staquf dan Ali Ngabalin yang dijadikan staf khusus). Mungkin ini alasan mengapa Pj polisi, bukan ASN biasa.
Komentar
Posting Komentar