Distorsi Otonomi Daerah & Sistem Perencanaan

Oleh. Muhadam Labolo

Mungkin desainer undang-undang pemerintahan daerah maupun kebijakan di sektor lupa, bahwa pasca reformasi 98' corak negara kita mengalami pergeseran dari bentuk negara kesatuan sentralistik menjadi negara kesatuan bermotif desentralistik. Salah satu Tap MPR 1998 sebagai politik hukum kala itu dengan jelas mengamanahkan agar para pembuat kebijakan dimasa berikutnya harus mampu mendesain desentralisasi dengan titik berat di level kabupaten/kota sebagai yang paling dekat dengan problematik dan kebutuhan masyarakatnya (Rasyid, 1999). 

Sekali lagi, ditekankan disini bahwa titik berat otonomi daerah berada di tingkat kab/kota, bukan provinsi sebagaimana tergambar sesak dalam UU 23/2014 tentang Pemda. Penyakit amnesia itulah yang tampaknya mendorong para pembuat kebijakan alih-alih memberi diskresi  Pemda lewat otonomi yang dimilikinya, faktanya hampir semua kebijakan pemerintah berbau resentralisasi yang dimulai dari UU Pemda sebagai omnibus regulasi hingga undang-undang sektor yang merujuk padanya. 

Undang-undang Pemda itu, tidak saja dengan nyata mengamputasi semangat desentralisasi yang menjadi amanah reformasi sejak tahun 1999, jauh lebih menggemaskan daerah yaitu terciptanya sistem resentralisasi yang dikonstruksi secara masif, terencana dan sistemik. Indikasinya dua hal, yaitu penarikan kewenangan dan penciptaan aturan teknisnya (juklak dan juknis). Dengan demikian teranglah bahwa semakin banyak regulasi yang menarik kewenangan daerah ke pusat atau kewakilnya di provinsi semakin jelas gejala resentralisasi itu. 

Bukti lain yaitu tingginya upaya menciptakan ketergantungan daerah pada pusat dengan cara menciptakan juklak dan juknis sehingga daerah tak perlu di ajak berpikir kecuali melaksanakan. Untuk mendidik dan melatih anggota DPRD sebagai unsur penyelenggara Pemda saja telah ditentukan secara teknis dimana, kapan, oleh siapa, dan berapa lama. Padahal jelas-jelas urusan diklat semacam itu sudah diserahkan ke Pemda, Pemerintah cukup menyiapkan NSPK yang bersifat general. 

Gambaran di atas jelas memperlihatkan semangat sentralistik dimana semua gerak Pemda praktis dikendalikan lewat juklak dan juknis. Pemerintah yang berpikir (to think), sedangkan daerah hanya pelaksana (to do). Padahal salah satu otonomi daerah adalah agar daerah memiliki diskresi yang cukup untuk melakukan kreativitas hingga tercipta inovasi dan kemandirian. Ini diperparah dengan keluarnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Praktis otonomi daerah dapat dikatakan selesai.

Andaikan ditanya adakah perbedaan signifikan pengaturan Pemda dimasa lalu dengan hari ini selain Pilkada, jelas tidak ada. Realitas hari ini rasanya kita tidak sedang menuju penguatan otonomi daerah namun melangkah mundur menuju sentralisasi modern. Otonomi hanya nama atau sekedar administrasi belaka, tergerus oleh kepentingan elit secara berjenjang, sementara politik lokal baru berjalan sebatas euforia, belum melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi leader kecuali dealer (Muhtadi, 2015).

Dalam konteks yang sama dengan perubahan sistem politik kata Huntington di suatu kesempatan, sebuah negara yang mencoba menuju tatanan demokrasi tak ada jaminan menuju kesana, boleh jadi kembali otoriter atau bahkan totaliter. Lalu bagaimana korelasinya dengan praktek perencanaan di daerah dewasa ini? 

Catatan saya setidaknya, pertama, secara makro kita kehilangan dokumen perencanaan jangka panjang sebagai pengendali utama yang semasa orba di sebut GBHN. Dokumen ini merangkap visi dalam jangkauan 20 sd 50 tahun kedepan. Bagaimana wajah Indonesia dimasa depan sekurang-kurangnya konstruksinya tergambar jelas dalam dokumen tersebut, apakah usai masa itu bangsa ini sama majunya dengan negara lain atau sebaliknya. 

Sistem perencanaan tersebut relatif tidak berubah hingga ke level strategik yang berdaya jangkau menengah dan pendek seperti Repelita dan Pelita. Lewat dokumen itu negara konsisten dengan sentralisasinya. Pembangunan daerah diarahkan seirama menuju titik kumpul yang disepakati hingga tinggal landas. 

Kedua, sebagaimana pendahuluan di atas bahwa pasca runtuhnya orde baru bentuk negara kesatuan berbau sentralistik itu berubah menjadi negara kesatuan bergenre desentralistik.  Artinya dokumen perencanaan semestinya tetap sentralistik (menganut negara kesatuan), hanya saja konten repelita dan pelita di geser ke daerah agar seluruh kebutuhan daerah terakomodir dalam dokumen perencanaan jangka menengah dan pendek menuju target makro sebagaimana tertera dalam GBHN. 

Sayangnya, semua instrumen perencanaan ideal yang telah di susun bertahun-tahun oleh generasi terbaik di masa itu ikut di eliminir dan di substitusi dengan instrumen perencanaan bergaya reformasi (RPJP dan RPJM) yang kualitasnya berdurasi pendek, juga potensi fleksibilitas perubahannya relatif tinggi. Akibatnya dokumen perencanaan menjadi sangat pragmatis, instan serta jauh dari konsistensi guna mencapai tujuan bernegara. Satu-satunya yang dapat dibaca adalah tujuan rabun dekat para politisi dari pusat hingga daerah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian