Dilema Idiologis Victor Fun

Oleh. Muhadam Labolo

Di Barak Sumbar Atas, ada dua kawan baik saya. Namanya mirip dan sama-sama Protestan taat. Pertama Victor Fun, Kontingen Papua lahir di Ambon, 1972. Kedua, Victor Sinjal, lahir di Manado, 1973. Victor Fun terakhir menjabat Kadispora di Nabire. Sementara Victor Sinjal tugas di Kota Manado sebagai Kabid di dinas yang sama dengan Victor Fun..

Saya dan Fun sering berselisih soal kerapian. Mulai muts, kilatan kepala ikat pinggang, hingga kemulusan sepatu. Dengan Sinjal, saya selalu bertengkar soal perebutan posisi tengah di baris penutup. Sebenarnya bukan hanya dengan Sinjal, saya juga bersaing dengan Wayan Wiratma dan Eko Udiyono. Maklum, ini persaingan khusus corps 160 pas. Posisi itu strategis untuk melindungi serangan dadakan.

Bila dipikir-pikir, soal posisi tengah bagian belakang hanya soal sepele. Tapi hal-hal sepele terkadang membuat kesempurnaan. Rupanya kesempurnaan bukanlah hal sepele. Begitu nasehat dosen saya, Dr. Ondo Riyani, suatu hari saat coffe morning. Beliau sedang terapi akibat serangan stroke ringan, terakhir kali saya bezuk di rumah dinasnya, Jatinangor. Semoga beliau lekas sembuh.

Ketika Sumbar Atas di serbu Satgas Gabungan (Polpra Binjas dan Satgab), semua Mudapraja berhamburan ibarat Tai Kambing. Hari itu giliran saya Jaga Barak. Saya sebenarnya tak setegang mereka, walau tetap waspada dari serangan acak. Tugas saya hanya mengecek kebersihan dan mengingatkan yang masih tertinggal di barak agar segera turun.

Untuk menurunkan stres saya bergegas ke Musholla. Sholat Ashar. Hemat saya sekalian menghindari mobilitas Satgas di sepanjang lorong depan lemari. Disitu berbahaya, sewaktu-waktu bisa kena tamparan gratis dengan alasan macam-macam. Berdiri bengong di depan westafel bisa di tuduh turut menghalang-halangi penyelidikan (obstraction of justice). Lebih aman sholat.

Saya berusaha Sholat Ashar dengan khusyu. Berharap doa-doa saya di ijabah dan Tuhan segera terlibat secepat mungkin untuk mengusir Satgas dari kekacauan di barak itu. Saya juga berusaha melama-lamakan sholat agar tak berpapasan dengan Noval Tamburaka, Dicki Dwi Utomo, atau Lamimi Adam. Kadang bukan Tuhan yang terlintas di benak saya, tapi wajah mereka yang menghantui. Apakah ini yang dinamakan godaan setan yang terkutuk? Wawlahu alam bissawab.

Setelah empat rakaat berlalu, saya salam ke kiri dan kanan. Memang sayup-sayup suara Polpra semakin jauh terdengar. Tapi hati saya bukannya tenang, tiba-tiba saya kaget sendiri, Victor Fun ikut duduk bersila di belakang saya, khusyu berdoa. Entah sarung siapa yang dikenakan, yang jelas beliau menatap saya dengan gugup.

Saya segera menenangkan suasana. Mengambil alih pembicaraan. "Vic, sejak kapan ko masuk Islam?" Kata Victor, "aa tidak, masi ada Polpra diblakang. Tra bisa kitonk tamba satu dua rakaat sampe Polpra turun kahh?" Sa bilang, Vic, ashar cum 4 rakaat, kalo kitonk tamba, sa berdosa, rusak sa punk agama ko bikin." Kata Victor, "ahh suda, terserah ko saja, mo tamba ka tidak, mo duduk lama kah, asal jan ko stop dolo, Polpra masi ada."

Keimanan saya mulai goyah. Saya bimbang. Saran Victor masuk akal. Kalau diam pasti beresiko. Apalagi Victor rupanya terperangkap di Musholla. Dia ketiduran di ruang belajar hingga teriakan Satgas tak menyentuh telinganya. Tidur muda pasti lelap. Baginya, turun terlambat pasti cilaka dua belas. Ketahuan di barak lebih parah lagi. Bagi saya, Jaga Barak pun akan jadi tersangka. Di tuduh melakukan perlindungan, atau mungkin penghilangan barang bukti.

Dalam kegalauan itu akhirnya saya setuju usul Victor. Sa tra ta tau lagi Vic ini bagian dari setan halus ka apa, yang jelas proposalnya logis. Kami segera berdiri, menambah dua rakaat dengan durasi lama. Suasana hening, entah apa yang ada dalam kepala masing-masing. Saya hanya tak habis pikir, bisa-bisanya Victor beri saran itu. Rasanya kitonk dua kasi rusak agama masing-masing demi keselamatan di dunia, dan mungkin juga di akhirat.

Usai peristiwa itu, esoknya Victor kembali ke Gereja. Mungkin Ia melapor ke Tuhannya, memohon ampunan bahwa dia sempat masuk Islam dalam beberapa menit. Saya pun demikian, memohon pada Tuhan agar diampuni kesalahan Sabtu kemaren, menambah ritual tanpa syariat. Saya yakin, andai Tuhan panggil kami berdua, dosa itu akan didistribusikan dengan adil pada Satgas Gabungan, sebab Itu dosa kolektif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian