Jemi Harun Rupanya Kosong Tiga

Oleh. Muhadam Labolo

Jemi Harun, angkatan kosong tiga. Perawakannya gagah, tampan, dada busung, otot bisepsnya kencang, klimis walau sudah purnapraja. Beliau peranakan China-Manado, tugas di Gorontalo Utara waktu itu. Saya sendiri pernah tugas di Palopo. Ini dua lokasi yang tak dekat. Jangankan di daerah yang berjauhan itu, di Kampus Manglayang pun kami tak pernah bersua. Entah kenapa, suatu malam saya tak sengaja jumpa beliau dalam perjalanan Palopo-Makassar.

Di Makassar kebetulan ada temu alumni se-Sulsel. Semua purna di undang tak kecuali. Beliau dari kunjungan keluarga di Palopo, balik Gorontalo. Bermaksud ikut reunian di Makassar. Saya berangkat via Bus Piposs malam hari. Di tengah jalan naiklah Jemi. Samar terlihat seperti praja sedang cuti. Pakai pet, kaos putih masuk dalaman, celana keki, ikat pinggang mengkilap, sepatu mulus di lilin. Pikir saya, ini mungkin Nindya atau Wasana Praja. Duduk pas dibelakang kursi. Saya tak acuh, tidur.

Pukul tiga dini hari Bus istrahat di Pare-Pare. Seperti biasa, semua penumpang turun untuk rehat makan malam. Saya pun mencari meja makan. Berjarak tiga meja dari tempat saya, duduk Jemi dengan posisi praja makan malam. Beliau duduk setengah kursi, tas pesiar di letak di ujung meja, juga topi. Konsisten dengan protap makan di Menza.

Selesai makan saya sambangi. Rasanya kurang enak kalau tak menyapa praja. Takut di kira sombong. Saya tanya, "mau kemana?" Beliau tiba-tiba menjawab dengan sigap setengah takut, "siap kak, mau ke Makassar!" Semakin yakin saya bahwa ini benar-benar praja yang sedang cuti. Buktinya, dia sangat respek dan panggil kak. 

Saya lanjutkan basa-basi, "acara apa di Makassar dek?" Saya berani menggunakan kata dek karena Jemi sudah mengucap duluan kak. Jemi jawab lebih respek lagi, "siap kak, ikut acara temu alumni purna, kak!" Pandangannya lurus, tatap matanya tajam, sendok berhenti setiap kali menjawab, bahkan sebagian makanannya di telan habis tanpa sempat di kunyah agar tak menghalangi percakapan.

Saya semakin bangga, Jemi ternyata praja yang baik, respek, dan loyalitasnya tinggi. Orang di sekitar situ juga menunduk ke saya, karena dihormati Jemi. Mungkin mereka berpikir, ini pasti komandannya, apalagi jaket saya loreng bertulis Yon XII Mahawarman. Kata saya, "ya sudah dek, sampai ketemu disana, saya juga mau kesana." Saya akhiri persapaan singkat itu karena Bus diumumkan bergerak.

Ketika balik kanan, tak sengaja terbaca topi di atas meja. Topi hitam itu di sulam warna kuning emas, JEMI HARUN ANGKATAN III. Saya yang tadinya bangga dan merasa di atas angin, kini mulai dihantui perasaan tak enak hati. Pikiran saya mulai kacau, badan saya mengerut seperti balon gas bocor alus. Saya pikir, tidak mungkin praja berani pakai topi itu. Ini pasti ada yang salah.

Saya segera ke bagian reception. Sedikit gemetar saya keluarkan dompet. Kesimpulan saya mulai goyah, ini pasti purna praja, bukan praja, tapi senior kosong tiga. Alamaak, matilah awak, kata orang Medan. Biar impas pikirku, kubayar lunas makannya Bang Jemi. Siapa tau ini dapat membantu menutup khilaf bila terjadi hal-hal yang tak diinginkan di kelak hari. Kataku, "tabe, ini sekalian saya bayar dengan bapak yang duduk disana, pake kaos putih celana keki na" Selesai itu saya naik Bus, duduk dengan pikiran tak menentu.

Dari jendela bus saya lihat Bang Jemi bergerak cepat ke reception. Dia ingin bayar, tapi kata pelayan di situ sudah di bayar bapak yang pake Baju Loreng barusan. Bang Jemi tergesa-gesa naik Bus sambil melempar pandangan ke semua kursi. Dia temukan saya sedang pura-pura tidur. Merem. Kata Bang Jemi, "izin kak, trima kasih sudah dibayarkan!" Saya jawab pelan, "iyahh, silahkan duduk." Kata dek segera saya buang jau-jauh mengingat bukti baru (novum) di atas meja tadi, topi angka romawi tiga, Jemi Harun.

Kata Bang Jemi, "mohon izin duduk kak," Kursinya tepat dibelakang saya. Saya jawab pendek dan hampir hilang suara, "silahkan." Kerongkongan kering. Kini sepanjang perjalanan  dari Pare-Pare ke Makassar saya tak bisa tidur. Mati kutu. Rasanya seperti diawasi Jaelangkung di belakang kursi. AC Bus Piposs seakan tak berfungsi, panas. Berkali-kali ganti mencoba mengganti gaya tidur, percuma. Saya dihantui pikiran, bagaimana menyelesaikan masalah ini. Secepatnya.

Sesampainya di terminal Panaikang pagi, saya loncat turun. Saya lihat Bang Jemi masih pulas. Saya kejar pete-pete menuju luar kota. Rumah Bang Rusham Haruna, angkatan kosong dua. Pikir saya, disana mungkin masalah ini bisa dicari jalan keluarnya. Disitu rupanya ada Bang Madaremmeng, seangkatan Rusham. Saya ceritakan kronologis itu. Keduanya malah tertawa terpingkal-pingkal. Saya tetap stres.

Malamnya, kami ke hotel tempat reuni purna praja. Rupanya Bang Jemi barisan penyambut tamu. Begitu jumpa, beliau pepe em duluan, "malam kak, trima kasih kak, tadi saya cari-cari di bus tapi kakak sudah pergi duluan," Saya gugup dan serba salah. Lemas lututku. Agar harga dirinya tak hancur di depan purna lain, saya tarik tangan Bang Jemi ke sudut ruangan. Saya ngaku, "kak, saya minta maaf, saya Muhadam, angkatan kosong empat!" 

Raut wajah Bang Jemi tiba-tiba berubah, dari segan jadi sedikit kaku. Saya mohon maaf karena Bang Jemi terlanjur panggil kak waktu di Resto. Tentu saja saya menyesuaikan. Saya dan Bang Jemi hanya korban situasi. Situasi yang menciptakan hubungan terbalik antara senior-yunior. Sebagai upaya rekonsiliasi, semua pernikahan Bang Jemi Harun di Palopo saya yang urus, mulai surat nikah hingga mengadzankan anak pertamanya. Jemi, ohh Jemi....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian