Pak Sabiq Sakke, Dosen Kultural

Oleh. Muhadam Labolo

Di awal tahun 1990an, akademi pemerintahan dalam negeri yang tersebar di 21 daerah di regrouping menjadi APDN nasional. Konsekuensinya, seluruh tenaga pendidik diberi pilihan, bergabung dengan Pemda atau merantau ke Jatinangor. Satu diantara tenaga pendidik terbaik dari APDN Makassar itu akhirnya rela melepas lingkungan sosiologisnya untuk bergabung dengan tenaga pendidik lain di Jatinangor. 

Secara faktual beliau memang meninggalkan tanah kelahirannya di Bone, tapi tidak secara spirit kultural yang menjadi ciri khas manusia sulawesi di bagian selatan. Di kelas, beliau masuk dengan wajah apa adanya. Dialek Bugis yang kental dan mendayu-dayu seringkali membuat praja di masa itu merasa geli menahan tawa. Tapi ekspresi kegelian praja itu terhalang senyuman dan tawa oleh kharisma kumisnya yang tebal, putih dan melengkung kebawah persis gambaran bangsawan lokal atau tuan kompeni di jaman Belanda. 

Saya kira, tanpa marahpun praja sudah ciut nyalinya, sebab untuk menstabilisasi kelas beliau cukup menaik-turunkan volume suaranya sambil sekali-kali menyeringai lewat kumisnya yang unik. Itulah pembeda beliau, sekalipun mungkin tidak banyak praja yang ingat konten pelajaran seperti sistem politik yang diajarkan, namun style mengajar beliau yang unik oleh kekayaan budaya traditional setidaknya mempercepat identifikasi praja yang berbeda latar mengenal langsung ciri khas manusia Sulawesi. 

Menurut saya, dengan segala keunikan itu beliau layak dianggap bagian dari heritage Sulawesi Selatan, yang bahkan oleh Pak Ondo di sebut The Last Emperor of Bone. Beliau juga telah menurunkan darah pamongnya ke salah satu putri angkatan 07 yang kini bertugas di Provinsi Sulsel. Semangat kritisnya juga tak pernah padam. Di kelas beliau bisa mengkritik orde baru, termasuk dinamika dilingkungan kampus yang menurutnya dikendalikan penuh oleh sorodadu (militer). 

Hari-hari terakhir dalam hidupnya di Makassar dipenuhi oleh apresiasi dan penghormatan tinggi dari purna praja. Dikalangan dosen Jatinangor beliau di kenal sebagai Hakim Pendamai bagi pihak-pihak yang bertikai. Perannya seperti Hakim Bao yang legendaris dalam sejarah hukum di China. Beliau lakukan lewat permainan sederhana, Domino. 

Bagi saya, beliau tidak saja mewakili praja kontingen Sulsel, juga mewakili identitas kultural nusantara yang dewasa ini ingin di lepas paksa oleh kelompok tertentu. Padahal, sebagaimana ditekankan staf khusus Presiden Jokowi, Prof. Din Syamsuddin (2018), bahwa identitas kultural seperti latar etnik maupun agama adalah identitas yang tak mungkin bisa diingkari sejak lahir. Ia telah mendarah-daging dan menjadi pembeda dari yang lain. Itu sunnatullah. 

Kini kita seakan kehilangan identitas kultural lantaran keliru mentafsir makna politik identitas yang terkadang diselewengkan kearah kepentingan politik praktis. Itulah Pak M. Sabiq Sakke, sosok dosen yang beberapa saat lalu wafat di usia yang ditentukan Sang Khaliq. Selamat jalan guru, senior, serta orang tua dengan simbol kulturalnya yang kompleks, semoga Allah swt menerima amal baikmu sebagai pendidik yang baik dan unik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]