Memastikan Pangan dan Energi Kita

Oleh. Muhadam Labolo

Kata Wapres RI dalam sambutan digitalisasi pertanian di Kabupaten Bandung (Maret, 2022), kemampuan bertahan tanpa suplai pangan Indonesia hanya 21 hari. Selisih dua hari dengan Vietnam, 23 hari. Thailand 143 hari, India 151 hari, China 681 hari, dan Amerika bisa 1.068 hari atau hampir tiga tahun. Data itu berasal dari Departemen Pangan Amerika Serikat (2022).

Laporan State of Food Security and Nutrition (SOFI, 2020) menyebutkan angka kelaparan meningkat 10 juta dari tahun 2019-2020. Total menjadi 60 juta sejak 2014. Indonesia sendiri peringkat 70 dari 117 negara dengan kategori serius. Serius dalam tiga indikator pokok, yaitu suplai pangan yang tak layak, kekurangan gizi (wasting & stunting), serta melonjaknya angka kematian bayi (GHI, 2020).

Bagaimanakah kita dapat survive di tengah krisis dengan sumber daya melimpah tanpa bisa menikmatinya? Mungkin ini sebuah pertanyaan konyol, kontradiktif sekaligus intropektif, mengingat kita bukanlah negara  yang teramat miskin di Asia Tenggara dan dunia, apalagi sampai terpuruk seperti negara-negara di jazirah Arab hari-hari ini.

Jurnalis Musthafa Abdu Rahman (2022) dalam bukunya, Mengapa Bangsa Arab Terpuruk oleh penerbit kompas menyebutkan angka kemiskinan di negara-negara Arab melonjak dua kali lipat sejak 2019. Kecuali Arab Saudi, Qatar dan Kuwait, sebagian besar negara-negara di tempat para nabi lahir itu, kini bergulat dengan persoalan ekonomi, sosial dan politik pasca Arab Spring (2011).

Sebagai perbandingan geografis, Indonesia tentu lebih beruntung dibanding negara lain sekalipun ancaman ring of fire menyempurnakan kelebihan itu. Mesir dan India pernah makmur pangan lebih 2000 tahun lalu hanya berada disepanjang akses strategis Sungai Nil, Eufrat, Tigris dan Gangga. Kini keduanya eksis walau tetap dalam status negara terkebelakang.

Singapura, Kanada dan New Zealand kurang dari 150 tahun eksis dinilai sebagai negara maju. Jepang, 80% pegunungannya tak menjamin pertanian dan peternakan namun menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Swiss, negara kecil di Eropa Barat tak punya perkebunan cokelat, atau hanya 11% yang dapat ditanami kini menjadi negara dengan produk cokelat dan susu terbaik di dunia.

Bila kebijakan lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan energi pasar international, kita kemungkinan sulit mengatasi ancaman kelaparan bagi nasib 271 juta jiwa. Tentu saja prioritas pangan dan energi wajib bagi kebutuhan domestik. Itu amanah konstitusi pasal 33 ayat (1) dan (2) pasca amandemen. Negara wajib mendahulukan kepentingan dalam negeri dibanding melempar hasil buminya ke luar.

Disisi lain kemampuan geografis kita tak diimbangi sumber daya manusia yang memadai. Kini perubahan iklim telah mengubah fungsi pangan & energi dari nilai ekonomi menjadi nilai politik. Pangan dan energi menjadi semacam soft & hard diplomacy bagi negara-negara adidaya dan adikuasa. China mengembangkan jalur one belt one road guna mengontrol jalur pangan dunia untuk menyuapi 1,5 M penduduknya.

Selain pangan, kemana energi kita? Sekalipun konstitusi mengamanatkan dikuasai negara, faktanya leluasa dikelola asing & aseng. Data Oxam (2017) menunjukkan harta 4 orang terkaya di Indonesia setaraf dengan 25 M USD atau akumulasi 100 juta kekayaan rakyat miskin. Sementara kekayaan 50 WNI kelas atas menguasai lebih 48% GDP, atau 72% total APBN, sama dengan 2.750 T (Jakarta Post, 2020). Salah satu masalah pokok yaitu kepemilikan tanah sebagai aset utama terampas begitu saja.

Ketimpangan internal itu dapat diperparah oleh dampak krisis global yang memicu kelangkaan pangan & energi, resesi global, migrasi hingga perang (Ermaya, 2018). Akhirnya, tak ada cara lain untuk keluar dari ancaman krisis pangan kecuali menumbuhkan semangat kemandirian (self reliance), bertumbuh di atas potensi daerah, sharing kebutuhan antar wilayah, serta meningkatkan surplus pangan & energi sebagai daya tawar sekaligus martabat international.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian