Kesadaran Politisi Terhadap Birokrasi
Oleh. Muhadam Labolo
Statmen Politisi Demokrat Achsanul Qosasih dalam twitter tanggal 29 September 2022 soal competitiveness dalam dunia birokrasi yang dihadapkan dengan politisi patut di apresiasi setinggi-tingginya. Menurut saya, itu bentuk kesadaran politisi atas seluk beluk birokrasi yang selama ini dianggap underdog. Lima point itu penting direnungkan oleh politisi yang latah melibatkan shadow government dalam tubuh birokrasi.
Birokrasi sebaiknya diletakkan secara profesional dengan mengaransemen ide Weber (1946). Tujuannya agar lebih manusiawi dan fleksibel. Politisasi menjadikan birokrasi dianggap mesin manajemen yang acap kali menjadi kambing hitam, beban negara, patologis, korup, kaku, boros, tak inovatif, tak kreatif, indisiplin, serta tak berubah. Semua noktah hitam itu disematkan saat birokrasi malfunction, dan karenanya mereka diawasi. Agar Ia lebih energik sepantasnya digiatkan dengan menimbang lima hal (Qosasih, 2022).
Pertama, untuk menduduki jabatan dalam dunia birokrasi kita membutuhkan durasi yang relatif panjang. Untuk menjabat eselon tiga butuh waktu 10-15 tahun. Bagi eselon dua butuh 15-20 tahun. Sementara untuk duduk di eselon satu butuh lebih dari 20-30 tahun. Di luar kenormalan itu, hanya ada garis tangan dan atau campur tangan.
Bandingkan dengan pejabat politik yang tiba-tiba datang dari berbagai warna menjadi atasannya. Tanpa basa-basi memperlihatkan gaya kepemimpinan liar, disharmoni, senioritas, serta serba tau dengan belukar birokrasi. Disitu Qosasih menekankan pentingnya para politisi lebih bijak memanfaatkan peran dan fungsinya.
Kedua, para politisi duduk di puncak birokrasi bukan semata karena mereka hebat. Sistemlah yang memaksa mereka harus duduk disitu. Mereka yang duduk sebagai pimpinan dewan misalnya, kemungkinan bukan primus interpares, tapi lolos sebab minus interpares. Siapapun duduk di situ lebih karena rekomendasi pimpinan parpol atas dasar pragmatisme-transaksional.
Berbeda dari itu, birokrat direkrut berdasarkan kualifikasi yang ditentukan secara profesional. Promosi, demosi dan mutasi didasarkan pada analisis jabatan & beban kerja. Jadi, membawa tim bayangan kedalam birokrasi bukan hanya merusak sistem, tak jarang memproduk kebijakan yang hanya berganti kulit. Bisa dipahami mengapa kebijakan pendidikan di setiap pergantian menteri tak pernah konsisten. Politisi boleh berganti pasca indekost lima tahunan, namun birokrasi bertahan hingga puluhan tahun.
Ketiga, persyaratan kenaikan pangkat dan jabatan seorang birokrat melalui mekanisme yang rigid dan berliku. Tanpa itu birokrat mentok di pangkat dan jabatan seadanya. Kendatipun telah melewati asesment dengan sejumlah kriteria seperti pendidikan, talent pool, makalah, dan wawancara, mereka belum tentu di lantik. Sebagian antri alias masuk daftar tunggu (waiting list) disebabkan melimpahnya sumber daya.
Mungkin dalam dunia politik pola seleksinya tak begitu ketat sepanjang terbentuk like & dislike. Pertimbangan pokoknya siapa yang paling disukai, baik oleh pemilih atau pimpinan partai. Kesukaan pemilih ditunjukkan oleh tingginya elektabilitas politisi. Sedangkan kesukaan pimpinan partai ditunjukkan oleh rekomendasi sebagai calon legislatif atau calon eksekutif saat pemilu.
Keempat, kekecewaan terberat seorang birokrat ketika sistem rekrutmen tak memperlihatkan prinsip fairness sesuai aturan yang tersedia. Promosi dilakukan hanya upaya pengguguran kewajiban. Mereka yang berada di nomor teratas hasil open biding hanya dipandang sebagai pemanis buatan. Bukan mereka yang dilantik, bahkan ada yang dilantik tapi tak mendapatkan pekerjaan. Diambil alih oleh tim sukses atau tim bayangan. Mereka frustasi, diam, tak inovatif, dan bekerja berdasarkan petunjuk atasan (robotic).
Kelima, berdasarkan UU Nomor 6/2014 dan Peraturan BKN No.5/2019, mobilisasi ASN dilingkungan birokrasi di atur sedemikian rupa agar politisi tak mudah mengutak-atik birokrasi. Tindakan demikian dapat mengganggu kinerja birokrasi dan pelayanan masyarakat. Pengaturan itu bahkan dilakukan enam bulan sebelum dan sesudah terpilih sebagai kepala daerah. Hal ini dapat dilacak dalam UU 32/2004 tentang Pemda dan UU 10/2016 tentang Pilkada. Maknanya, negara telah berusaha menyediakan birokrasi tanpa harus mencari alternatif.
Komentar
Posting Komentar