Fase, Tantangan & Profile Pamongpraja (Kearah Rekonstruksi Kurikulum Terapan Ilmu Pemerintahan, Satu Sketsa Pemikiran)

Oleh. Muhadam Labolo

Fase pertama (503-304 SM), pemerintahan muncul dalam lingkup politik di Athena. Negara Kota (Polis) menjadi basis dialektika politik. Politik identik dengan pemerintahan yang di kontrol rakyat. Awalnya kontrol dilakukan secara langsung. Seiring perluasan wilayah yang masif, mekanisme demokrasi direpresentasikan melalui legislator terhadap raja dalam sistem monarchi.

Fase kedua, pemerintahan berkembang sebagai fenomena hukum di Romawi Kuno (703 SM). Disini pemerintah identik dengan hukum. Hukum aktif dipersonifikasikan oleh pemerintah. Hukum adalah pemerintah yang pasif. Dia menjadi aktif ketika pemerintah melakukan tindakan eksekusi. Dalam konteks ini hukum seringkali tak dapat dibatasi lewat slogan, I am the law.

Fase ketiga, lahir science of government di Amerika (1780). Fase ini ditandai oleh sejumlah buku yang di tulis oleh Bleske dan Roosevelt (Wasistiono, 2018). Sekalipun demikian, pemerintahan sebagai sains tak berkembang sebagaimana ilmu politik yang lahir lebih awal di negara-negara anglo-saxon.

Fase keempat, muncul aliran Kameralisme (Jerman-Austria) yang melahirkan pemerintahan sebagai kecakapan teknis dalam bentuk akuntansi, administrasi, manajemen dan pemerintahan itu sendiri. Ilmu ini lebih bersifat teknis yang digunakan dalam pelayanan pemerintahan pasca perang dunia.

Fase kelima, pengaruh Kameralisme menjalar ke Eropa Kontinental seperti Perancis dan Belanda. Kemunculan ilmu pemerintahan lebih bersifat praktis yang kemudian dibawa ke Indonesia dengan istilah bestuurkunde (pemerintahan terapan). Dalam masa tertentu berkembang menjadi bestuurswetenschap dan bestuurswetenschappen (Ndraha, 2002).

Fase keenam, pemerintahan terapan berkembang menjadi ilmu mandiri (bestuurswetenschap) dan ilmu-ilmu pemerintahan (bestuurswetenshappen). Pasca reformasi muncul kybernologi yang tersusun dari tiga paradigma utama, yaitu subkultur politik, subkultur ekonomi dan subkultur sosial. Konstruksi ini sebenarnya tak jauh beda dengan esensi governance.

Istilah governance sendiri mengacu pada interaksi antar subkultur di atas, yaitu interaksi antar pemerintah, swasta dan masyarakat lewat delapan prinsip pokok (UNDP, 1981). Ini merupakan perkembangan dari perspektif tunggal government. Berfungsinya pemerintah dalam hal ini disebut governing (Sutoro, 2019).

Fungsi pemerintah itu meliputi fungsi primer dan fungsi sekunder (Ndraha, 2002). Fungsi primer misalnya public service, regulation, development, & empowerment (Rasyid, 1999). Fungsi pemerintah lainnya misalnya stabilisasi, alokasi dan distribusi (Hamdi, 2004). Fungsi utama lain menurut Ndraha misalnya public goods & private goods.

Nilai utama dalam pemerintahan berkaitan dengan soal otoritas dan legitimasi. Otoritas kita sebut juga kewenangan. Kewenangan bagian dari kekuasaan yang bersifat formal (Alfian, 1999). Kewenangan melekat pada institusi government. Wewenang melekat pada pejabatnya (person).

Legitimasi sendiri terkait penerimaan moral masyarakat terhadap kepemimpinan (Surbakti, 2021). Legitimasi setidaknya dilihat pada proses dan hasil. Elektabilitas baik namun proses cacat karena ijazah palsu atau kewarganegaraan asing, maka legitimasinya hilang (lex, hukum, istimasi, tertinggi). Seseorang memiliki legitimasi jika kedua hal tadi terpenuhi.

Legitimasi menjadikan pemerintah memiliki otoritas untuk melakukan berbagai tindakan (kebijakan). Kapasitas itulah yang di sebut governability. Sedangkan tindakan pemerintah di luar kebijakan sejauh tak bertentangan, menyangkut kepentingan publik dan bersifat urgen di sebut diskresi. Tindakan demikian adalah seni menerapkan kebijakan atau governmentality. Dalam makna lain di kenal the art of government (Pamudji, 1985).

Tindakan pemerintah melakukan berbagai aktivitas dilapangan sama halnya dengan menerapkan kebijakan, atau menata keadaan menjadi lebih baik (tata pemerintahan). Tujuannya agar semua kebijakan dapat diterapkan sama baiknya dalam teks dan konteks. Alasannya, selama ini terlalu banyak kebijakan yang indah di level makro namun buruk di tingkat penerapan. Disitulah kita membutuhkan sosok unik yang di sebut Pamongpraja.

Berbicara tentang kepamongprajaan tentu saja meliputi term, tugas dan fungsi, nilai, sejarah, organisasi, sistem, etika, dan profesi. Pamongpraja secara etimologis bermakna sosok kepemimpinan yang mengayomi dan mengabdi pada rakyat. Term ini pelunakan dari Pangrehpraja yang bermakna sosok kepemimpinan yang hanya memerintah. 

Secara historis Soekarno mengubah term Pangrehpraja menjadi Pamongpraja (1956). Term ini dinilai lebih demokratis dibanding otoriter. Selain mengemong, Pamong juga berkonotasi mampu ngomong dan siap diomongin (di kritik). Pangreh sendiri berasal dari kata panglima dan ngereh (Jawa). Reh sesungguhnya berasal dari kata recht (Belanda), bermakna aturan, hukum, perintah.

Secara historis Pangrehpraja memainkan peran strategis sebagai mediator antara Pemerintah Belanda dan masyarakat. Kekalahan Belanda yang menghabiskan jutaan gulden mendorong eksploitasi kaum bangsawan sebagai penarik pajak dan penyampai kepentingan Belanda. Cara ini jauh lebih efektif dibanding mengangkat pegawai Belanda yang terbatas (Kahin, 2018)

Pangrehpraja tentu merasa aman selain sebagai wakil atau kaki tangan, juga diakuinya eksistensi mereka tetap sebagai raja kecil. Sepeninggal Belanda, Jepang melanjutkan strategi itu dengan istilah yang berbeda. Di lain pihak, Pamongpraja identik pula dengan abdi dalem di Kesultanan Jogja. Mereka birokrasi lokal yang terjaga dengan fungsi melayani ke atas, mediator, dan penyampai kepentingan raja.

Term Pangrehpraja maupun Pamongpraja hanya ada dalam sejarah Jawa. Kita tak menemukan istilah ini di luar Jawa sekalipun mungkin terdapat sosok yang memiliki fungsi sama dengan istilah berbeda. Kini, tugas dan fungsi Pamongpraja itu identik dengan tugas dan fungsi ASN dalam UU 5/2014, yaitu melayani pemerintah, mediator, serta melayani masyarakat.

Pamongpraja mengemban sejumlah nilai seperti vision, magnanimous thinking, & omnipresence (Ndraha, 2002). Sementara kode etiknya berdasarkan hastha brata. Organisasinya telah muncul lebih awal dibanding instrumen penggeraknya dilapangan (satuan polisi pamongpraja). Sejak UU 5/1974, Pamongpraja bagian dari kebijakan yang mendidik kepemimpinan khas sebagai instrumen pemerintah di daerah.

Dalam konteks kekinian, Pamongpraja dikembangkan menjadi sebuah profesi. Sekalipun membutuhkan upaya keras dalam mengembangkan pendidikan dan keahlian khususnya, Pamongpraja masih mendapatkan tempat lewat pendidikan di level magister terapan dan doktoral pemerintahan. Artinya, profesi ini sekalipun belum diakui secara formal tapi dapat dipelajari oleh berbagai lapisan masyarakat.

Dengan pengembangan pemerintahan sebagai ilmu terapan dan sains, bermakna pula bahwa ilmu pemerintahan bukanlah semata ilmu para pejabat sebagaimana OSVIA, KDC, APDN, IIP, STPDN, dan IPDN, tapi menjadi ilmu masyarakat luas. Oleh sebab itu Pamongpraja bukanlah sebuah jabatan eklusif lagi, tapi profesi yang dapat diminati siapa saja, termasuk kaum politisi yang masuk ke program magister dan doktoral ilmu pemerintahan.

Tantangan pemerintahan dewasa ini terdiri dari internal dan eksternal. Internal terkait isu politik, ekonomi dan sosial budaya. Persoalan utama hari ini bahwa subkultur sosial masih jauh dari kemampuan dua subkultur lain yang bahkan saling selingkuh. Sementara tantangan eksternal berkaitan dengan perkembangan 4.0 dengan teknologi informasi sebagai perangkat menuju 5.0.

Dua tantangan itu setidaknya mendorong kita untuk mengkonstruksi ilmu pemerintahan terapan dan sain. Terapan di level magister setidaknya mampu menjawab tantanga terkait implikasi 4.0. Sedangkan sainsnya mampu menjawab soal implikasi atas perubahan pemerintahan di dunia global dan jangka panjang.

Magister sepadan dengan kata magistrate (master) yang berarti menguasai. Artinya kita ingin mewujudkan profile lulusan yang mampu (menguasai) menjadi ahli di bidang pemerintahan untuk menata dan menyelenggarakan pemerintahan secara efisien dan efektif. Istilah menata disini konsisten dengan tata pemerintahan agar berbeda dengan tata negara (hukum), tata kelola (administrasi), tata kuasa (politik), tata niaga (ekonomi) maupun tata laksana/boga (estetika).

Upaya merumuskan kebijakan sebagaimana diusulkan menunjukkan kedekatan pada ilmu kebijakan publik. Kebijakan publik sendiri adalah ilmu teknis dari politik. Jika ini yang digunakan artinya kita menempatkan terapan pemerintahan sebagai bagian dari agenda politik-pemerintahan. Ini tidak keliru, namun tata pemerintahan menggambarkan suatu aktivitas yang lebih luas dan konsisten dalam penggunaan konsep ilmu pemerintahan.

Tata pemerintahan meliputi tindakan menata sistem pemerintahan secara akuntabel, transparan, dan terbuka menurut aturan normatif (legalistik), konseptual teoritik, maupun kebutuhan lokalistik (empirikal). Tata pemerintahan itu dengan jelas memenuhi tiga kompetensi yang dimungkinkan menjadi orientasi program magister terapan ilmu pemerintahan.

Dengan profile itu, maka orientasi magister terapan pemerintahan tak membatasi dirinya hanya mendidik birokrat atau calon birokrat, juga non birokrat ASN yang mampu melakukan tata pemerintahan menurut konsepsi teoritik, legalistik dan empirikal. Inilah kompetensi yang diharapkan guna menjawab 4.0 menuju 5.0. 

Selain itu, oleh sebab sifat satu objek masalah tak dapat dipecahkan lewat satu disiplin ilmu di dunia yang serba cepat dewasa ini, maka pemerintahan terapan sangat tepat dikembangkan melalui kybernologi (bestuurswetenschappen), dan tidak terperangkap pada pengembangan konsep governance seperti pentahelix dan collaborative governance.

Dengan memahami genealogi, tantangan, profile, serta kebutuhan kurikulum magister ilmu pemerintahan terapan, maka bagian terakhir adalah bagaimana merumuskan mata kuliah yang mampu mencipta sosok profile di maksud. Untuk itu kita perlu menyusun mata kuliah dasar (matrikulasi), mata kuliah inti (bahan ajar mata kuliah utama), serta mata kuliah pendukung (bahan pelengkap terapan ilmu pemerintahan). 

Mata kuliah dasar meliputi mata kuliah yang memberi pondasi moral kebangsaan dan keIndonesiaan. Mata kuliah inti berkaitan dengan pemampuan dari aspek penataan pemerintahan, seperti system thinking, system dinamic, kepemimpinan, komunikasi, politik, manajemen, hukum, kebijakan dll. Keseluruhan matkul itu diborder dalam lingkup pemerintahan, bukan pure sains seperti ilmu politik, ilmu komunikasi, ilmu hukum, tapi politik pemerintahan, komunikasi pemerintahan, hukum pemerintahan, kebijakan pemerintahan dll.

Politik itu ilmunya (teori), terapannya Politik Pemerintahan. Hukum itu ilmunya (teorinya), terapannya Hukum Pemerintahan. Kebijakan itu ilmunya (teorinya), terapannya kebijakan pemerintahan. Batasan atas keluasan ilmu yang ditarik ke pemerintahan dapat dilihat pada pohon kybernologi (Ndraha, 2002). Demikian pula untuk mata kuliah pendukung seperti statistika sosial maupun metode penelitian ilmu terapan pemerintahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian