Ompreng Pertama Dipa Abadi
Oleh. Muhadam Labolo
Lepas Subuh, Bus Simpatik asal Bali merapat di Manglayang. Satu persatu penumpang turun dengan wajah kusam. Maklum, lebih dua puluh jam perjalanan saat itu, jelas melelahkan. Kontingen Bali masuk kampus lengkap dengan pakaian hitam putih, dasi hitam dan tas koper seadanya.
Depan Masjid, mereka di sambut hangat layaknya kontingen lain, sentuhan selamat datang Polpra Madya. Mungkin masih pagi, panitia hampir tak kelihatan, hanya satu dua. Biasanya diantara panitia terselip senior kontingen sebagai guide. Kelebihan masuk pagi, sambutan tak sehoror kontingen yang masuk siang. Birokrasinya panjang, bahkan penuh onak dan duri.
Di siang hari, jarak dari PKD bawah sampai barak bisa berjam-jam lamanya. Lihat saja kontingen Sulteng melapor siang, tiba di barak malam hari. Setiap laporan dipenuji banyak meja. Mulai meja satu sampai sepuluh. Setiap meja ditunggui dan diinterogasi macam napi.
Dipa Abadi dan kawan-kawan hanya transit sebentar di Kelas Majapahit. Mereka di stealing dan dihalau menuju Timur Menza, antri makan pagi. Semua bergegas di bawah komando Polpra dan Jarko Madya. Disana sudah berjejer rapi Capra berdasarkan Darma masing-masing.
Di tengah desakan menuju DP, banyak anggota Darma berhimpitan menuju area yang ditentukan. Seperti biasa, beberapa praja tercecer di ekor barisan. Mereka nekat mengambil jalan pintas menginjak rumput hijau disamping paving block. Apes, Dipa dan sejumlah anggota korps 160 Darma itu terpantau.
Para pelintas batas itu terdeteksi kader Jarko Madya. Mereka dilokalisir satu demi satu. Dipa di cegat Madya Nurwakit. Beliau kader Jarko asal Lumajang. Dengan nafas tersengal Dipa berdiri di depan Nurwakit. "Kamu tau kesalahanmu?" Dipa jawab, "siap tidak kak!" Selesai jawaban itu Dipa tak ingat suara lain kecuali bunyi tepisan berat berkali-kali dipipinya.
Untuk pertama kali kedua pipinya terasa perih dan panas. Rasanya terbakar. Tak sadar ujung bibirnya berwarna merah. Segera ditelannya agar tak meninggalkan barang bukti. Ia hampir tak percaya pada sentuhan pertama makan pagi. Tapi bukan Ia sendiri, di barisan lain bahkan lebih mengenaskan, berguguran bak bunga tumbuh layu.
Dipa duduk di salah satu kursi Menza. Berhadapan dengan muda lain yang tatapannya kosong. Di kiri-kanannya juga sama, duduk Mumi Mesir setengah kursi. Di meja tersedia menu pagi, Tahu Sumedang dan sayur laknat. Isinya terong bulat dibelah empat dan dicelup ke kolam santan cair. Warnanya cokelat pramuka. Rasanya asin dengan irisan cabe hijau sebagai hiasan.
Perut Dipa dalam kondisi tak normal akibat guncangan fisik dan psikis sejak di Bus. Mengintip sekilas menu itu, enzim pencernaannya protes. Seakan melawan balik, ingin muntah. Bau menu itu merangsang tenggorokannya menolak keras. Tapi lonceng sudah berbunyi, muda di paksa makan di Ompreng pertama.
Baru lima sendok, sayur dan tahu itu seperti umpan yang menarik isi perut Dipa. Semua bekal ortu di bus dan setengah isi Ompreng yang baru dilahap terburai tumpah di atas Ompreng. Berantakan seperti isi perut Kapal Titanic yang digelar di atas pasir. Isinya macam-macam. Ia muntah tak tertahan.
Dibelakang kursi berdiri senior madya. Dipa berharap Ia menjadi malaikat penolong. Sayangnya, dengan wajah tak peduli Ia mencengkeram leher Dipa dengan kedua tangannya. Ia mengancam sambil berbisik, "anda tau tidak dek, semua makanan di atas meja ini dibiayai negara dari uang rakyat!" "Habiskan makananmu dalam hitungan kelima!"
Perintah itu jelas ditelinganya. Dipa tak punya pilihan. Disana-sini terdengar tepisan dipipi muda yang menekan mental psikologisnya. Ia hampir menangis melawan kesabaran ketika sendok menyusup kembali ke mulutnya. Ia tak lagi mengunyah, semua telah menjadi bubur, tinggal menutup mata, menelan dengan hati-hati agar tak tumpah kembali. Dipa lolos.
Dipa pernah bertugas di Pemda Bali setelah kemudian memutuskan resain sebagai ASN. Selain motivator, Ia mengembangkan bisnis online & e-networking lewat perusahaan yang didirikan mandiri. Ia mencintai profesinya, membangun jiwa manusia lewat kesadaran mental dan spiritual. Mungkin lewat pengalaman ompreng di Menza itulah Ia mendapatkan inspirasi, tentang bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar