Wardana & Pak Julian

Oleh. Muhadam Labolo

Pak Julian tak masuk kelas hari ini, kata petugas blok. Kelas kosong. Bagi Mudapraja ini berkah tak terkira. Boleh tidur sepanjang jam pelajaran. Caranya, salah satu harus berjaga di depan pintu. Maklum, senior suka lalu-lalang di muka kelas. Kepergok Polpra atau Jarko bisa panjang urusan. Seseorang harus awas dan sesekali mengangkat kepala seperti Musang Meerkat di gurun.

Di baris depan kursi kelas, jatah duduk biasanya putri, dan Mudapraja yang tak punya pilihan karena kursi belakang terisi. Mudapraja Putri tak jauh masalahnya dari Praja Putra. Sama-sama butuh belaian kasih sayang, entah dukungan logistik maupun kesempatan istrahat. Tak menunggu lama, semua praja mengambil posisi tidur di kursi dan meja kelas. Tidur bersama alias sama-sama tidur.

Baru setengah jam lewat, tiba-tiba pintu terbuka lebar. Pak Julian masuk. Semua kaget minta amplop. Segenap mimpi indah buyar. Liur Putri berantakan dan menetes bening di atas kursi. Mungkin masih ting-ting. Beberapa kaget hingga liurnya tak jadi netes. Srrreep. Di tarik kembali. Putra apalagi, air liurnya belepotan di pipi membentuk lekukan putih Peta Nusantara. Tak sempat di lap, semua pura-pura menarik buku dalam tas. Padahal isinya mungkin hanya Batu Apung dan Herocin. Mujur Pak Julian tak periksa.

Ketua kelas diminta membersihkan papan tulis dan menyiapkan praja agar duduk siap. Protap belajar di kelas. Ketua kelas kali ini Mudapraja Wardana. Dia orang Aceh yang lugu & lucu. Pada situasi tertentu beliau suka gugup & gagap. Suaranya tak jelas dan kalimatnya sering tak lengkap. Bagian-bagian penting seperti lapor, jumlah, hadir, sakit, dan tanpa keterangan beradu kental dengan logat Aceh Tamiang. Simon Moshe kelihatan gemas, tak kuat menahan geli dan resiko tinggi. 

Julian mulai kesal. Beberapa kali diminta ulangi. Wardana mengikuti perintah, mengulang dengan suara terbatas-bata. Tapi selalu saja ada yang kurang, entah itu vokal maupun konsonan. Pak Julian tak sabar, Ia terpaksa maju selangkah beri pemanasan lokal dalam bentuk belaian halus agar Wardana segera ingat kalimat laporan. Semua terdiam kaku menunggu prosesi itu agar cepat berlalu.

Pak Julian beri contoh, begini dek, “lapor, jumlah kelas C2 jumlah 40, hadir 38, kurang 2, 1 sakit, 1 jaga barak, selanjutnya siap mengikuti perkuliahan!” Belum sempat Julian melanjutkan instruksi, Wardana langsung menjawab, "siap, lanjutkan!” Pak Julian gusar. Beliau menganggap Wardana memberi perintah kepadanya, bukan sebaliknya. Tanpa sadar komando rupanya bertukar subjek. Julian jadi Mudapraja, Wardana jadi dosen. 

Kali ini bukan hanya keduanya yang tegang. Semua anggota kelas turut menahan nafas. Ingin ketawa takut dimutasi. Julian kembali beri belaian keras. Menyentuh pipi kanan dan kiri. Wardana kehilangan konsentrasi. Wajahnya lebam, berubah pelangi didominasi merah tua. Laporannya semakin tak karuan. Untuk beberapa saat akhirnya Ia berhasil mengendalikan diri, memperbaiki kalimatnya sekalipun vokalnya mungkin keselip di gigi. Laporan sukses.

Kelas hari itu dimulai dengan suara lantang Julian. Ia bercerita tentang pengalaman di desa, kecamatan, hingga berakhir di Kampus Manglayang. Muda hanya bertahan 15 menit usai insiden itu. Kembali ke kutukan azali, tidur sesenyap mungkin. Matanya tak bisa kompromi. Dari horison mata Mudapraja, Julian terlihat samar dan mengecil di titik terjauh, lalu redup dan hilang. Julian tak berdaya, emosinya lenyap seakan di telan gelombang Laut Ratu Pantai Selatan. Kesunyian tidur yang tak dapat diganggu gugat.

Wardana kini pejabat penting di Aceh. Istrinya seorang guru besar di salah satu Perguruan Tinggi lokal. Wardana lebih percaya diri dan lancar berkomunikasi hari ini, tak sama 27 tahun lalu. Julian, dosen killer yang ditakuti praja itu telah wafat. Tentu saja beliau banyak kenangan horor dengan praja, dari senior sampai yunior. Beliau dosen yang sulit di tebak dan suka meledak-ledak. Semoga husnul khotimah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]