Uji Nyali Seleksi Polpra
Oleh. Muhadam Labolo
Seleksi Polpra dibuka awal tahun 1993. Diumumkan langsung oleh kandidat Kapolpra, Madyapraja Joko Prasetyono. Badannya tinggi dengan wajah tak bersahabat. Korps ini paling bergengsi, punya wewenang khusus mengeksekusi praja. Anda sewaktu-waktu dapat di jemput paksa tanpa surat perintah. Bisa pagi, siang terik, hingga tengah malam. Untuk bergabung di korps itu tingginya di atas 165 senti. Raga anda harus terlihat proporsional, setidaknya berotot kawat bertulang besi seperti Gatot Kaca. Intinya soal kesiapan fisik dan mental.
Bila tinggi anda di bawah itu sebaiknya urungkan niat baik itu sebelum tulang-belulang anda dinyatakan gagal-sambung oleh Dokter Soma. Toh masih banyak unit pengkaderan lain yang bisa dipilih sebelum menyerahkan diri bulat-bulat. Ini bukan latihan lagi Bung, kata kawan sepetak, ini benar-benar uji nyali. Kalau anda punya ilmu kanuragan seperti Mahendren dan Tuan Bajang, silahkan saja. Mereka berdua saja tak nampak, apalagi seperti anda. Begitu kira-kira percakapan di petak korps 160 kotor.
Andai Mudapraja bertemu Polpra, sebaiknya ambil jalan pintas. Disiplinnya tinggi, konsolidasinya rapi, serangannya masif, terstruktur, sistematis dan terencana. Ikat pinggang dan tali kurtnya beda sendiri, putih dengan besi kuning menggantung di dada. Putih bermakna netral dan suci walau tindakannya acapkali bergantung perintah komandannya. Tak jarang beberapa diantaranya berdinas di luar komando. Berpapasan dengan mereka membuat Muda putus asa.
Malam pertama setelah evaluasi singkat, Polpra Joko menutup dengan ajakan, “bagi Muda yang mau ikut Polpra silahkan kebelakang!” Dengan semangat ’45 lebih 300 sukarelawan berbalik arah memisahkan diri. Seakan yang tersisa hanyalah kumpulan praja pengecut. Tanpa sadar rombongan Muda yang lugu itu di sambut hangat oleh Polpra Madya terlatih baik, Noval Tamburaka, Imanuel Jobo, Diki Dwi Utomo, Lontas Sianturi dan Mousche Woria. Tak bisa dibayangkan bagaimana pergumulan mereka dibelakang barisan. Hanya Tuhan yang tau.
Beberapa Muda berbadan besar dan tinggi tak berani ke belakang. Mereka realistis, daripada masuk ke lembah pembantaian lebih baik diam di tempat. Namun naas untuk Wardana, Victor Fun, Sondang Panjaitan, Bambang Haryadi, dll. Mereka di tarik paksa lewat tendangan agar turut bergabung setelah dipermalukan. Rekrutmen Polpra berubah menjadi Wamil bagi mereka yang berpostur ideal. Dengan terpaksa dan hati kecut mereka bergabung.
Sekembalinya ke barak sebelum praja lain tidur Victor Fun urut dada. Dia bilang, “ado mamae, kalu kitonk punk mama lia ini dada biru-biru bagini pasti manangis sudah, donk pasti heran sekolah apa ini” Sambil senyum menahan getir Simon Moshe menjahit kembali dua kancing yang pecah dan hilang beberapa saat. Paulus Agung rupanya di depan westafel. Beliau bukan urut dada atau jahit kancing, tapi mengecek fungsi gendang telinga. Seperti sedang mengetes mic, apakah berfungsi atau tidak, test, halo, satu, dua, tiga, dan seterusnya. Bocor.
Malam kedua Polpra Madya Syamsul Jauhari asal Lampung mengambil apel. Provokasinya sama, yang mau jadi Polpra silahkan ke belakang. Ternyata jumlah Muda yang ke belakang menyusut drastis, tinggal sepertiga. Perwakilan Sumbar Atas diwakili Simon Moshe Maahury dan Paulus Agung Fahik. Victor Fun dan Wardana memilih mundur daripada porak-poranda dan hancur berkeping-keping di tangan Lontas Sianturi, Luky Gerungan dan Noval Tamburaka. Keduanya angkat bendera putih.
Malam selanjutnya doktrin rekrutmen Polpra berjalan sesuai protap yang sama. Jumlah volunter susut secara alamiah menjadi 50 orang. Mereka yang terpilih dijamin telah melalui masa kelam penuh tekanan. Demikian pula Polpra putri seperti Florentina, Lina Mayanti Harahap, dan Linda Rosanti. Hampir setiap malam diisi pembinaan oleh Polpra Madya kepada calon Polpra Muda. Setelah pembaiatan, mereka tampil dengan pita putih di lengan kanan, diminta jaga sikap sampai pakai tali kur menghadapi korban baru, Capra 05.
Komentar
Posting Komentar