Masa Depan Pemerintahan Daerah
Oleh. Muhadam Labolo
Sebuah webinar menggelitik tentang arah dan rekonstruksi sistem pemerintahan daerah layak menjadi perhatian sekaligus catatan kaki. Penyajinya kawan baik di program doktoral Unpadj, Mas Hanif. Beliau guru besar di Universitas Terbuka. Materinya soal illogisme sistem pemerintahan daerah sekaligus kritik yang ditujukan bagi desainer undang-undang pemerintahan daerah serta akademisi di lingkungan Kementrian Dalam Negeri.
Sebenarnya, substansi yang dikemukakan lewat power point dan sejumlah makalah beliau dapat dipahami lewat media sosial. Saya ingat materi itu pada almarhum Prof. Benyamin Hossein (UI) yang pernah mengajak Prof. Ryaas untuk diskusi terbuka soal eksistensi pengaturan sistem pemerintahan daerah di Indonesia.
Diskusi itu bertujuan meletakkan kembali posisi entitas provinsi, kabupaten/kota, desa dan relasinya secara hirarkhis dan otonom. Sayangnya, hingga keluarnya UU 32/2004, dialektika itu tak pernah dilaksanakan, apalagi dinamika politik pemerintahan pasca reformasi bergerak cepat.
Sejujurnya, setiap beleid faktanya bukanlah produk akademik murni. Semua teks ideal yang dirancang sesuai logika akademik terkadang hanya tersisa 50% dibanding kepentingan politik yang cenderung mendominasi pergulatan suatu kebijakan. Karenanya, jangan bermimpi bahwa setiap produk di Senayan akan sama persis dengan asa para pengusulnya. Hasil akhirnya, kompromi antara kepentingan politik dan akademik.
Disadari pula bahwa undang-undang Pemda tidaklah terbentuk begitu saja. Ia merupakan akumulasi dari sejarah panjang sebelum dan sesudah kemerdekaan. Arah pengaturan itu sangat bergantung pada political will rezim berkuasa. Hal itu dapat dilihat dari perbedaan tekanan pengaturan Sistem Pemerintahan Daerah sejak orde lama, orde baru, dan orde reformasi.
Harus diakui bahwa pengaturan Sistem Pemerintahan Daerah dewasa ini bukanlah sesuatu yang ideal, banyak dipengaruhi oleh dinamika internal dan eksternal. Pengaruh kolonialisme Belanda dan Jepang turut dirasakan disamping dominasi rezim yang terkoneksi pada setiap periode pemerintahan. Sama halnya dengan pengaturan sistem hukum yang dinilai kehilangan sense kearifan lokal baik dari sisi hukum adat maupun agama. Pengaturan sistem politik dan ekonomi pun demikian, dinilai over liberal dan kapitalistik.
Pengaruh eksternal menjadikan sistem politik dan pemerintahan dipengaruhi dan identik dengan negara-negara kapitalis. Dari aspek sejarah sebutlah Jepang, Belanda, Perancis hingga Romawi Kuno secara langsung dan tak langsung turut mempengaruhi. Boleh jadi sistem ekonomi, politik, hukum dan pemerintahan kita tak jauh beda dengan negara-negara yang selama ini kita tiru habis-habisan, atau justru tak kompatibel lagi dengan realitas kultural Indonesia dan kekiniannya.
Sebenarnya, pendekatan sejarah dan administrasi negara bukanlah satu-satunya upaya untuk menjelaskan perkembangan Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, mengingat saratnya kepentingan politik yang dibuktikan oleh perubahan Sistem Pemerintahan Daerah sejak UU 1/45, 22/48, 1/65, 5/74, 22/99, 32/2004, dan 23/2014. Bahkan pasca reformasi, dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun pemerintah telah melakukan tiga kali perubahan UU Pemda.
Persoalan yang disoroti narasumber dari sisi kebijakan adalah apakah undang-undang Pemda masih sejalan dengan cita konstitusi dan agenda reformasi? Lebih jauh apakah pola pengaturan sistem Pemda ideal mendekati gagasan para founding fathers ketimbang menggunakan istilah Hanif, illogis. Tentu saja dasar utamanya adalah konstitusi disamping suasana kebatinan masyarakat pasca runtuhnya rezim orde baru.
Paragraf selanjutnya akan memberi tekanan pada kesimpulan Hanif terkait pendekatan konsep yang digunakan, hubungan antar daerah otonom, eksistensi provinsi yang ambigu, serta nasib desa adat yang tak kunjung didudukkan sebagaimana mestinya. Penjelasan singkat ini setidaknya memberi insight terhadap hal yang dipersoalkan.
Pendekatan draft UU 22/99 tampak menggunakan ajaran rumah tangga formil dan ril. Formalnya ditentukan pemerintah secara umum, sisa urusan yang sifatnya ril tinggal ditetapkan pemerintah (Koesoemahatmadja;1978, Suprijatna;1995, Koswara;2001). Ciri lain pemerintah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya kecuali enam perkara, agama, pertahanan, keamanan, yudisial, luar negeri, dan fiskal yang menjadi kewenangan pusat.
Pada rezim selanjutnya pendekatan konseptual yang digunakan lebih kurang sama dengan tekanan pada aspek materilnya (32/2004). Pola pembagian kewenangan dilakukan dengan membagi urusan secara rinci dan tegas sebagaimana praktek UU 23/2014. Prinsipnya berubah sejak 32/2004 menjadi eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan strategis nasional.
Pengaturan relasi antara daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota merupakan hubungan antar badan hukum otonom tanpa hirarkhi. Hal itu eksplisit pada salah satu pasal yang menekankan tidak adanya hubungan hirarkhis antara daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota. Naas, pasal itu hilang sejak revisi UU 22/99 menjadi UU 32/2004.
Perubahan pasal tersebut dimaksudkan mengurangi tensi ketegangan antara gubernur dengan bupati dan walikota. Bupati dan walikota merasa bukan bawahan langsung gubernur sehingga ruang rapat Korbinwas setiap bulan kosong. Absensi itu dinilai mengganggu kinerja pemerintah provinsi sekaligus memperlihatkan pembangkangan dihadapan wakil pemerintah pusat.
Problem pelik berikutnya adalah posisi gubernur sebagai kepala daerah otonom sekaligus wakil pemerintah pusat menciptakan ambiguitas dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah (fused model). Ssejalan dengan Hanif, disatu sisi sebagai daerah otonom terkesan tak punya area kerja. Sementara sebagai wakil pemerintah pusat tak punya wewenang dan sumber daya yang memadai (powerless). Kedua posisi itu selain tak konsisten secara akademik juga tak efektif. Dengan begitu usul penataan posisi provinsi perlu didudukkan kembali.
Derivasi wewenang pusat ke daerah secara logika diharapkan mampu menurunkan obesitas organ pemerintah. Faktanya organisasi pemerintah bertambah gemuk sebagai implikasi resentralisasi bahkan jauh sebelum lahirnya UU Cipta Kerja dan Minerba. Jadi istilah pengerdilan wewenang pusat sebenarnya hanyalah konsekuensi logis atas berpindahnya wewenang pusat ke daerah.
Namun itu semua tak berlangsung lama. Bila dicermati postur organisasi pemerintah saat ini super tambun. Sekali lagi, sadar atau tidak selain kegagalan pemerintah melakukan Korbinwas, juga munculnya perasaan frustasi atas hilangnya wewenang, meningkatnya birokratisasi di daerah, terbentuknya arogansi, korupsi, dan lahirnya local strongman. Gejala itu memicu gerak bandul resentralisasi.
Sejak UU 22/99, konsepsi pembagian kewenangan vertikal di daerah terdiri dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom murni. Kecuali desa, semua unit pemerintahan dibawahnya menjadi perangkat daerah otonom. Desa dikeluarkan dari birokrasi negara sekaligus koreksi atas kedudukan desa dibawah kendali negara. Kebijakan penyeragaman desa (uniformitas) selama 32 tahun mendistorsi makna otonomi desa yang diakui negara sesuai konstitusi Pasal 18B ayat (2).
Akhirnya, untuk kepentingan politik di suksesi 2019, desa dipercakapkan kembali dan di atur melalui UU 6/2014. Sekalipun desa adat diakui negara namun pendefenisian desa tetap saja memenjarakan otonominya yang justru berbeda dengan otonomi daerah. Hal ini dapat dilihat dari perlakuan terhadap desa adat yang disamakan dengan perlakuan terhadap desa biasa (desa dinas atau desa administratif). Saya pikir inilah gambaran dinamika perkembangan Sistem Pemerintahan Daerah yang membutuhkan rekonstruksi dihari-hari mendatang.
Komentar
Posting Komentar