Sergapan Senior Wakano
Oleh. Muhadam Labolo
Waktu stelling, Madya dipaksa kumpul dilapangan Parade. Semua lari kalang-kabut seperti penonton Arema berebut pintu di semprot Gas Air Mata. Perintahnya pakai PDU. Apa saja di sambar asal rapi. Bunyi pluit, teriakan Polpra dan suara sepatu praja berlarian menyatu disepanjang jalan menuju Parade.
Beberapa Madya berlari lewat jalur alternatif Plaza Menza. Pikirnya, dari situ turun tangga kelas sampailah di tengah Parade. Jalur ini bisa hemat beberapa detik dan minim gangguan. Pilihan itu menghindari Philip Bota, Lontas Sianturi dan Diki Dwi Utomo disepanjang jalan Barak Abri.
Posisi kami kejauhan di Barak Kalsel Atas. Tentu butuh strategi & trik khusus agar gak telat dibanding barak dekat Parade. Sayapun ambil jalan pintas bersama tiga Madya dibelakang. Ketika menanjak melewati tikungan Menza awalnya terasa lengang dan mulus.
Tapi perasaan itu tak berlangsung lama. Rupanya, dibalik pot bunga besar dan hampir kering itu, muncul wajah Wakano. Kami yang tadinya lari tanpa beban kaget luar biasa. Rasanya jumpa hantu hitam di siang bolong. Saya berusaha cikar kiri tapi terlambat. Kecepatan lari waktu itu mencapai 80km/jam. Mengerem dan putar balik sama saja bunuh diri. Itu melawan hukum gravitasi, bisa ringsek.
Melompat ke kiri bisa fatal, sama saja buang diri, tinggi. Banting kanan bisa tabrak tembok China, apalagi tinggi saya masuk Anggota Kavaleri, 160 centi. Satu-satunya cara maju terus pantang mundur. Wakano tau betul bahwa kami akan terperangkap disitu seperti tikus rumahan. Wakano merasa dapat daging segar. Dia sikat satu-persatu persis ikan Salmon masuk ke mulut Beruang Kutub.
Wakano kunyah Madya di tempat. Tak ada yang tersisa. Dia sikat dan sentuh berkali-kali. Terakhir tendangan kasih sayang. Dengan puas Ia berkata lirih, "sapa suru lewat sini hah?" Su tau ada jalan raya kalian enak lewat sini, hah? Rupanya masih ada yang ikut kami di belakang.
Wakano bernafsu menghabisi Madya yang lewat di tikungan itu. Karena banyak, dia tinggalkan kami begitu saja persis wanita yang habis di perkosa. Dia loncat cari mangsa lain. Kami langsung berdiri dengan sisa-sisa nafas yang tak beraturan, lari secepat mungkin dan tak menoleh kebelakang.
Kami meluncur deras ke parade. Sepintas terdengar gemuruh Madya bertumbangan. Pikir saya mungkin Kaka Wakano dapat Salmon agak besar. Setiba di Parade kami atur nafas, perbaiki kancing yang miring sambil menengok ke tangga Menza. Rasanya Wakano pukul kitonk persis Jacky Chan di film jurus mabok. Hancur.
Di tahun dua ribuan saya kebetulan di undang mengajar diklatpim empat di Tual. Saya tak sengaja bertemu beliau sebagai operator kegiatan diklat dan prajabatan. Saya iba, saya minta adik kabag agar ikutkan beliau diklatpim tahun berikutnya. Dan, betul, diklat selanjutnya beliau jadi ketua kelas, laporan dan PPM ke saya sebelum sesi ajar dimulai. Sa ampir ketawa inga Wakano punk kalakuan. Semua jadi indah rupanya.
Komentar
Posting Komentar