Smoker di Riau Bawah
Oleh. Muhadam Labolo
Di Manglayang, para smoker punya teknik khusus supaya terhindar dari grebek pengasuh dan senior. Asosiasi perokok di barak itu akan rame bila senior lagi pesiar atau Izin Bermalam (IB). Keluar satu persatu seperti cacing, lengkap dengan rokoknya Gudang Garam Filter.
Di sekitar westafel dan lorong lemari tempat paling strategis. Beberapa duduk dan jongkok. Mereka menyudut puas, bahkan usai Yasinan di Musholla. Ada Ridha, Riki, Suwito, Teuku Yahya, Laili dan lain-lain. Bila di dewan dibilang Anggota Dewan Suro, atau Anggota Dewan Suka Merokok, mereka anggota Basuro, Anggota Barak Suka Merokok.
Semua pintu di tutup, bahkan mungkin di segel. Pintu ruang belajar pun dipastikan terkonci. Jaga barak dan tim pantau biasanya di suruh periksa berkali-kali. Malam itu pas IB, para senior sepi. Ini kesempatan paling enak menghirup asap beserta nikotinnya. Rasanya pasti beda, menyedot asap di tengah kebebasan tanpa perasaan was-was sebelum tidur.
Riki baru lima hembusan, Suwito baru tiga kali sambil senyum menerawang. Berhalusinasi andai pesiar dan IB seperti para senior, tentu akan lebih indah tarikan seperti ini. Bisa puluhan batang dengan berbagai gaya, sambil membayangkan kecantikan Neng Geulis di sekitar Tanjung Sari dan Alun-Alun Bandung. Asap di tiup lembut hingga menggulung tipis dan lenyap di udara.
Rupanya, imaji seksi itu tak bertahan lama. Harapan itu di sapu oleh teriakan keras dari ruang belajar, "Madyaaa!" Tak disangka, Nindya Evan Hendrawan Jaga Manggala lolos sensor via jendela belajar. Semua smoker berlarian ketakutan. Berloncatan seperti Rusa menyelinap di semak belukar. Riki dan Herbert Tambunan tersisa tak bergerak di lorong sempit, tertangkap basah, di tarik keluar barak.
Keduanya tersandar di dinding. Tak sempat berpikir panjang semua sentuhan telah mendarat. Rasanya seperti sedang berhadapan dengan tentara Vietkong. Desingan peluru dimana-mana. Beberapa kali terjatuh tanpa ampun. Yang lain meringkuk dibalik selimut dengan kuping terbuka lebar. Merasakan dentuman demi dentuman menembus selimut.
Riki ringsek seperti mobil di tabrak truk. Badannya penuh benjolan dan warna kebiru-biruan. Esoknya dia ke KSA menemui spesialis penyakit praja, Dokter Soma. Rasanya Ia tak percaya, Soma mengeluarkan hasil diagnosis dalam waktu singkat, "anda gejala maq akut!" Riki putus asa, rasanya ini malpraktek. Tapi apa boleh buat, tak ada pilihan lain kecuali berobat jalan.
Ia pulang dalam kondisi frustasi membawa resep Dokter Soma yang di tulis steno. Sempat terbetik dibenaknya, mungkin dokter Soma menutupi perilaku para senior. Ini tak benar, katanya dalam hati. Di pintu KSA tak disangka jumpa seniornya, Erdiansyah. Dia di tanya, dan diceritakan kronologisnya. Erdiansyah rupanya sebarak dengan Evan. Ia diperingatkan Erdi agar tak kebablasan menghukum madya.
Nindya Evan tak terima. Pas malam Riki dicari. Di jejer bersama madya di depan barak. Evaluasi berulang kali disampaikan, termasuk hukum haram melambung. Itu fatal. Riki gemetar di depan barisan. Ia di hukum bolak-balik barak ke Menza sambil jalan jongkok, lompat katak, jungkir, hingga lari tanpa busana kecuali CD. Seniornya puas melampiaskan kekesalan akibat tindakan melambung.
Madya Riki benar-benar dongkol. Persoalan smoker ternyata merembes kemana-mana. Dia merasa dizolimi tiga kali. Di dinding barak, plaza menza, dan resep Dokter Soma yang dianggap gagal diagnosis, bahkan cenderung kolutif. Ia tobat ke KSA, sebab apapun penyakitnya, trisulva, antalgin, parasetamol dan norit obatnya. Mirip iklan Teh Botol Sosro.
Komentar
Posting Komentar