Bahtiar, Pengendali Ormas Indonesia
Oleh. Muhadam Labolo
Bahtiar salah satu sahabat Pasopati yang punya mental fighting spirit. Ia tak kenal menyerah sekalipun terpelanting. Kata motivator, anda akan hebat bila jatuh dan bangkit kembali, bukan jatuh dan menyerah begitu saja. Beberapa kali Ia dijanjikan pada satu posisi, namun Tuhan berkehendak lain. Ia malah pulang kampung, jadi pejabat Gubernur Sulawesi Selatan.
Jauh sebelum itu, Bahtiar pernah menjabat Gubernur Kepulauan Riau. Pulau perantauan Hang Tuah, legenda pelaut kontroversial. Hang Tuah pernah dianggap orang Bugis-Makassar yang menguasai lalu-lintas perairan Riau. Disana, Bahtiar bukan melanjutkan kedigjayaan Hang Tuah, Ia hanya melaksanakan tugas agar tak terjadi kekosongan pemerintahan.
Waktu sekolah di Manglayang, Ia di daulat menjadi Ketua Dewan Musyawarah Praja (Demuspra). Organisasi baru, bagian dari struktur Manggala Korps Praja. Dia orang pertama yang mengepalai organisasi itu. Semacam legislative member praja, punya anggota dan jaringan di tiap tingkatan. Saya sebarak di Bali Atas, waktu Nindyapraja.
Bahtiar punya hobby membaca koran. Sama seperti Andriean Anjar dan Irwansyah. Ia melahap duluan bila koran datang di awal. Petak terakhir tinggal menikmati potongan iklan. Iklan sabun dan hiburan, lengkap dengan nomor telepon. Isu-isu besar yang jadi headline sudah hilang di telan mentah oleh pembaca selanjutnya.
Bahtiar jarang terlihat di kelas, tapi Ia mampu menjelaskan panjang kali lebar, khususnya isu-isu yang Ia kutip di Harian Pikiran Rakyat. Ia suka bicara apa saja walau lupa membraso mangkok besar Ketua Demuspra. Ia bukan anggota korps praja yang telaten memeriksa atribut sebelum turun apel. Ia sendiri sulit ditemukan ikut apel. Raib bersama konconya, Andi Ramlan dan Alimin.
Pertemanan yang kuat tak mudah Ia lupakan. Bahtiar cukup perhatian pada kawan-kawan yang kurang beruntung. Alimin pernah jadi stafnya di Jakarta, sambil menunggu putusan pengadilan tata usaha negara. Berkat koneksinya, dan usaha teman-teman, Alimin selesai menjalani masa hukuman dan duduk kembali sebagai pejabat di Kesbangpol Bone.
Bahtiar tak sulit dijumpai di sela-sela kesibukan sebagai Dirjen Kesbangpol dan Pj. Gubernur Sulsel. Semua difasilitasi lewat teman yang difungsikan sebagai kepala staf gabungan, Hasan Sulaeman. Ia tak sungkan menyediakan waktu, walau hanya bercakap untuk sesuatu yang tak begitu penting, seperti berswafoto di rumah jabatan.
Sewaktu pindah ke Jakarta, Ia menyusul dua tahun kemudian di PMD. Bahtiar memulai sebagai kasubdit yang mengurus desa. Banyak projek Ia selesaikan di situ, termasuk bantuan luar negeri untuk pemberdayaan masyarakat desa. Tak lama di sana, Ia dimutasi ke dirjen Kesbangpol yang mengantarnya melaju menjadi orang nomor satu disitu.
Ketika terpilih sebagai Ketua MIPI Ia minta saya tetap bergabung. Menugaskan saya menyelesaikan dua buku penting, Etika Pemerintahan dan Kepemimpinan Pemerintahan. Kedua buku itu selesai tahun 2023. Saya bersyukur, kompilasi tulisan dari berbagai pakar itu relevan dan up to date dengan konteks hari ini dan akan datang.
Bahtiar mampu menghidupkan MIPI yang mati suri pasca kepemimpinan Muh. Ridho Ricardo, mantan Gubernur Lampung. Ia getol membuka acara lewat zoom meeting. Ia memahami dan fasih menjelaskan perubahan sistem politik demokrasi dewasa ini. Saya maklumi, sebab Ia tak hanya belajar itu sejak lama, juga berkecimpung dan terjun didalamnya.
Waktu di lantik jadi Pejabat Gubernur Sulsel, Ia sempat japri saya, minta dibantu bila diperlukan. Jawab saya singkat, “siap!” Belakangan HP beliau sulit di akses. Rupanya ganti nomor, agar fokus melaksanakan tugas. Semua rekan yang kesulitan saya minta menghubungi Hasan. Tentu bertemu beliau tak semudah dulu, kita paham.
Bahtiar punya prestasi membanggakan. Ia menyelesaikan sejumlah undang-undang yang kala itu urgen pasca hiruk-pikuk ormas di Jakarta. Bahtiar di tunjuk menjadi leader undang-undang ormas. Kesempatan itu mematangkan dirinya saat berhadapan dengan stakeholders yang tak ingin kebebasannya dibatasi.
Mengatur ormas memang bukan perkara mudah. Disatu sisi konstitusi menjamin kemerdekaan berserikat, termasuk mengeluarkan pendapat lisan maupun tulisan. Namun disisi lain kebebasan berekspresi yang menabrak kebebasan orang lain, menjadi kesulitan tersendiri yang mesti diatasi. Inilah konsekuensi berdemokrasi, perlu titik temu agar damai dalam perbedaan.
Bahtiar menyelesaikan itu tepat ketika negara membutuhkan. Dengan instrument itu, Ia mampu meredam tensi dan geliat ormas. Makanya, isu berkebun pisang dan kebangkrutan Sulsel tempo hari bukan perkara sulit baginya. Ia tak malu belajar dari senior-seniornya, seperti Mayjend (Purn) Achmad Tanribali Lamo dan Soerdarmo. Tak lupa pada mentornya sekarang ini, Jendral (Purn) Tito Karnavian.
Belajar kepemimpinan dari korps baju ijo dan coklat menjadikan Bahtiar terbiasa menyelesaikan masalah dengan sedikit diskusi. Ia mampu beradaptasi dengan model kepemimpinan cepat. Laksanakan dulu semampu kita, setelah itu baru evaluasi. Tentara dan polisi terbiasa bekerja dengan protap semacam itu.
Buah dari pengalaman itu, Ia dipercaya menyelesaikan tugas-tugas berklasifikasi rahasia. Nasehatnya, setiap masalah dinas cukup menjadi pengetahuan kita sebagai pejabat. Tak perlu diceritakan pada orang lain, termasuk istri di rumah. Khususnya ini saya dapat dari mentor saya. Katanya, “anda boleh jenderal di kantor, namun begitu masuk rumah, anda tak lebih dari seekor kucing basah yang tak berkutik.”
Pesan spiritualnya, “beri kebebasan istri ketika anda berada di rumah. Anda cukup mendengarkan saja ceramahnya, tak perlu di bantah. Kalo perlu, berikan apa saja yang dimintanya, bila mungkin. Itu teknik manajemen konflik agar kerja-kerja anda di luar rumah tak banyak diganggu oleh pertanyaan yang memusingkan.” Rasanya, saya seperti mendengarkan petuah Ustazd Das’ad Latif.
Komentar
Posting Komentar