Bernad Dermawan Sutrisno, Pejuang di KPU

Oleh. Muhadam

Saya menulis Bernad karena dorongan seorang putri Pasopati, Dwi Budi Wahyuningsih. Dwi peraih Astha Brata tempo doeloe di Angkatan 04, istri Hariawan Bihambing yang masih seangkatan. Sudah lama saya ingin menulis Bernad, selain tokoh penting lainnya seperti Bahtiar Baharuddin, Sugito, Ferdinan Sirait, dan Uus Kuswanto. 

Pilihan tokoh itu sebagai representasi Angkatan Kosong Empat (Angkot) di level tinggi birokrasi, setidaknya untuk saat ini. Kini banyak yang merambah ke eselon dua merangkap penjabat kepala daerah. Tak banyak yang punya kesempatan itu.

Bernad pernah mengusulkan istilah Pasopati menjadi Angkot, agar praktis dan merakyat. Saya setuju, walau mayoritas menginginkan Pasopati dipertahankan selain terlanjur dipakai dan dikenal angkatan lain, juga punya latar historis baik positif maupun negatif. 

Positif, simbol perlawanan, pantang menyerah dan kemenangan. Negatifnya, sandi khusus satuan pemberontak dimasa lalu. Begitu kata Imelda, selesai nonton film sejarah partai terlarang. Saya pikir Pasopati bukan istilah, tapi Akronim saja. Jadi tak masalah.

Bernad punya nyawa lebih dari satu. Seingat saya, beliau dua kali kecelakaan parah sepanjang hidup. Pertama, bersama sejumlah kawan Kontingen Sulut ketika rental mobil dan terbalik di jalanan pasca pengukuhan praja. Mereka menguras gaji setahun untuk mengganti biaya mobil rusak. 

Kedua, sewaktu bertugas di Pinrang. Mobil hardtop mereka menabrak pohon hingga menewaskan dua purna lain. Beliau selamat, tersemat di atas dahan pohon. Artinya, Bernad mendapat peluang hidup lebih dari sekali. Luar biasa.

Ketika tugas di Palopo, Bernad pernah sekali mampir di kosan. Ia suka berpertualang ke Tator. Entah apa yang di kejar disana, saya memfasilitasi tidur di kosan. Ia suka menggunakan Sepatu Koboi lengkap dengan taji (spur) di belakang sepatu. 

Itu hiasan, setau saya Koboi gunakan bila ingin memacu kuda agar larinya kencang. Bernard tak bawa kuda, kecuali menumpang bus atau rentalan untuk sampai di tempat tujuan. Sepatu itu mungkin juga simbol kepemimpinannya yang senyap di belakang dan tak berisik.

Waktu di IIP, Ia doyan menulis sekaligus Pemred Majalah Kampus. Beberapa kali menulis di Harian Fajar Makassar. Ia getol mengajak saya dkk diskusi ketika masuk belakangan. Dirumahnya, berjejer buku sambil menceburkan diri di NGO yang kala itu tumbuh subur pasca runtuhnya Orde Baru. 

Ia menjadi pilot di salah satu NGO yang menarik kawan-kawan seperti Suryadi, Asmin dan Irfan Rusli Sadek turut bergabung. Bernad lahir di Gorontalo, belia dua tahun dari saya, namun semangat hidupnya melampui para senior. 

Kami pernah makan siang dengan Prof. Ryaas di Gedung APKASI, membicarakan isu kenegaraan dan masa depannya sendiri. Nasibnya cemerlang, Ia tak hanya membidani Bawaslu dan DKKP, juga dipercaya menjadi birokrat nomor satu di komisi bergengsi, KPU RI. Itu membanggakan Pasopati.

Bernad pernah tugas di Pinrang sebagai lurah. Jabatan itu tak lama sebelum hengkang ke Jakarta, bergabung di Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal. Kementrian yang dibentuk Gus Dur untuk mengentaskan daerah tertinggal. 

Disana ada senior seperti Michael Manufandu yang memandu mereka belajar mengembangkan karier. Manufandu pernah menjadi Dubes Luar Biasa di Kolombia dan berhasil menghentikan pelarian eks politisi partai demokrat, Nazaruddin.

Bernad bukan birokrat biasa. Ia punya visi mengubah KPU menjadi semacam electoral commission di Amerika ala Indonesia. Suatu badan komisi pemilu yang independen sekalipun Ia sendiri tak jarang berada dalam posisi dilematis di tengah kepentingan partai. 

Duduk di eselon satu memang penuh tantangan, sebagian besar terasa seperti jabatan politis dibanding jabatan karier. Itu bukan cuma di KPU, juga di kementrian lain. Kata Darwin, bukan yang kuat yang mampu bertahan, tapi yang mampu menyesuaikan diri. 

Bernad mampu beradaptasi. Ia banyak mengubah wajah KPU di Jalan Imam Bonjol. Demikian pula organ KPU di daerah. Ada ruang pintar, semacam pusat informasi kepemiluan. Di pusat ada ruang podcast yang saban minggu digunakan dengan mengundang sejumlah narasumber. Saya pernah dua kali on air di situ. 

Reformasi strukturalnya juga menyentuh bagian dalam yang membuahkan catatan berkali-kali wajar tanpa pengecualian. Gedung KPU peninggalan Hindia Belanda (nassau bolevard) di sulap semakin berwibawa. Bernad melengkapinya dengan sejumlah birokrat purna dari Sabang sampai Merauke. 

Ia beralasan agar komisi yang dipimpinnya itu tak hanya merepresentasikan kemajemukan Indonesia, juga mencerminkan demokrasi secara kelembagaan. Kini, masuk ke KPU bukan saja di sambut provost, juga diaroma kecil tentang spirit kejuangan di ruang kerjanya.

Bernad ingin meninggalkan heritage di lembaga yang dipimpinnya. Setidaknya KPU tak hanya dijadikan tenda kampanye bagi pesta demokrasi setiap lima tahun, juga punya nilai dan kontribusi seperti spirit seorang pejuang. KPU bertanggungjawab atas nasib demokrasi Indonesia. Demokrasi dengan imaji lingkaran persahabatan di almamaternya.

Disana ukuran keberhasilan dan kegagalan prosedure demokrasi. Disitu pula masa depan para pemimpin dan wakil rakyat ditentukan secara pasti. Pikiran besar soal spirit kejuangan itu bukan karena Ia lahir di tanggal 5 oktober, tapi karena prinsipnya yang lama Ia tulis di buku kenangan, darah dan nafasku menyatu dalam cinta dan hidup.

Darahku adalah disiplin, nafasku adalah pengorbanan, cintaku untuk kesetiaan, hidupku untuk pengabdian. Moto hidup itu mengingatkan kita pada seorang tentara nekat dengan sedikit perilaku memberontaknya, Napoleon Bonaparte di Perancis. Ia juga punya state, army, and love.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian