Hutang Nazar Menuju Manglayang

Tahun 1992, usai SMA, tiga anak muda kurus mencoba peruntungan nasib. Irfan Rusli Sadek, Jamaluddin dan Jairuddin. Ketiganya dari udik. Tinggal di pelosok kampung Sungguminasa, Gowa. Peruntungan itu masuk sekolah kedinasan, STPD Eng.


Awalnya ketiganya pesimis. Kuota masuk sekolah itu terbatas. Pendaftarnya ratusan. Tak terhitung anak pejabat yang di antar pakai mobil. Mereka mungkin dipattuangi. Rasanya pasrah. Tapi entah darimana datangnya, tiba-tiba muncul ide religi di kepala, mereka perlu nazar.

Pikir mereka, nazar satu-satunya cara mengalahkan kekuatan katabelece. Mereka percaya, kekuatan kaul dapat menjadi ikatan sakral dengan Tuhan. Semacam panjar janji selain doa, agar penguasa langit turun tangan. Mengintervensi dengan caraNya.

Mereka sepakat, bertiga, nazar. Mungkin dengan cara ini Tuhan lebih terkesan, dan dengan mudah mendisposisi. Itu ikhtiar pamungkas, melawan antrian panjang yang bukan saja melelahkan, juga penuh ketidakpastian. Mereka perlu pendekatan spiritual dibanding usaha biasa.

Mereka berembug sejenak. Memastikan nazar disetujui sebagai media tawar dengan Tuhan. Puasa pilihan pertama, sekalipun badan rasanya dekil, minim karbo. Tentu tak cukup dengan itu, rasanya Tuhan tersenyum hambar darisana, menimbang alat tukar mereka jamak dilakukan yang lain.

Nazar kedua jalan kaki. Jalan kaki dari Kantor Gubernur Sulsel sampai Sungguminasa di Gowa. Ini mungkin dapat menggoda keseriusan Tuhan. Tuhan rasanya tak tega melihat tiga anak muda bertubuh tipis berjalan jauh hanya untuk sekolah di Manglayang. Ia pasti Maha Penyayang.

Mereka yakin, Tuhan pasti terkesan. Rasanya tak ada peserta melakukan ritual itu. Menimbang berat Irfan lebih ringan dari Jamal dan Jay, nazar puasanya 5 hari. Jamal dan Jay yang sedikit lebih kuat, 10 hari. Dua nazar itu rasanya cukup menyita perhatian Tuhan. 

Tak berselang lama. Doa mereka terkabul. Tuhan rupanya termakan janji. Ia mengabulkan. Mereka lulus ke Jatinangor. Menyisihkan sekian banyak peserta. Kini saatnya menunaikan nazar. Puasa 5-10 hari dipenuhi. Tapi nazar kedua tak sempat ditunaikan. Jarak pengumuman dan waktu berangkat mepet. Dengan berat hati mereka tangguhkan.

Janji pada Tuhan terpaksa molor. Mereka perlu waktu saat liburan panjang untuk menyelesaikan nazar dari Jalan Urip Sumoharjo sampai Sungguminasa. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan, begitu perasaan yang menghantui mereka. Mereka kuatir, Tuhan mungkin menunda persekusi karena alasan masuk di akal. Bukan ingkar janji.

Beberapa tahun kemudian. Di awal 2012, Irfan tugas di Kabupaten Pasangkayu sebagai Kabag Organisasi & Tata Laksana. Isterinya mengingatkan nazar kedua yang belum tuntas. Ia bahkan mengultimatum lewat doktrin Tuhan. Rasanya hutang Irfan bukan saja terbongkar, juga dipenuhi denda.

Irfan merasa terlilit beban hutang lama. Untung Tuhan tak membebani bunga hutang. Apalagi sampai mengirim debt collector ke rumah. Semua itu menekan perasaan agar diselesaikan secepat-cepatnya. Dibanding kredit hidup yang diberikan selama ini, rasanya besaran nikmat Tuhan melampaui semua itu.

Rasa bersalah kini muncul, diiringi semangat istri menunggu realisasi nazar di Makassar. Ia bersedia mengawal sampai finis. Esok subuh Irfan janjian di jemput ponakan menuju Kantor Gubernur Sulsel. Sabtu itu kantor tutup. Suasana sepi. Ia mulai dengan ritual doa, bersyukur atas semua karunia yang diberikan sejauh ini.

Irfan terdiam lama di depan kantor. Satpol PP di gubernuran merasa bingung. Mungkin melihat aneh. Ia mengabaikan keingintahuan mereka. Khusuk memohon ampun atas penundaan nazar. Rasanya air mata tak terbendung di gelap subuh. Melangkah dengan basmalah, menunaikan janji yang tertunda.

Langkah Irfan tertahan beberapa saat. Ada dorongan menambah deposit nazar. Seakan tak jera membuat ikatan tambahan dengan Tuhan. Kembali membuang malu padaNya. Nazarnya, bila suatu saat jadi Gubernur Sulsel, Insya Allah saya kembali berjalan kaki dari kantor ke Sungguminasa. Mungkin nazar itu tak sepadan dengan impiannya. Tapi Tuhan maklum, tubuhnya semakin menua.

Rasanya lega melepas unek-unek di hati. Irfan menyusuri jalan raya ke Sungguminasa. Sepanjang jalan terbayang bila Tuhan kembali mengabulkan nazar keduaku, mungkin tak lagi sendirian berjalan kaki, diiringi pejabat eselon dua provinsi. Imaji itu menghibur diri, di sepi subuh yang dingin dan panjang.

Di tengah jalan, Irfan ingat dua kawan yang turut mengikat nazar. Itu memang urusan pribadi. Tapi sebaiknya Ia ingatkan agar tak ada dosa kolektif. Celuller Jamaluddin di Gorontalo tak aktif. Irfan kontak Jairuddin, Camat di Luwuk Banggai. Jay rupanya terjaga. Ia minta diwakili, seperti naik haji. Saya bilang, ini tak mungkin diwakili, sambil tertawa di ujung telepon. Momen itu selesai 13 tahun lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian