Jairuddin, Ajudan Masuk Angin
Oleh. Muhadam Labolo
Jairuddin, kawan sekolahan Basir, Jamaluddin, Yuhadi dan Irfan. Mereka seletting di SMA Gowa. Jairuddin satu-satunya yang masih bertahan di Luwuk Banggai. Ia tak balik lagi seperti koleganya, Erwin, Erhan, dan Trie yang pernah tugas di Sulteng. Ia menikah dan menetap disana.
Panggilan akrabnya Jay. Sepintas mirip orang Tamil di India. Hidupnya sederhana sekalipun punya posisi strategis, kepala bagian perencanaan dan perlengkapan umum. Ia tak mudah terpengaruh oleh gemerlap jabatan. Saya tak melihat kemewahan dalam dirinya, bahkan sejak dulu.
Jay hidup apa adanya. Baginya, duduk di tempat basah maupun kering sama saja. Tak ada pikiran memanfaatkan jabatan untuk dirinya. Ia langganan ditempatkan pada posisi yang dapat menjaga keamanan aset pimpinan. Konsekuensi lain masa depannya tak secepat teman-temannya. Mungkin dinilai kurang kreatif untuk hal-hal yang lazim bisa dinegosiasikan sepele.
Waktu praja Ia bergabung di Bintal. Korps pendoa dan urusan bersih-bersih di Masjid. Ia sehari-hari disitu. Bersama saya dan anggota lain. Jay tak menonjol seperti yang lain. Ia hidup tegak lurus sesuai aturan agama dan negara. Jujur dan ikhlas. Mungkin itu yang membuat bupatinya suka.
Ia beberapa kali ditawarkan jabatan bagus. Jay termasuk orang kepercayaan mantan Bupati Banggai, almarhum Sudarto. Sebelum wafat, Sudarto pernah menjabat Wagub Sulteng. Ia sangat percaya pada Jairuddin. Seorang Pamong yang lurus, lugu dan unik.
Jay pernah dipercaya jadi ajudan Bupati Banggai. Jabatan awal yang banyak dibebankan pada lulusan Manglayang. Bila yang lain karena fisik yang bagus, mungkin Jay lebih karena pertimbangan integritasnya. Bodinya tak setangguh lazim ajudan bupati. Ringkih dan mudah masuk angin.
Suatu saat rombongan bupati menuju tempat acara. Konvoi bupati diikuti mobil Kapolres, Dandim, Kajari, dan seluruh OPD. Jalan itu ditutupi mobil dinas yang mengular. Bupati di kawal mobil voorijders, lengkap dengan motor chips. Tempat acara cukup jauh, berkelok-kelok.
Tiba-tiba antrian panjang mobil dinas itu berhenti di tengah jalan. Patwal diminta berhenti. Para anggota Muspida di belakang bupati juga turut terhenti sejenak. Semua menunggu perintah bupati di depan. Bupati sendiri yang minta berhenti. Semua berpikir bupati mungkin pengen pipis di tengah jalan.
Ternyata bukan. Ajudan bupati, Jay yang minta berhenti mendadak. Ia duduk dekat sopir, depan bupati. Bupati yang sedang tidur terbangun. Beliau bertanya, "ada apa Jay? Apakah ban bocor, atau pohon tumbang?" "Siap, bukan Pak Bupati," kata Jay. "Jadi, ada apa jay?" Lanjut Bupati. Dengan wajah pucat dan lemas Jay jawab, "siap, izin muntah pak bupati!"
Pak Bupati tertegun sejenak, antara heran, geli dan lucu. Katanya, "silahkan Jay, daripada kau muntah di mobil!" Kata Jay, "Siap, trima kasih Pak Bupati!" Jay langsung turun dan masuk ke semak belukar. Ia melampiaskan muntah yang tak tertahankan sepanjang jalan. Ia benar-benar mabok darat.
Seluruh kenderaan Muspida dan OPD sejauh hampir setengah kilometer terpaksa berhenti. Mereka mungkin berpikir Pak Bupati sedang bermasalah. Ternyata semua menunggu ajudan yang sedang muntah. Biasanya bos yang muntah. Kali ini ajudan yang hampir pingsan karena mabok.
Ia jujur pada bupati sekalipun pantang bagi seorang ajudan. Mungkin tak ada sejarah ajudan minta berhenti di tengah jalan hanya untuk izin muntah. Ia tak tahan hingga berani memohon ke bupati agar berhenti. Semua Muspida baru paham setibanya di TKP. Ternyata perhentian mendadak bukan inisiasi bupati, tapi ajudan yang kebelet. Ajudan Jay masuk angin.
Komentar
Posting Komentar